Ruang Pengakuan dalam Desentralisasi dan Otonomi
Suku Bangsa Rejang adalah salah satu suku asli di Sumatera yang mendiami wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, Kepahiang, Bengkulu Utara, dan beberapa daerah di Provinsi Sumatera Selatan. Suku Bangsa Rejang ini memiliki sistem pemerintahan tradisional yang dikenal dengan Kutai (kuteui/kutei), yang berasal dari perkataan Hindu “Kuta” dan dalam bahasa melayu diartikan sebagai dusun yang berdiri sendiri.
Tahun 1861 sistem pemerintahan Marga diterapkan di wilayah Bengkulu dibawah pengaruh jajahan Belanda, di wilayah Rejang, Kelembagaan Marga ini merupakan gabungan dari beberapa Kutai. Dan Hukum yang dipakai ketika itu adalah Undang-Undang Simbur Cahaya yang di adopsi dari Undang-Undang Simbur Cahaya di Sumatera Selatan.
Sistem pemerintahan marga berlaku hingga tahun 1980 setelah keluarnya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Semua sistem pemerintahan terendah di seluruh Indonesia diseragamkan sehingga Marga  dan pemerintahan terendah lainnya di seluruh Indonesia diganti dengan sistem pemerintahan desa, perubahan kebijakan ini juga membawa konsekwensi hilangnya hak akses dan kontrol atas hak-hak masyarakat adat, termasuk hak-hak Masyarakat Adat Rejang.
Negosiasi antara pemerintahan yang sentralistik melalui UU Pemerintahan Desa dengan sistem Pemerintahan Lokal/Adat ini terjadi di wilayah Rejang, Penghapusan Marga berimplikasi pada penerapan sistem Pemerintahan Kutai di tingkat Desa Administratif, sehingga Kepala Desa Administratif secara otomatis menjadi Kepala Adat. Pada aplikasinya terjadi proses pembagian wewenang antara Kepala Desa Administratif dan wewenang sebagai Kepala Adat, tentu saja pada beberapa kasus terjadi pembiasan ketika pembagian wewenang tersebut diakibatkan oleh tendensi dan muatan-muatan kepentingan Penguasa Desa yang sekaligus sebagai Penguasa Adat di tingkat Desa atau Kutai.
Tahun 1999 keluar UU No. 22 tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang sistem Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memberi peluang bagi setiap daerah untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan tradisional mereka dan diakui dalam tata hukum Indonesia. Ruang-ruang kebijakan ini haruslah dimanfaatkan secara maksimal untuk memastikan hak atas adat yang meliputi kelembagaan, wilayah, hukum dan tertib sosialnya, kondisi ini menjadi argumen kuat bagi Badan Musyawarah Adat (BMA) dan Pemerintahan Kabupaten Lebong pada tahun 2013 mengajukan Draf Raperda tentang Lembaga Adat, Tulisan Adat dan Raperda Hukum Adat.
Dalam hukum adat Rejang wilayah adat bukanlah suatu benda material, melainkan lebih memiliki makna gaib (sebagai wujud corak religio-magis). Berdasarkan konsep magis-filosofis inilah, maka tanah atau wilayah adat adalah kekayaan kolektif yang dimiliki secara eksklusif oleh persekutuan hukum adat yang bersangkutan, secara umum disebut dengan istilah hak ulayat atau dalam bahasa Rejang di kenal dengan Taneak Adat/Tanea Tanai. Hak ulayat atau Tanea Tanai adalah hak dari persekutuan hukum adat di mana tanah tersebut berada sebagai wujud dari kekuasaan persekutuan hukum adat yang bersangkutan, yakni kekuasaan atas tanah beserta segala sumber daya alam yang ada yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat.
Eksistensi hak ulayat atas tanah membawa konsekuensi hukum ke dalam (secara internal) dan ke luar persekutuan (secara eksternal), yakni bahwa secara internal adanya hak ulayat memberikan kapasitas secara eksklusif kepada persekutuan hukum adat yang bersangkutan untuk mengelola, memanfaatkan, dan merawat tanah beserta sumber daya alamnya, dan secara eksternal memberikan tanggung jawab untuk menjaga tanah dan sumber daya alamnya dari penguasaan pihak “eksternal adat” beserta segala hal yang membahayakan keberadaan tanah dan sumber daya alam tersebut.
Tentu saja dalam implementasi hukum adat ini nantinya memerlukan pengetahuan dan keterampilan dalam memanajemen konflik untuk mengantisipasi sejumlah kecenderungan sengketa dan menemukan bentuk penyelesaian adat yang terjadi di komunitas adatnya. Mengingat, potensi konflik di masyarakat adat sangat besar jikalau dikaitkan dengan konteks perubahan struktur sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang kian tersegregasi. Baik internal antar warga masyarakat, antara penguasa adat dan warganya, atau antar adat satu dengan yang lainnya. Dan sisi lainya terjadi tunggakan-tunggakan masalah keruangan, konflik klaim kepemilikan lahan antara Negara dengan masyarakat adat sampai saat ini belum terselesaikan.
Secara lengkap analisis ini bisa di baca Analisis Riset_Konflik Hutan di Kabupaten Lebong