“Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia: Study Kasus pada Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Marga Suku IX Kabupaten Lebong”

 

Latar Belakang

Pemerintah daerah memiliki peran sangat penting untuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Terkait pasal tersebut, dalam membuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Konsisten dengan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tersebut, dalam Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa “Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di Daerah kabupaten/kota merupakan urusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; lalu Pasal 98 ayat (1) UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyatakan “Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Selain itu, Pasal 2Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat juga menyatakan “Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat”; dan Pasal 6 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Hutan Hak menyatakan “Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah”. Demikian pentingnya peran pemerintah daerah dan keberadaan peraturan daerah, maka percepatan pengakuan masyarakat hukum adat sangat bergantung pada inisiatif pemerintah daerah. Dalam hal ini, bisa menjadi inisiatif Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota.

Memperhatikan Penjelasan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 bahwa Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait, inisiatif yang akan dilakukan Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota memerlukan dukungan pakar atau akademisi hukum, dan aspirasi masyarakat atau NGO (pihak lain yang terkait). Singkatnya, kesepahaman perlu adanya sinergisitas antara Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota, akademisi, dan masyarakat atau NGO menjadi modalnya.

Sebagai negara yang menganut tradisi Civil Law System, maka dalam membaca sistem hukum Indonesia haruslah berangkat dari hierarkhi perundang-undangan yang paling kuat yakni konstitusi yang diwujudkan dalam UUD 1945. Begitu pula dalam mengelaborasi pengaturan mengenai eksistensi masyarakat adat dalam sistem politik hukum Indonesia, hal yang paling mudah adalah dengan pertama kali mengkaji pengaturannya dalam UUD 1945.

Konsekuensi dari adanya konsep pengakuan sebagaimana demikian, sebagai turunan langsung dari konsep Negara Hukum, adalah bahwa jika ternyata terdapat eksistensi masyarakat adat berikut hak-hak dan kepentingannya yang bertentangan dengan kepentingan negara (kepentingan nasional), ataupun jika ada aturan hukum adat yang bertentangan dengan aturan hukum positif negara dalam perundang-undangan, maka keberadaan masyarakat adat beserta kepentingan-kepentingan dan hak-hak tradisionalnya yang diatur dalam hukum adat tersebut bisa diabaikan. Hal inilah yang kemudian seringkali berujung pada konflik sosial yang pada umumnya melibatkan masyarakat adat di satu sisi dan negara, yang mana konflik ini berakar pada kontradiksi kepentingan di antara para pihak yang masing-masing mendasarkan diri pada tatanan normatif yang sama sekali berbeda satu sama lain.

Seminar yang telah dilaksanakan pada tanggal 19 November 2015 di Aula BAPEDA Provinsi Bengkulu  ini untuk melihat sejauh mana Negara mengakomodir hak-hak masyarakat adat di dalam sistem ketatanegaraan. Sebagai pemantik diskusi-diskusi pada Seminar, akan di ekplorasi kasus inisiatif pengakuan Masyarakat Adat Marga Suku IX di Kabupaten Lebong, diskusi ini untuk melihat peluang hukum bagi pengakuan Masyarakat Hukum Adat Marga Suku IX Kabupaten Lebong sekaligus melihat sejauh mana kesiapan dan potensi bagi pengakuan ini dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Hasil-hasil rumusan Seminar

Ada 4 (poin) poin urgensi dari pengakuan dan perlindungan wilayah masyarakat hukum adat, antara lain; wilayah adat sebagai ruang kehidupan, wilayah adat sebagai “alamat kebudayaan”, wilayah adat yang terancam (Ekploitasi dan Deforestasi) dan wilayah adat sebagai arena wilayah konflik. Dari 4 (empat poin) ini maka hasil rumusan seminar ini menjadi dua isu pokok, sebagai beikut

  1. Isu Kebijakan di lihat dari perspektif relasi kekuasaan antara negara dan masyarakat (State Society Relation)
  • UUD 1945 (Ps 18B (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MASYARAKAT HUKUM ADAT beserta hak-hak tradisionalnya SEPANJANG MASIH HIDUP dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
  • UU No 5 tahun 1960 tentang UUPA, Pasal 2 ayat (4) UUPA menentukan bahwa “hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”. Ketentuan tersebut berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemberian kewenangan yang dimaksud merupakan upaya untuk memajukan kesejahteraan rakyat di daerah yang bersangkutan.
  • UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, pada Pasal 5 Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
  • UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 36 (1) dan Pasal 37 (1) UU 41/1999 bahwa pemanfaatan hutan hak dan hutan adat dilakukan sesuai dengan fungsinya. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa pemanfaatan hutan lindung dan konservasi di hutan hak maupun adat dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya, sebagai berikut; Penting agar ketentuan ini dibaca secara a contrario. Kalau kemudian hutan adat dan hutan hak berada di luar kawasan hutan, maka pemerintah tidak punya kewenangan untuk mengatur lagi apakah hutan yang ada di kelola sesuai fungsinya dan dengan demikian pengaturan tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah tetap harus mengatur fungsi dalam tiap penguasaan atas hutan, baik itu oleh hak maupun oleh adat.
  • Undang-Undang Nomor 18/2004 tentang Perkebunan. Salah satu yang diatur didalam undang-undang ini adalah keharusan bagi pihak yang mengajukan izin perkebunan untuk bermusyawarah terlebih dahulu (apabila sudah terdapat hak di atas tanah tersebut) dengan masyarakat atau masyarakat hukum adat (apabila tanah tersebut adalah tanah ulayat) sehingga sesuai dengan pengaturan tersebut, masyarakat memiliki sebuah landasan hukum untuk dapat berpartisipasi dalam proses pemberian izin perkebunan.
  • Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007 yang menggantikan Undang-Undang nomor 24 tahun 1992. Dalam UU 26/2007 penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Dengan tujuan tersebut, penataan ruang pada akhirnya diharapkan menjadi sebuah titik temu yang harmonis antara penggunaan sumber daya alam dan dan pemanfaatan ruang sekaligus mencegah terjadinya dampak negatif akibat pemanfaatan ruang. Dan sifat mendasar dari penataan ruang adalah mewujudkan sebuah keterpaduan dan keserasian pemanfaatan ruang pada berbagai sektor sehingga pelaksanaan penataan ruang yang konsisten akan meminimalisasi konflik dan meningkatkan keterpaduan antar sektor serta wilayah. Pada posisi ini Pemerintah pusat dan daerah diamanatkan untuk menyebarluaskan informasi rencana umum dan rincian tata ruang, pengaturan zonasi dan petunjuk pelaksanaan penataan ruang.  Penataan ruang diselenggarakan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat, dimana pelibatan tersebut mencakup perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian.
  • Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memberikan jaminan bagi pelestarian Masyarakat Adat dalam pemberian Hak Pengusaha dan wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian   Ekosistem   Pesisir   dan   Pulau-Pulau   Kecil,   Masyarakat   Adat,   dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. Selain itu dalam pasal 18 juga dijelaskan dapat pula diberikan kepada Masyarakat Adat selain pada perorangan warga negara Indonesia dan badan hukum. Selanjutnya dalam pasal 21 ayat (4) dijelaskan mengenai persyaratan operasional yang menjadi kewajiban pemegang hak penguasaan untuk mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan /atau masyarakat lokal
  • Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, pada Pasal 1 hurup 30 menyebutkan bahwa Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah “kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu, karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum” dan Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
  • Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Informasi geospasial yang tidak terintegrasi merupakan salah satu masalah utama dalam pengelolaan hutan. Informasi geospasial yang berbeda-beda antar instansi pemerintahan, baik antar sektor atau pun antar pusat dengan daerah, mengakibatkan adanya ketidaksinkronan antar kebijakan terkait penggunaan kawasan hutan dan lahan. Undang-undang ini melahirkan kebijakan One Map Policy sebagai alat koordinasi antar instansi dalam penyediaan informasi, termasuk antara instansi di pusat dan daerah. Disisi lain lewat informasi geospasial menjamin hak-hak warga negara secara ekonomi dalam hubungannya dengan keruangan, sebaliknya menjadi alat bantu pemerintah dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan keruangan.
  • Undang–Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini adalah pengganti dari Undang-Undang nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam undang-undang ini sektor kehutanan dikategorikan dalam urusan pemerintahan daerah pilihan konkuren (pasal 12) , meskipun urusan penataan ruang dan lingkungan hidup dikategorikan dalam urusan pemerintahan wajib. Dalam pasal 14, diatur tentang penyelenggaraan urusan pemerintah dalam bidang kehutanan dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dengan perkecualian pengelolaan taman hutan raya di kabupaten/kota menjadi kewenangan dari daerah kabupaten dan kota.
  • Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa, Terdapat lebih 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan, jika hal ini tidak menjadi perhatian maka masalah tenurial, status desa maupun kekayaan budaya yang selama ini dikenal memelihara dan melindungi akan bergeser dan punah. Desa Adat akan diakui apabila memiliki kesatuan masyarakat adat. Kesatuan masyarakat adat harus memiliki unsur; mempunyai wilayah adat, pemerintahan adat, benda/harta adat, hukum adat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 UU Desa. UU desa juga mengakui hak-hak kesatuan masyarakat adat.  Desa Adat bukan hanya bertujuan untuk mengakui hak-hak ulayat masyarakat adat, tetapi juga undang-undang ini mengatur agar masyarakat adat bisa mengurus dirinya sendiri. Pembentukan Desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat desa, serta kemampuan dan potensi desa. Pemerintah pusat dan daerah akan melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat untuk kemudian ditetapkan menjadi Desa Adat.
  1. Isu Sosial dan Budaya
  • Di wilayah Provinsi Bengkulu konflik tenurial yang berdampak pada masyarakat adat di akibatkan dan dimulai oleh Kebijakan-kebijakan sektoral, UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa adalah awal dari proses memarjinalisasikan hak-hak masyarakat adat, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang seyogianya memberikan peluang yang lebih besar bagi komunitas lokal untuk lebih eksis dalam mempertahankan hak dasar adat, kenyataannya hanya merupakan ekspektasi kekuasaan dari Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan di Daerah yang secara langsung lebih membatasi ruang dan gerak bagi komunitas-komunitas adat dalam mewujudkan demokratisasi pengelolaan wilayah adanya secara berkelanjutan.[1]
  • Konflik tenurial sebenarnya juga dapat di angap sebagai konflik antar sistem, yaitu sistem pengelolaan sumber daya agraria, dalam konflik ini dominasi Negara dan pemodal sangat kuat bahkan sering disertai dengan kekerasan struktural (structural violence). Konflik antar sistem ini juga diwarnai oleh upaya-upaya dominasi melalui proses hegemoni pengetahuan dalam sistem pengelolaan sumber daya alam.[2]
  • Masalah pokok yang dihadapi setiap negara agraris adalah keterbatasan dan kondisi kekayaan alam yang meliputi tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak asimetris dengan pertambahan penduduk, kemajuan teknologi. Kondisi ini mengharuskan adanya strategi kebijakan dalam memelihara, melestarikan, memperuntukkan, mengambil manfaat, distribusi tanah Sumber Daya Alam termasuk hasilnya untuk kesejahteraan rakyat dan keberlangsungan
  • Efektivitas pengelolaan dan perlindungan kekayaan alam termasuk hutan akan terwujud melalui  penerapan otonomi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat untuk mengatur, merencanakan peruntukan, persediaan kekayaan alam/hutan dan memelihara hutan dalam wilayah ulayatnya berdasarkan aturan hukum adat. Dan Setiap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat wajib mensosialisasi aturan hukum lokal  yang mengatur hutan secara turun temurun, sehingga setiap generasi anggota masyarakat hukum adat memiliki pengetahuan untuk membedakan kategori kekayaan alam/hutan, pengetahuan tentang prosedur pemanfaatan hutan, pengetahuan perbuatan yang tabu terhadap kekayaan alam/hutan, dan pengetahuan tentang reaksi adat jika melanggar tabu/larangan.
  • Dalam program yang dilaksanakan harus mengubah paradigma pembangunan yang di lakukan oleh Negara dari pembangunan yang ‘tranplantasi’ menjadi ‘transformasi’. Karena pembangunan yang tidak berakar pada kebudayaan komunitas masyarakat adat/local sebagai penguasa tanah secara turun temurun adalah kegiatan asing yang ‘masuk tanpa izin’.
  • Model pembangunan yang baru harus dimulai dari masyarakat sebagai pengambil keputusan atas pengunaan tanah, prasyarat di pergunakannya tanah dan sumber daya alam lainnya yang berada di wilayah adalah informend concent dari komunitas, sehingga proses pengadaan tanah dan pemberian hak baru atas tanah haruslah masyarakat sungguh-sungguh menyetujuinya, melalui partisipasi dalam pengambilan keputusan pada setiap tahapan pelepasan hak atas tanah.
  • Dan yang terpenting adalah upaya mendorong legalitas formal hak atas tanah sehingga kontroversi atas saling klaim kepemilikan atas tanah kedepan tidak terulang kembali, tentunya proses ini harus difasilitasi oleh lembaga yang independent yang terlepas dari berbagai kepentingan.

Kamis, 19 November 2015

Tim Perumus;

  1. Erwin Basrin
  2. Dedek Hendy
  3. Pramasty Ayu Kusdinar

[1] Rekomendasi Workshop “Partisipasi Politik” Masyarakat Adat Rejang Lebong, Akar Foundation 2006

[2] Mengugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara , AMAN 1999