Oleh: Dedek Hendry
kupasbengkulu.com, Opini – Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.389.510 hektare yang membentang di Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat merupakan taman nasional terluas kedua di Indonesia. Taman nasional ini ditetapkan sebagai Taman Nasional Warisan Asean pada 2003, dan bersama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) ditetapkan sebagai Warisan Dunia pada 2004.
TNKS dibentuk dari 17 kelompok hutan yang merupakan bagian hutan lindung register tahun 1921-1926 yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda, cagar alam dan suaka margasatwa yang ditetapkan pada kurun 1978-1981, ditambah dengan kawasan hutan produksi (Anonim b; Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, 2003; Purwanto, 2015; Wantoro dan Adam, 2001).
Di Provinsi Bengkulu, sesuai dengan SK Menhut No 748/Menhut-II/2012, luas kawasan TNKS adalah 345.841,30 hektar atau 35,8 % dari luas total hutan Provinsi Bengkulu (924.6.31 hektar). TNKS di Provinsi Bengkulu membentang di wilayah Kabupaten Mukomuko (150.036 hektar), Kabupaten Bengkulu Utara (71.702,70 hektar), Kabupaten Rejang Lebong (25.815,60 hektar) dan Kabupaten Lebong (98.287,2 hektar). Khusus di Kabupaten Lebong, luas kawasan TNKS setara dengan 51 persen dari luas wilayah Lebong (192.924 hektar).
Kabupaten Lebong merupakan daerah otonomi baru yang dimekarkan dari Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Penduduk Kabupaten Lebong berjumlah 105.421 jiwa (Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2014) dengan mayoritas bersuku Rejang dan bermatapencarian sebagai petani kebun, dan tercatat 17,03 persen penduduknya tergolong penduduk miskin (Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2014).
Saat dimekarkan, jumlah kecamatan dan desa di kabupaten Lebong adalah 5 Kecamatan dan 77 Desa/Kelurahan. Dari total jumlah desa/kelurahan tersebut, tercatat 48 Desa/Kelurahan berbatasan langsung dengan TNKS (Anonim a). Tidak adanya pemisah antara desa/kelurahan dan kawasan TNKS dinilai menjadi faktor utama pemicu perambahan di kawasan TNKS. Di lain sisi, keberadaan TNKS di wilayah Kabupaten Lebong telah memicu konflik dengan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang sebagai penduduk asli Kabupaten Lebong.
Sejarah Singkat Masyarakat Hukum Adat Rejang
Kesatuan MHA Rejang mengalami lima tahapan perkembangan dari bersifat genealogis hingga teritorial, yakni meramu (genealogis), petulai (genealogis), kutei (genealogis), kuteui (teritorial), dan marga (teritorial). Pada masa meramu, masyarakat Rejang hidup mengembara dalam kelompok yang kecil.
Mereka menggantungkan kehidupan dari hasil hutan dan sungai. Setelah mengenal teknik bercocok tanam, mereka mulai menetap dan membangun perkampungan yang didiami beberapa keluarga untuk mencukupi keperluan bersama atau disebut Petulai. Kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral, dengan sistem garis keturunan yang patrilineal, dan cara perkawinan yang eksogami (Siddik, 1980) itu dipimpin oleh seseorang yang disebut Ajai.
Pada masa ini, masyarakat Rejang terbagi empat Petulai dengan pemimpinnya adalah Ajai Bintang, Ajai Begelan Mato, Ajai Siang dan Ajai Tiea Keteko. Pada masa Ajai ini datanglah empat orang utusan negara bagian Majapahit bernama Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bembo, Biku Bejenggo dan Biku Bermano.
Kedatangan mereka diterima baik, bahkan mereka diangkat menjadi pemimpin. Di bawah pimpinan empat biku ini, masyarakat Rejang mulai mempunyai hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan lingkungan.
Sehingga, terbentuklah satu masyarakat hukum adat dengan jumlah penduduk tidak lebih 100 orang, dan terdiri dari 10 atau 15 rumah tangga yang disebut Kuteui. Kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis dengan petulainya berciri patrilineal eksogami (Siddik, 1980) ini pemimpin oleh Tuai Kuteui.
Seiring dengan pertambahan penduduk, MHA Rejang membuka kuteui-kuteui baru yang secara perlahan tidak lagi beranggotakan orang se-petulai, tetapi campuran orang berbagai petulai dan pendatang. Dengan demikian, Kuteui tidak lagi merupakan satu masyarakat hukum adat bersifat genealogis, tetapi sudah menuju ke arah masyarakat hukum adat bersifat teritorial.
Lalu, pada masa penjajahan Belanda, keberadaan Kutei diubah menjadi Marga, suatu masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial (Siddik, 1980). Marga dibentuk dari beberapa Kuteui yang disatukan di bawah pimpinan yang disebut Pasirah. Kepala kutuei disebut proatin atau depati atau ginde. Ginde yang berdiam di kutei tempat pasirah berdomisili disebut pembarap.
Selain pasirah dan jajarannya, pada kelembagaan marga juga terdapat Dewan Marga yang berperan membuat keputusan bersama dengan pasirah, dan mengawasi pemerintahan pasirah dan warga marga. Hingga tahun 1961, Siddik (1980) mencatat, MHA Rejang mendiami 28 marga di wilayah Provinsi Bengkulu dan 15 marga di Sumatera Selatan.
Bila mengacu pada wilayah administrasi Provinsi Bengkulu, 28 marga masyarakat hukum adat Rejang tersebut mencakup di wilayah lima kabupaten, yakni Rejang Lebong, Bengkulu Utara, Lebong, Kepahiang dan Bengkulu Tengah. Khusus di Lebong, meliputi Marga Suku IX, Marga Suku VIII dan Marga Bermani-Jurukalang.
Dampak TNKS
Penetapan kawasan dan batas TNKS yang membentang di wilayah Kabupaten Lebong telah memicu konflik berkepanjangan dengan MHA Rejang. Konflik disebabkan penetapan TNKS yang didasarkan dengan paradgima “hak menguasai negara” serta paradigma pengelolaan kawasan yang dilindungi harus terbebas dari aktivitas manusia telah menegasikan keberadaan MHA Rejang, wilayahnya, dan hukum adat Rejang.
Dalam menetapkan kawasan dan batas TNKS, pemerintah tidak pernah mengajak MHA Rejang bermusyawarah, tidak pernah mengumumkannya, bahkan MHA Rejang dipaksa untuk menerima keputusan yang dibuat (Barber dkk, 1997; FGD, 2015; Hartiman, 2013; Hartiman dkk, 2001).
Sehingga, tidak sedikit lahan milik masyarakat seperti sawah, kebun dan pemanfaatan hasil hutan nonkayu secara tradisional masuk dalam kawasan taman nasional (FGD, 2015; Hartiman, 2013; Hartiman dkk, 2001; Wantoro dan Adam, 2001).
Pemaksaan untuk menerima penetapan kawasan dan batas TNKS yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan pendekatan represif, intensif dilakukan pada 1992-1993-an. Kala itu, MHA Rejang yang mengelola kebun yang diwariskan secara turun temurun diusir dan dilarang untuk melanjutkan aktivitas.
Pondok di kebun dihancurkan dan dibakar, tanaman di kebun ditebang, pengelola kebun dikumpulkan dan dipaksa menggunakan kalung yang bertuliskan “perambah” dan difoto oleh petugas. Selanjutnya, mereka disuruh menaiki mobil dan dibawa keliling untuk diperlihatkan kepada masyarakat lainnya. Perlakuan represif petugas balai TNKS yang melibatkan aparat keamanan bersenjata api itu meninggalkan kesan mendalam.
Bagi MHA Rejang, penetapan kawasan dan batas TNKS dianggap telah merampas hak, menghancurkan sumber penghidupan, mempersempit ruang hidup, menggerogoti hukum adat Rejang, melakukan kriminalisasi, dan melanggar hak asasi manusia (FGD, 2015).
Selain itu, penetapan kawasan dan batas TNKS dianggap telah memutuskan mata rantai kehidupan ekonomi dengan lingkungan tanah-hutan (Hartiman dkk, 2001), dan menghilangkan rasa memiliki dan tanggungjawab kolektif masyarakat hukum adat terhadap hutan (Yamani, 2011).
Perlakuan negara tersebut dinilai lebih buruk daripada Pemerintah Hindia Belanda yang menggunakan teoritikal domein verklaring untuk menguasai tanah yang tidak dikuasai secara langsung oleh kesatuan masyarakat adat. Pada saat ingin menetapkan kawasan hutan lindung (BW) pada 1926, Pemerintah Hindia Belanda mengajak dan melibatkan MHA Rejang memusyawarahkannya dan pemasangan patok BW (FGD, 2015; Hartiman, 2013; Hartiman dkk, 2001).
Singkatnya, bila Pemerintah Hindia Belanda menghormati dan mengakui keberadaan MHA Rejang, wilayah adat dan hukum adat Rejang, sementara pemerintah Indonesia malah menafikannya.
Kendati dipaksa untuk menerima keputusan yang dibuat oleh pemerintah, namun MHA Rejang tetap mentaati hukum adat Rejang, khususnya mengenai hukum tanah. Ketaatan itu berlaku secara otomatis spontan (FGD, 2015; Hartiman, 2013; Hartiman dkk, 2001). Sehingga, terhadap wilayah adat yang telah dikelola menjadi kebun dan sawah yang masuk dalam kawasan TNKS, mereka beranggapan tetap berhak untuk mengelolanya.
Hanya saja, aktivitas mengelola dan memungut hasil dari kebun dan sawah tersebut dilakukan laksana main “kucing-kucingan” karena dibayangi rasa cemas, tidak nyaman dan was-was. Apabila mendapatkan informasi mengenai kedatangan petugas balai TNKS, mereka langsung meninggalkan kebun dan sawah, dan berharap petugas tidak merusak pondok dan menebang tanaman yang ditanam.
Penyelesaian Masalah
Sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, dapat dikatakan belum ada upaya yang terencana dan sistematis yang dilakukan Masyarakat Hukum Adat Rejang untuk memperoleh pengakuan atas haknya dan menyelesaikan konflik. Upaya yang dilakukan hanya sebatas menyuarakannya kepada pejabat atau anggota DPRD yang kebetulan melakukan kegiatan di desa.
Kendati berulang kali menyuarakannya, namun tidak membuahkan hasil. Hal serupa sewaktu Masyarakat Hukum Adat Rejang didampingi oleh sejumlah LSM lokal, upaya yang dilakukan tidak membuahkan hasil. Belum terangnya proses legal untuk memperoleh pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan hak-haknya, dan minimnya keberpihakan pejabat dan anggota DPRD Lebong menjadi pemicunya.
Putusan MK No 35/PUU-X/2012 merupakan koreksi mendasar terhadap konsep dan praktik negara menegasikan keberadaan dan hak masyarakat hukum adat atas hutan, dan penguasaan hutan. MK berpendapat, Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” adalah bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”, dan merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.
Sehingga, MK memutuskan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Koreksi mendasar yang dilakukan negara itu selaras dengan pergeseran pendekatan penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi yang merampas hak dan mengusir masyarakat hukum adat. Pendekatan yang menegasikan keberadaan dan hak masyarakat hukum adat atas hutan di dalam kawasan konservasi dan masyarakat hukum adat dianggap sebagai bagian masalah dalam pengelolaan kawasan konservasi itu dikoreksi secara mendasar dengan mengkaitkannya dengan hak asasi manusia, khususnya hak masyarakat hukum adat sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-hak Masyarakat Hukum Adat. Pendekatan baru ini dikenal dengan pendekatan berbasis hak (Campese, 2009; Greiber, 2009; Rights and Resources Initiative, 2015).
Paska keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya, upaya yang dilakukan mulai terencana dan sistematis. Proses legal untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan keberadaan MHA Rejang dan hak-haknya dilakukan secara bertahap.
Diawali dengan mendorong keluarnya Perda tentang Perlindungan dan Pengakuan MHA Rejang, mendorong keluarnya Perbup atau SK Bupati tentang Penetapan Wilayah dan Hutan Adat, dan mendorong keluarnya SK Menteri KLHK tentang Penetapan Hutan Adat. Upaya mendorong keluarnya Perda tentang Perlindungan dan Pengakuan MHA Rejang telah dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang bermuara pada konsultasi publik dan penyerahan draft Naskah Akademik dan Raperda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang ke DPRD Lebong di ruang rapat DPRD Lebong pada Sabtu, 24 Oktober 2015.
Pelaksanaan konsultasi yang didukung Program Representasi USAID ini dilakukan dengan melibatkan aparatur pemerintah desa, tokoh adat, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Pemda beserta satuan perangkat kerja daerah (SKPD) terkait dan DPRD Lebong. Hasil konsultasi, DPRD Kabupaten Lebong dan Pemda Lebong menyepakati pembentukan Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA Rejang menjadi inisiatif DPRD Lebong, dan akan diagendakan dalam Prolegda 2016 untuk dibahas dan disahkan pada 2016.
Kemauan politik (political will) DPRD Lebong tersebut tentunya patut diapresiasi. Selain menjadi “wakil rakyat” pertama di Provinsi Bengkulu yang memiliki kemauan berpartisipasi ikut melakukan koreksi konsep dan praktik negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat hukum adat, kemauan politik tersebut juga berpotensi menjadi contoh bagi “wakil rakyat” Kabupaten dan DPRD Provinsi di Provinsi Bengkulu.
Data yang disampaikan Ketua Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Muhammad Yamani, SH, MH dalam Seminar dan Konsultasi Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia di Ruang Pola Bappeda Provinsi Bengkulu, Kamis (19 November 2015) bahwa sebelum dihapus dengan UU No 5 Tahun 1979 dan Keputusan Gub.Kdh Tk I Bengkulu 1 Oktober 1982, jumlah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bengkulu sejak tahun 1862 – 1982 sebanyak 70 kesatuan meliputi 60 marga dan 10 kedatuan.
Di lain pihak, berdasarkan SK Menhut No 748/Menhut-II/2012, luas kawasan hutan di Provinsi Bengkulu mencapai 924.631 hektar, meliputi 462.965 hektar kawasan suaka alam/pelestarian alam (CA, TN, TWA, Tahura dan Taman Buru), 250.750 hektar hutan lindung, dan 210.916 hektar hutan produksi. (**)
Penulis adalah Manager Program “Mendorong Hak Akses dan Kontrol Masyarakat Adat/Lokal dalam Pengelolaan Hutan dan Sumber Daya Alam secara Adil dan Berkelanjutan di Bengkulu”, Akar Foundation – Program Representasi USAID (2015), dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu.