Oleh Rahmat Hidayat Wahid (Deputi Direktur Akar Foundation)
Eksistensi dan hak–hak masyarakat adat Rejang terhadap pengelolaan kekayaan alam belum mendapat pengakuan dan masih menjadi permasalahan utama, tidak sedikit kejadian masyarakat dituding sebagai perusak hutan atau perambah, belum lagi persoalan konflik dengan negara yang memasukan wilayah adat mereka menjadi kawasan Taman Nasional atau kawasan konservasi. Bagi masyarakat adat Rejang hutan mempunyai nilai spritual tersendiri dan mereka melihat hutan adalah sumber dari kehidupan bagi mereka, masyarakat adat Rejang melihat wilayah adat (termasuk didalamnya hutan) bukanlah suatu benda material, melainkan lebih memilik makna gaib (sebagai wujud corak religion magis). Kalau dilihat lebih mendalam banyak sekali nilai – nilai kearifan yang ada di masyarakat adat Rejang dalam menjaga hutan sebagai warisan leluhur mereka.
Problematika masyarakat adat Rejang adalah pihak yang paling banyak menderita akibat kebijakan–kebijakan yang dibuat oleh negara ini. Penetapan kawasan hutan lindung, konservasi maupun taman nasional yang tidak pernah melibatkan mereka (masyarakat adat) dalam membuat kebijakan berdampak buruk bagi kesejahteraan ekonomi mereka. Penetapan yang sepihak tersebutlah memicu konflik – konflik yang semakin lama meruncing tanpa ada sebuah pembuatan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat adat. Dalam pengelolaan kekayaan alam sudah seharusnya masyarakat adat dilibatkan dalam pengelolaan hutan mereka yang lestari dan dapat berdampak kepada peningkatan masyarakat adat. Aspek sosial budaya masyarakat adat merupakan suatu persoalan yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pandangan tentang masyarakat adat yang sering dianggap oleh pemerintah sebagai “masyarakat tertinggal” dan juga dilabeli sebagai “komunitas adat terpencil” adalah sejumlah terminologi yang sampai saat ini terjadi di pihak pemerintah.
Didalam kesatuan masyarakat adat Rejang di Kabupaten Lebong ada hukum yang mengatur tentang bagaimana mereka menjaga hutan itu sendiri, dalam prakteknya hukum yang tidak tertulis tersebut bisa menjadi rambu  bagi masyarakat adat dalam pengelolaan kekayaan alam termasuk didalamnya hutan. Dari hasil riset Akar Foundation di dapati tata aturan yang bersangkutan untuk pengelolaaan, pemanfaatan dan merawat tanah beserta sumber daya alamnya. Dalam prakteknya pengelolaan hasil hutan oleh masyarakat adat Rejang terdapat beberapa aturan adat yang masih dipatuhi, adapun aturan yang tidak tertulis tersebut diantaranya:

  • “Nyambia dalen belek” (membuka lahan yang dilalui jalan balik).
  • “Put Keling” (lobang hitam) wilayah tersebut radius 500 m tidak boleh dibuka untuk kebun atau ladang, karena bagi mereka bisa saja terdapat mata air.
  • “Nyuruk nyeredam” , mata air yang kelihatan dimana airnya mengalir maka lahan sekitar tidak boleh dibuka, dengan radius 500 m.
  • “Imbo piadan” hutan yang dipelihara, bagi kepercayaan masyarakat adat rejang imbo piadan adalah hutan yang dijaga oleh makhluk gaib, apapun yang ada didalam imbo piadan tidak boleh diambil dan berburu binatang disana.
  • Kayu cabang dua yang terjangkau oleh tangan tidak boleh sama sekali ditebang untuk dimanfaatkan sebagai bahan rumah.
  • Kayu sialang (ada sarang lebah dipohon tersebut), tidak boleh ditebang, seandainya ditebang maka denda adat yang berlaku sangat keras, hukum adat yang berlaku bagi yang menebang kayu sialang hampir sama dengan membunuh.
  • “gesek gasai” , pohon yang bertemu batang satu sama lainnya
  • “gumbok bauk” pohon yang diatasnya terdapat kayu singgah yang tumbuh dan daunnya menutupi dari pohon yang ditumpangi.

Kalau melihat dari aturan – aturan masyarakat adat Rejang yang ada di Kabupaten Lebong dalam mengelola kekayaan alam (hutan)  yang berada di wilayah mereka , bisa dilihat bagaimana mereka membuat aturan yang mengatur tentang pengelolaan kekayaan alam mereka sendiri.
Pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan oleh Negara dirasa gagal dalam menjaga kelestarian hutan, pemberian izin oleh pemerintah kepada perusahaan – perusahaan skala besar  dimana hutan di jadikan lahan perkebunan serta pertambangan. Alih fungsi hutan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan tersebut berdampak ke banyak hal mulai dari ketimpangan sosial ekonomi yang memunculkan konflik dan juga kerusakan ekologis. Dalam perjalanannya pemberian hak kepada perusahaan tersebut menimbulkan konflik baru di masyarakat
Saat ini pemerintah pusat sedang gencar–gencarnya memberikan pengelolaan hutan kepada masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan ataupun di dalam kawasan hutan. Masih adanya keraguan dari pemerintah daerah ataupun pusat ketika kawasan hutan ini diberikan kepada masyarakat ibarat pepatah “ayam dilepas tali diinjak”. Kalau dilihat dari hasil riset yang dilakukan, masyarakat adat Rejang di Kabupaten Lebong secara sadar akan fungsi hutan sebagai fungsi ekologis, karena mereka sudah mempunyai tata aturan secara turun temurun dalam pengelolaan kawasan hutan. Tinggal bagaimana hal ini diperkuat kembali kepada masyarakat tentang tata aturan kelola yang mereka miliki. Dengan konsep kemitraan yang berbasis pengelolaan hutan yang bermanfaat ini bisa dilakukan.
Peluang hukum
Dalam perjalanan saat ini peluang hukum masyarakat adat terhadap hutan yang selama ini di klaim sebagai hutan negara berpeluang besar untuk dikeluarkan dan dikembalikan kepada masyarakat adat. Dengan keputusan MK 35 tahun 2012 jelas dikatakan Kata  negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”;.
Putusan tersebut memberi ruang dan mengembalikan hak masyarakat hukum adat atas tanah adat mereka. Terkait implementasi dari keluarnya keputusan MK 35 tersebut, pemerintah harus segera memberikan payung hukum terkait hutan yang masuk dalam kawasan wilayah adat.
Pada tahun 2014 Pemerintah Republik Indonesia juga mengeluarkan UU 06 tahun 2014 tentang Desa dalam undang undang tersebut di masukan tentang pembentukan Desa Administratif menjadi Desa Adat yang termuat dalam pasal 96 sampai pasal 103. Secara teknis operasonal penyelesaian konflik yang terjadi dapat di lihat dalam Peraturan Menteri Agraria nomor 05 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Dengan menggunakan tiga produk hukum diatas tersebut bisa menjadi acuan untuk masyarakat hukum adat mengambil kembali hak mereka yang selama ini dikuasai oleh negara.