Keberadaan peradilan adat di tanah Rejang sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama, jauh sebelum agama Islam masuk ke Tanah Rejang dimulai ketika zaman Ajai dan Bikau, negeri yang terletak disepanjang Bukit Barisan ini penduduknya sudah lama melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Pada masa penjajahan peradilan adat tetap bertahan sebagai suatu bentuk peradilan “orang asli” berhadapan dengan peradilan “gouvernement rechtsspraak” terutama di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda, tetapi ada pengakuan dari Pemerintahan Belanda terhadap peradilan adat, pengakuan ini dilakukan secara berbeda dengan landasan hukumnya masing-masing. Setelah Indonesia merdeka peradilan adat ini menjadi tidak berdaya setelah disahkannya UU Darurat No 1 Tahun 1950 yang menghapus beberapa peradilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan atau menghapus secara berangsur-angsur peradilan swapraja di beberapa daerah dan semua peradilan adatnya.[1]

Secara sosiologis pun aspek hukum dan peradilan adat dalam kehidupan masyarakat Rejang di pandang sebagai penjaga keseimbangan, keseimbangan yang dimaksud adalah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat dan antar masyarakat dengan alam. Karena itu peradilan di pandang sebagai media penjaga keseimbangan daripada sebuah institusi pemberi dan penjamin keadilan sebagaimana yang dipahami dalam hukum modern atau hukum positif. Dalam kerangka inilah masyarakat hukum adat Rejang memandang hukum adat sebagai salah satu dari tiga unsur penjaga keseimbangan disamping hukum negara (pemerintah) dan hukum agama.

Dalam sejarah Adat Rejang proses Hukum meliputi semua aspek kehidupan warganya yang tidak hanya mengatur sangsi tetapi lebih jauh mengatur hak dan kewajiban baik dengan sesama warga komunitas maupun dengan kepercayaan tertentu yang biasanya bersipat magis, dengan demikian Hukum Adat yang terdapat di Jurukalang merupakan alam pikiran tradisional yang umumnya bersifat kosmis dan totaliter tidak ada pemisahan dari berbagai macam larangan hidup, tidak ada pemisahan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antar manusia dengan makluk lainnya, segala sesuatu bercampur baur, bersangkut paut dan saling berpengaruhi yang paling penting jika dilihat lebih jauh di Jurukalang hukum dapat adalah manisfestasi dari keseimbangan, keselarasan, keserasian (evenwicht), segala yang menggangu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran Hukum.
Patokan-patokan umum dalam system Hukum Adat di Rejang mengacu pada;

  1. Adat Sejati, yang disebut dengan Adat sejati adalah Adat peninggalan nenek moyang atau leluhur yang sering dikatakan tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas adalah Adat yang memahat sepanjang garis, bertarah di dalam sifat, bertanam di dalam pagar berjalan di hati jalan dan berkata dalam Adat
  2. Adat yang diadatkan adalah Adat tambahan pada sejati Adat baik yang merupakan suatu peraturan dari Tuai Kutai merupakan hasil kesepakatan dan musyawarah dalam Kutai maupun kebiasan tertentu yang sudah menjadi Adat yang teradat, seperti berbagi sama banyak, bermuka sama terang dan bertanak di dalam periuk, bersumpah bersemanyo, berjanji bersetio dan yang terpenting adalah kalah Adat karena janji.

Kebiasan hukum adat adalah tidak tertulis begitu juga bagi masyarakat hukum adat Rejang. Hukum adat ini juga tidak tertulis, sehingga pada tahun 1862 Van Bossche menetapkan aturan tertulis kemudian disebut dengan Undang-Undang Simbur Cahayo, ada beberapa persoalan dari Undang-Undang Simbur Cahayo ini sehingga tahun 1866 Asisten Resident A. Pruys Van Der Hoevan meminta pendapat para Kepala Marga ternyata banyak sekali yang tidak sesuai dengan dengan Hukum Adat Rejang yang berlaku karena itu banyak dilakukan perubahan-perubahan.

Dalam penyelesaian sebuah kasus biasanya tata aturan yang dimaksud di atas hanya sebagai referency dimana keputusan Adat di pegang oleh Tuai Kutai yang merupakan hasil musyawarah dari masing-masing Kepala Sukau yang pada kasus tertentu yang menimpa warga Sukunya bertindak sebagai Pembela.

Ayam kumbang terbang malam hingap di kayu rimbunan tidak bekas naik dan tidak pula bekas turun tidak bertali jangan ditarik, tidak bertangkai jangan dijinjing, jika ditarik panjang, jika dilerai cabik danayam putih terbang siang hinggap di kayu kerangasan, berjejak naik, berbekas turun, terang dan nyata namanya terang bersalah

merupakan pepatah Adat untuk menyebut istilah praduga tidak bersalah sebelum semuanya di tetapkannya status hukum yang bersengketa.[2]

Perdamaian Adat disebut dengan Mulo Bangun atau Mulo Tepung, sehingga dalam pelaksanaannya adalah meletakkan, menentukan dan melaksanakannya atau di istilahkan Mengipar Sayap Menukat Paruh yang artinya menyangupi membayar atau beban yang ditimpahkan. Ada beberapa hal pokok dalam sistem Hukum Adat Rejang, antara lain;

  1. Membunuh membangun
  2. Salah Berhutang
  3. Gawal Mati
  4. Melukai menepung
  5. Selang Berpulang
  6. Suarang Bagiak
  7. Sumbing Titip, Patah Berkipal
  8. Kalah Adat Karena Janji
  9. Pemberian Habis Saja
  10. Buruk Puar Aling Jelupuh, Patah Tumbuh Hilang Berganti

Sementara untuk delik pidana adat sering dikenal dengan iram berdarah (kasus yang mengeluarkan darah) dan iram tiado berdarah (tidak mengeluarkan darah), Bayar bangun untuk kasus yang menghilangkan nyawa seseorang dan cepalo untuk penyebutan kasus-kasus asusila, dalam pelaksanaan hukum adat ini peran ketua Sukau sering bertindak sebagai pembela terhadap komunitas atau clannya proses penetapan hukum tetap adat dimana sangsi sosial sangat dominan biasanya diputuskan oleh Kepala Kutai atau Ketua Adat setelah proses peradilan atau damai adat dilakukan dengan meminta pendapat dari elemen kampong seperti cerdik pandai, alim ulama, dukun, tukang, ini menunjukan penyelesaian kasus yang holistik melibatkan para pihak dalam menuju keseimbangan akibat dari suatu pecalo yang dilakukan seseorang dan berdampak kepada semua elemen yang ada di komunitas tersebut, bukti penyelesaian kasus dan penetapan hasil damai desa adalah sirih dan pinang yang disertai dengan serawo dan melaksanakan Tepung Setawar.[3]
Praktek-praktek pelaksaan penyelesaian adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat hukum adat Rejang, secara umum di atur sebagai berikut;[4]

  1. Masyarakat Adat Jang adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari system unilateral (kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja) dengan system garis keturunannya yang patrinial (dari pihak laki-laki) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada di mana-mana
  2. Kutai adalah salah satu kesatuan Hukum masyarakat Adat asli Jang yang berdiri sendiri, genelogis dan tempat berdiamnya jurai-Jurai atau suku-suku
  3. Hukum adat Jang adalah norma yang tumbuh dan berkembang serta dipatuhi dan mengikat masyarakat adat Jang dalam satu kesatuan wilayah hukum adat Jang, didalamnya mengandung nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, musyawarah, mufakat, kepatutan, magis, religius, arif dan bijaksana dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul di batas-batas wilayah hukum adat Jang
  4. Peradilan Adat Jang adalah mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat Rejang menciptakan keseimbangan dan mendorong memberikan daya Koersif kepada warga supaya mau tunduk pada aturan yang hidup dalam masyarakat tersebut.
  5. Kelpiak Ukum Adat adalah kumpulan dokumen yang berisikan tentang tata aturan penyelesaian sengketa adat yang terjadi di satu kesatuan wilayah hukum adat Jang
  6. Jenang Kutai adalah perangkat peradilan adat yang teridiri dari beberapa personal yang merupakan representatif dari struktur pemerintahan adat Jang dan memiliki kewenangan dan kapasitas untuk menjalankan sistem tata aturan hukum adat
  7. Tempat Penyelesaian sengketa dilaksanakan di wilayah hukum adat Jang dimana terjadi perselisihan atau persengketaan atau tempat terjadinya perkara adat

Dalam pelaksanaan dan penyelesaian konflik adat, hukum adat Rejang mengenal azaz hukum sebagai berikut;[5]

  1. Adat Bersendi Syara’, Syara’  Bersendi Kitabullah berarti ; Adat yang berdasarkan Hukum Agama atau Adat yang  berlaku dalam komunal adat sebagai mana yang dimaksud.
  2. Adat Coa Melkang Keno Panes, Coa Mobok Nukoi Ujen adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang yang berlaku tetap dan tegas dalam kondisi apapun.
  3. Saleak Cong Bepapet adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang untuk pemulihan kondisi keseimbangan atas perselisihan atau persengketaan atau terjadinya perkara adat di dalam wilayah hukum adat Jang.
  4. Adat Aleak Nukoi Janjai adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang untuk menyatakan bahwa adat terikat oleh sistem perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak.
  5. Saleak Kunuak Tebangun adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang untuk menyatakan akibat perbuatan menghilangkan nyawa seseorang maka diwajibkan diwajibkan untuk membayar denda yang disebut ”Bangun” dan terdiri dari:
  6. Bangun Mayo, yaitu bila seseorang meninggal atas perbuatan orang lain yang memang telah direncanakan
  7. Bangun Penuak (penuh), yaitu seorang yang meninggal dunia sebagai akibat perbuatan seseorang yang sebelumnya tidak direncanakan
  8. Bangun Soa atau Bangun Sesalan (penyesalan), sesorang yang meninggal dunia yang memang tidak di kehendaki atau diluar kemampuan pelaku dan masih mempunyai hubungan kekerabatan diantara keduanya.
  9. Piawang Mecuak Timbo, Nukum Lipet adalah kondisi pelanggaran adat yang dilakukan oleh orang yang terhormat karena memiliki kedudukan dan tanggung jawab didalam struktur adat Jang atau struktur pemerintahan dan perangkat agama maka sangsi yang dikenakan adalah Sanksi Lipat dari ketentuan sanksi bila dilakukan oleh masyarakat biasa.
  10. Tepung Setabea adalah seperangkat perlengkapan yang digunakan untuk mengembalikan keadaan kesehatan seseorang yang terdiri dari: daun sergayu atau daun sedingin, daun sirih, daun kundur, diikat menjadi satu dan diletakan dalam mangkuk lalu diberi air kemudian kita percikkan pada seseorang yang habis berkelahi atau dalam keadaan sadar ataupun telah siuman dari pingsan demikian juga orang yang masih dalam keadaan pingsan.
  11. Selengan-Lengan Dendo Adeba Iben Desaghen Sebenek-Benek Dendo Adeba Bangun Mayo adalah kiasan yang menyatakan bahwa Setiap perbuatan yang melanggar adat atau melanggar hukum adat, sudah pasti mereka yang melanggarnya akan mendapat sanksi yang berupa :
  1. Sanksi yang paling ringan adalah Iben Desaghen atau seperangkat sirih yang berjumlah tujuh atau sembilan lembar daun sirih, dilipat memanjang, diikat dengan benang tiga warna, ditambah dengan perlengkapan sirih lainnya dan dimasukkan dalam SELUP (bakul kecil).
  2. b. Sanksi yang tertinggi dalam menyelesaikan suatu persoalan yang dapat diberikan oleh jenang kutai adalah Bangun Mayo atau denda adat apabila ada seseorang meninggal akibat perbuatan orang lain yang memang sudah direncanakan sebelumnya.
  1. Benek Mbeak Temambeak Lengan Mbeak Mapoi adalah kiasan untuk acuan bertindak yang mempunyai Pengertian sesuatu yang berat jangan tambahkan bebannya dan yang ringan janganlah dianggap enteng.
  2. Neak Ipe Bumai Nelat Diba Lenget Jenunjung Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa dimana kita berada, kita harus mengikuti, melaksanakan dan menghargai serta mendahulukan adat istiadat masyarakat ditempat kita tinggal.
  3. Kecek Menepat, Janjai Menughau, Menginjem Mengelek, Utang Mengasen, Mengelai Abis Bae, Bepanuo Neak Atai Dalen, Betareak Ngen Maet Lem Ga’is ungkapkan ini mengandung pengertian:
  • Kata-kata yang pernah ucapkan harus kita tepati.
  • Janji yang pernah dibuat atau sepakati harus kita penuhi.
  • Kalau meminjam sesuatu wajib kembalikan.
  • Kalau berhutang wajib membayar hutang tersebut.
  • Kalau memberikan sesuatu kepada seseorang, maka menyatakan apa yang kita beri tersebut habis dan tidak boleh memintanya kembali.
  • Kalau mengerjakan sesuatu yang diumpamakan berjalan, maka berjalan harus pada jalan yang benar.
  • Kalau kita memahat dan bertara harus mempedomani garis yang ada.

Sedangkan prinsip hukum adat Rejang, di antaranya adalah;[6]

  1. So Samo Kamo Bamo adalah dasar prinsip yang mengakui adanya hak bersama, prinsip kekeluargaan dan mengutamakan kepentingan orang banyak
  2. Tiep-tiep ade de do pengenea adat makau te’ang ngen sudo adalah suatu perbuatan dan penyelesaian sengketa atau perselisihan pada masyarakat adat tidak boleh kita lakukan secara tersembunyi atau disembunyikan.
  3. Adat tulung menulung dan adat Rian Batau Mbatau adalah tindakan saling tolong menolong dalam hal kebaikan baik didalam keluarga maupun dengan masyarakat adat lainnya
  4. Bebania Inde Beneu Bemulan Inde Jalai adalah kiasan strategi untuk menemukan pokok sejati persoalan atau masalah dalam usaha untuk menyelesaiankan sengketa atau perselisihan yang terjadi.
  5. Pendok Dik Sudo Panjang Gik Igai adalah sebutan untuk menyatakan masalah yang telah diselesaikan melalui peradilan adat tidak akan menimbukan masalah turunan baik di dunia maupun diakherat
  6. Betimbang Samo Benek, Bekilo Samo Kelengan adalah keputusan hati nurani dalam memberikan keputusan terhadap suatu permasalahan yang dihadapi, agar keputusan yang kita ambil selain adil, juga telah dipertimbangkan secara seksama dan mendalam atas mudarat dan manfaatnya, serta dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan.
  7. Mu’eak Kakane Ade, Beripit Kakea Ne Coaini adalah azaz pada penentuan sangsi materil terhadap suatu kasus dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi para pihak yang bersengketa
  8. Bepatet Bekenek, Bejenjang Tu’un menjelaskan proses penyelesaian sengketa haruslah mengikuti aturan yang telah digariskan seperti menapaki anak tangga satu persatu, jadi kita tidak boleh terburu-buru ataupun melangkahi aturan yang ada.

Dan cangkupan hukum adat Rejang terdiri dari;

  1. Hok Kutai. Hok Kutai berupa Taneak Tanai, Imbo Piadan adalah ungkapan untuk menjelaskan tata cara dalam pengelolaan sumber daya alam dalam wilayah adat yang teridiri atas tanah, air dan hutan:
  • Dalam pengelolaan tanah harus mendapatkan izin garap dari pemangku adat
  • Tanah garapan harus diberikan tanda-tanda tertentu sebagai bentuk kepemilikan dan batas-batas wilayah
  • Pengelolaan sumber daya alam berupa tanah, air dan hutan berdasarkan kearifan adat dan norma-norma yang disepakati
  1. Hak Suarang, yang rinciannya sebagai berikut;
  • Hok Suwarang Bagiak adalah Harta benda atau kekayaan yang diperoleh semasa dalam perkawinan, bagi Masyarakat Hukum Adat Jang disebut dengan Hok suwarang (suarang artinya berdua antara suami dan isteri). Bila terjadi perceraian, maka harta benda tersebut harus dibagi berdasarkan kesepakatan adat.
  • Serang Nelek yang dimaksud dengan serang dalam Masyarakat Hukum Adat Jang adalah harta bawaan dalam perkawinan, baik yang dibawa oleh isteri maupun yang dibawa oleh suami. Apabila diantara mereka yang ada membawa harta ke dalam perkawinan mereka meninggal dunia dan kebetulan mereka tidak mempunyai anak serta pada saat perkawinan tidak ada perjanjian perkawinan, maka harta bawaan tersebut harus dikembalikan kepada keluarga dari yang meninggal dunia.
  • Hok Pribadi adalah kepemilikan individu yang terlepas dari hak komunal adat yang teridiri ternak, tanaman, lahan dan serupanya harus dikelola berdasarkan kearifan adat dan kesepakatan-kesepakatan antar individu
  • Hok Piawang. Di kenal dengan Hak Piawang atau Hak Dukun atau Orang Berkedudukan wajib mempedomani adat dan beradab, meminta bantuan dengan menyuguhkan sirih, apabila penyakit telah sembuh wajib membayar mahar sebagai ucapan terima kasih, sesuai dengan petunjuk dukun.
  • Tukua Menukua. Tukua menukua nakau amen ade kecek pekat kundoi dik menjuwoa ngen dik menukua Jual beli menjadi sah apabila ada kata sepakat dari pihak penjual dan pihak pembeli.

Di tengah gelombang kekerasan, keserakahan dan krisis identitas budaya lokal yang telah melumat habis ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di banyak tempat di tanah air dan ditengah terjadinya krisis hukum nasional di Jurukalang misalnya, masih ada kekuatan yang terus dipelihara untuk memperkuat teladan dan kearifan budaya di kalangan masyarakat adat, kearifan menyelesaikan konflik, pertikaian melalui pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan yang sangat luhur, Kearifan budaya itu berupa tradisi mempergunakan media tepung tawar dalam meresolusi konflik.

Menurut Bapak Salim Senawar, pemangku adat desa Jurukalang Topos, apabila ada konflik, kekerasan yang saling melukai satu sama lain, dengan menggunakan tradisi tepung tawar itu, diantara orang yang bertikai dapat saling berdamai dan akur kembali. Kemudian dia menceritakan;[7]

Pengalaman konflik antara pemuda desa Topos dengan pemuda tetangga desa sebelahnya saat acara pesta pernikahan. Kedua pemuda itu sudah saling melukai walaupun belum ada yang terbunuh. Konflik antar kedua pemuda itu sudah berkembang aromanya ke arah konflik antar komunitas adapt dalam satu Marga. Namun tokoh adat setempat segera berinisiatif menemui sang keluarga yang bertikai untuk mencari kebenaran asal usul dan penyebab pertikaian. Setelah diketemukan, tutur, tokoh adat dari pihak yang bersalah itu kemudian mendatangi keluarga pihak yang bertikai lainnya sambil membawa “iben/sirih” yakni sebagai alat atau sarana yang harus dibawah kepada keluarga korban atau yang tidak bersalah dalam konflik itu, di dalamnya seperangkat sirih lengkap dan sebungkus rokok.

Sirih atau iben itu sebagai bentuk ungkapan penyesalan dan permohonan maaf kepada keluarga korban. Kalau sudah ada iben ini dibawa, biasanya keluarga korban merasa puas dan dihormati dan langsung menerima ungkapan maaf itu dengan lapang dada tanpa ada perasaan dendam. Usai pemberian iben, kemudian dilanjutkan dengan tradisi tepung tawar dan makan serawo atau punjung mentah, pemuda atau orang yang saling bertikai itu kemudian saling mengoleskan tepung tawar di badannya. Sesudah itu, maka kedua pemuda yang bertikai tadi sudah dianggap menjadi bagian dari saudaranya sendiri. Usai melakukan tradisi punjung mentah dan tepung tawar, konflik yang sudah makin memanas itu kemudian menjadi reda, ungkap Bapak Salim. Ia sendiri sebagai pemangku adat cukup sering menjadi ‘duta’ perdamaian dan melakukan tradisi lokal semacam itu.

“Kalau semua konflik harus diselesaikan secara hukum, nyatanya makin repot dan menimbulkan konfliknya turunan, selain karena aparat negara lambat, butuh ongkos yang lebih dan masyarakat juga kurang puas, hasilnya jauh lebih ampuh dengan pendekatan adat atau budaya lokal,” ungkap Bapak Salim.

Media tepung tawar ini tidak hanya berlaku bagi komunitas yang seidentitas budaya saja, tapi juga dapat dilakukan oleh orang luar yang kebetulan sedang berselisih paham atau berkonflik dengan orang adat Jurukalang.

Hukum Perkawinan

Selain Hukum delik Adat, sistem Hukum di wilayah Lebong, tempat berdiamnya masyarakat hukum adat Rejang. Terdapat juga Hukum perkawinan dan Hukum waris, dalam sistem perkawinan yang mengacu pada sistem eksogami yaitu perkawinan di luar Petulai dan ini merupakan syarat mutlak bagi adanya petulai sebagi clan.

Sebelum dilakukan perkawinan biasanya dilaksanakan pertunangan yaitu proses persetujuan antar kedua belah pihak yang mau kawin persetujuan ini meliputi perjanjian hendak melangsungkan perkawinan tertentu, dalam hal memberikan tanda persetujuan atau janji biasanya seorang laki-laki memberikan tanda rasan kepada seorang perempuan tanda ini biasa dalam bentuk uang dan kain proses ini sering disebut dengan rasan muda, sedang rasan tua adalah kesepakatan antara kedua pihak keluarga yang juga melibatkan unsur kutai lebih luas.
Ketika sistem rasa tua ini tidak menemui kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga, kecenderungan antara bujang gadis untuk mengadakan kawin lari dalam system Hukum local di Jurukalang di sebut mmaling dengan dua cara, yaitu melarikan dengan terang dimana kedua orang tua laki-laki dan perempuan mengetahui kejadian tersebut dan melarikan dengan gelap kedua orang tua dua belah pihak tidak mengetahui kejadian mmaling ini, kedua system ini tentunya memiliki konsekuensi masing-masing.

Sampai saat ini di Jurukalang masih dijumpai sistem Hukum perkawinan yaitu adanya denda Mas Kutai sebagai hukuman atas pelanggaran kawin dan larangan menari antara bujang gadis sesame satu petulai, perkawinan eksogami ini pada asalnya di suku bangsa Rejang berbentuk kawin jujur dan kemudian muncul pula bentuk Kawin Semendo disebabkan oleh pengaruh Adat Minagkabau sehingga dalam system Adat Rejang terdapat dua system perkawinan dan kawin semendo ini disebut dengan istilah Kawin Semendo Ambil Anak.

Perkembangan komunitas membawa implikasi perkembangan sistem Kawin Semendo dengan bermacam-macam akibat Hukum yang menyertainya ada kawin semendo yang menentukan bahwa semua anak masuk kedalam petulai mak, indok (ibu) dan ada yang menentukan sebagian anak ikut petulai bak (bapak) system ini tidak mempengaruhi sistem patrilinial, kemudian kesepakatan kedua system perkawinan ini melahirkan Kawin Semendo Rajo-Rajo artinya bahwa anak semuanya masuk ke petulai bak dan masuk juga ke petulai mak, system ini bukan doble unilateral tetapi tetap unilateral dalam pengertian patrilineal.

Beleket adalah salah satu system perkawinan dalam Hukum Adat Rejang yang saat ini tidak dilakukan lagi, sistem ini melepaskan haknya atas clan seorang perempuan dari system keluarga asal dan masuk ke dalam keluarga laki-laki atau suami disamping memang wajib tinggal sampai meningal di keluarga suaminya, sementara sang suami wijib memberikan leket dalam bentuk uang dan barang kepada keluarga perempuan.

Larangan-larangan dalam sistem perkawinan dalam Hukum Adat Rejang saat ini banyak dipengaruhi oleh sistem agama Islam (syarak), selain larangan kawin dengan sesame warga se petulai, larangan perkawinan parallel cousins dan cross counsins atau perkawinan antar orang-orang saudara sepupu atau orang-orang yang senenek datau sedatuk pun merupakan larangan berat, sangsi atas pelanggaran ini sangat berat dengan membayar mas kutai serta penyembelihan seekor kambing untuk membasuh dusun dari noda atas pelanggaran yang dilakukan, perkawinan ini sering di sebut Kawin Pecah Periuk sedangkan perkawinan satu Poyang (Sepoyang adalah penyebutan dimana kedua orang tua kedua belak pihak pada posisi saudara sepupu) perkawinan ini di sebut Kawin Pecah Tumang.

Hukum Waris

Hukum waris di Jurukalang mempunyai hubungan yang erat dengan keperluan dan keseimbangan komunitas, dengan system dusun yang merupakan kesatuan patrilinial membawa perasaan kesatuan, sehingga harta peninggalan jarang sekali di bagi-bagikan terutama sekali jika telah ada seorang dari ahli waris ditunjuk untuk mengurus harta peninggalan tersebut. Pada asalnya hukum yang bertalian dengan harta di kalangan suku Rejang didasarkan kepada adat belaka, hukum warisnya mempunyai sangkut paut dengan keperluan masyarakatnya dan menjadi keseimbangan dalam keseluruhan masyarakat.

Menurut alam pikiran yang berkembang di masyarakat adat Rejang, matinya salah seorang dari anggota keluarga tidaklah memutuskan dan membinasakan keluarga, namun masih saja di anggap akan ada yang mengantikan orang yang telah meninggal dunia, falsafah ‘Buruk Puar Aling Jelupuh, Patah Tumbuh Ilang Berganti’ adalah bentuk dari manivestasi pergantian generasi yang telah meninggal.

Pada umumnya menurut Adat ditunjuk anak yang tertua dan rumah serta pekarangannya berikut sawah peninggalan mendiang diberikan kepada anak yang tertua baik secara amanah atau tidak. Kedudukan istimewa anak yang tertua ini dinamakan Tuban Beun lazimnya ahli waris yang lain tidak menaruh keberatan terhadap tuban beun tersebut, jika ada yang keberatan biasanya anak yang tertua menuntut pelapin baw sejumlah 24 real dari tiap-tiap ahli waris yang keberatan.
Saat ini umumnya ahli waris dari seseorang yang telah meninggal adalah anak-anak mendiang dengan tambahan restriksi;

  1. Perlu diketahui apa bentuk perkawinan si anak
  2. Perlu diketahui dari bentuk perkawinan apa si anak lahir

Jika bentuk perkawinan anak perempuan adalah jujur/beleket maka anak perempuan itu buat sementara waktu dilepaskan haknya dari pewarisan karena jika suaminya meninggal dunia ia mengantikan kedudukan suaminya dalam hal waris. Sementara perempuan yang tidak kawin jujur tetap menjadi ahli waris dari orang tuanya, sedangkan perempuan dengan kawin jujur buat sementara disingkirkan yaitu selama masa perkawinannya, dalam hal sarak atau cerai mati ia baru mendapat kembali hak warisnya.

Jika perkawinan anak laki-laki adalah kawin semendo tambik anak maka ia tetap menjadi ahli waris dari orang tuanya dan jika bentuk perkawinanya adalah semendo rajo-rajo maka si anak baik laki-laki atau perempuan menjadi ahli waris dari kedua orang tuannya. Seterusnya jika anak tidak ada maka akan diganti oleh cucu kemudian diganti oleh piut dan seterusnya, diambil dahulu turunan di bawah. Sementara posisi anak angkat dalam system Adat Rejang bukan merupakan alhi waris yang sah hal yang sama juga terjadi kepada anak tiri tetapi ketika ia menjadi mulang jurai keduanya bias mempunyai hak waris, selanjutnya hubungan hukum waris ini sangat dipengaruhi dengan sistem dan hukum perkawinan, dan hukum perkawinan ini sangat mempengaruhi susunan ahli waris dan hubungan dalam sistem kekeluargaan.

Ketika Marga masih eksis sering dijumpai tanah pusaka (sako) yang ditinggalkan oleh ahli waris untuk waktu yang lama tidak di usahakan dan tanah pusaka tersebut terbengkalai maka dengan kondisi ini maka tanah tersebut menjadi hak komunal. Hukum waris ini sangat berhubungan dengan hukum-hukum lain yang terdapat dan berkembang di dalam masyarakat Rejang demikian juga di Jurukalang sehingga ‘adat bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah’ menjadi salah satu yang mempengaruhi sistem waris ini, disampin hukum waris dengan hukum tanah dimana hak peserta para anggota masyarakat atau hak bersama masyarakat adat yang membatasi pewarisan tanah. Sako dalam hukum adat di Jurukalang umunya berupa tanah, lading, kebun atau sawah, rumah, beberapa perhiasan dan perkakas rumah tangga.

[1]http://amarta.wordpress.com/2007/11/14/hello-world/
[2]Abd Sani, HukumadatRejang
[3]Aliansi Masyarakat Adat Rejang Topos Pat Petulai (AMARTA). Laporan Proses SimulasiPeradilanAdat di DesaTalangDonok. 2007
[4]Akar Foundation-HuMA. Laporan proses Konsultasi Publik Draf Ranperda Peradilan Adat. 2013
[5]Akar Foundation-HuMA. Draf kluster Hukum Adat. 2013
[6]Akar Foundation-HuMA. Draf kluster Hukum Adat. 2013
[7]Erwin Basrin. LaporanWawancara Pengumpulan Data dan Informasi tentang Penguasaan Tanah (Rapid Land Tenure Assessment) di Eks Marga Jurukalang Kabupaten Lebong, Propinsi Bengkulu.Akar Foundation. 2010