Pendahuluan
Problema kebijakan alokasi sumber daya hutan biasanya kompleks, karena menyangkut kepentingan fisik dan biologis yang rumit serta harus dipecahkan di dalam lingkungan sosial yang rumit. Ketimpangan hukum menimbulkan dampak yang merusak pada masyarakat sekitar hutan, dimana sumber daya tersebut merupakan sumber utama yang penting bagi penghidupan mereka tetapi pada dasarnya terbatas. Tekanan populasi serta keterbatasan akses produksi oleh masyarakat terhadap sumber daya hutan berdampak pula pada penurunan standar hidup.

Akibatnya, populasi yang berkembang, pertumbuhan permintaan konsumsi serta ketimpangan hukum akan mendorong ekploitasi yang memiskinkan dalam jangka panjang berdampak pada ancaman kelaparan tersembunyi (hidden hunger) di masyarakat sekitar hutan. Pemulihan hak kepemilikan dan penguasaan secara hukum memungkinkan dilakukannya pemberdayaan masyarakat sebagai usaha dalam mengurangi kemiskinan, memperbaiki kondisi sosial budaya masyarakat sekitar hutan.

Hutan memungkinkan masyarakat miskin sekitar untuk mendayagunakan kebutuhan hidup dan kebutuhan dasar mereka guna memperoleh manfaat produktif serta mengurangi kerentanan terhadap kejutan-kejutan ekonomi. Karena hak atas kepemilikan dan penguasan terhadap tanah merupakan aset yang paling penting bagi masyarakat. Menjamin hak-hak penguasaan dan kepemilikan atas tanah berimplikasi kepada sebuah proses transfer kekayaan dan oleh karena itu menyumbang kepada pemberdayaan serta pemberantasan kemiskinan di wilayah pedesaan (Deininger 2003). Dan, ketidakpastian dalam tata kelola hutan menimbulkan dampak yang merusak pada masyarakat pedesaan yang secara turun-temurun bergantung kepada hutan sebagai sumber penghidupan dan penompang kebudayaan. Ancaman-ancaman terhadap keamanan, penguasaan dan kepemilikan masyarakat atas tanah terjadi secara terus-menerus tetapi, tak satu pun dari pihak yang memiliki kekuasaan dan kemampuan itu menghormati hak-hak masyarakat, tetapi justru menyapu peluang-peluang masyarakat terhadap ekonomi, kesejahteraan dan kepastian penguasaan (Jarvie et al 2003).

Ketidakpastian penguasaan atas tanah ini berkontribusi pada ketidakadilan ekonomi dan kesenjangan kesejahteraan antar masyarakat, perubahan sosio-ekonomi, kemiskinan dan ancaman ketersediaan pangan. Sebagai contoh, Griffen (2001) mencoba menarik perhatian terhadap dampak negatif terhadap perempuan yang pada gilirannya memiliki dampak negatif terhadap keselamatan pangan – karena makanan dari hutan, yang secara adat dikumpulkan oleh kaum perempuan, tak dapat lagi dilakukan – demikian pula untuk ketersediaan kayu bakar dan air. Dengan demikian sebagian besar kemiskinan dan dampak terhadap keselamatan pangan diakibatkan oleh struktur sosial yang rumit menyebabkan masyarakat termarjinalisasi, disebabkan ketidakadilan sosial (social inequality) yang bersumber dari ketidaksamaan akses terhadap berbagai aspek pola nafkah dan sulit memperoleh akses terhadap berbagai peluang serta ditompang oleh rendahnya kapasitas sumberdaya, berpengaruh pada peluang dan daya saing secara sosial, ekonomi serta ketidaksiapan dalam menghadapi modernisasi.

Kekurangan pangan paling banyak dikaitkan dengan kondisi kemiskinan masyarakat sekitar hutan, dalam hal ini bukan saja terpenuhinya kebutuhan makan setiap hari, tetapi juga berkaitan dengan kualitas (gizi), variasi makanan (menu) dan kontinuitas. Aya Hirata Kimura dalam Hidden Hunger: Gender and the Politics of Smarter Food, menceriterakan bahwa sekitar dekade 1990-an problem pangan di “dunia ketiga” telah menyita perhatian masyarakat internasional. Kondisi malnutrisi, kekurangan vitamin dan mineral adalah kondisi yang diderita anggota keluarga-keluarga masyarakat sekitar dan di dalam hutan, jalan penghematan nutrisi panganpun dilakukan akibat penghasilan mereka selalu lebih kecil dibandingkan pengeluaran untuk belanja pangan dan pengolahannya. Sementara ekonomi kapitalisme telah menjadikan gizi dan nutrisi sebagai barang komoditi yang makin tak terjangkau oleh penghasilan dari pertanian monokultur. Maka karbohidrat dan penguat/penyedap rasa – yang memalsukan rasa gizi dan nutrisi sesungguhnya – menjadi strategi yang dilakukan keseharian. Usaha menghasilkan melalui pertanian hutan (agrofood) haruslah berorientasi pada konsep kedaulatan pangan yang mengacu pada hak setiap orang, setiap saat, memiliki akses langsung terhadap makanan yang aman
dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan serta preferensi makanan untuk kehidupan yang lebih sehat, ketersediaan pangan secara makro dan berfokus pada akses individu khususnya kelompok marjinal dan masyarakat miskin sekitar dan dalam hutan. Kedaulatan pangan menuntut agar kebijakan berfokus pada akses dan kontrol yang terkonsentrasi pada sumber daya produktif terutama sumber pangan yang disediakan oleh sumber daya hutan yang di keloal langsung oleh petani hutan.

Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan BPS telah menghitung desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan, data PODES SE Tahun 2006 dan PODES Tahun 2008 menunjukan hasil analisa jumlah penduduk miskin di dalam kawasan hutan negara mencapai 5,5 juta jiwa (PODES SE Tahun 2006). Data ini memberi gambaran bahwa jumlah penduduk miskin di sekitar hutan di Indonesia sangat besar bahkan diperkirakan lebih besar dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas mengenai Perhutanan Sosial di Kantor Presiden, Rabu 21 September 2016 menyatakan terdapat 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan di mana 71 % menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Ada 10, 2 juta orang miskin di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki aspek legal terhadap sumber daya hutan.
Pernyataan Presiden ini merupakan respon atas kesenjangan sosial dan mengarahkan kebijakan politik yang mulai fokus pada tata kelola hutan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga memicu Negara di bawah Pemerintahan Jokowi-JK untuk bergerak maju dan semakin membuka pengakuan terhadap klaim masyarakat atas kepemilikan tanah pada Kawasan Hutan.

Pembentukan Tim Kerja Penyusunan Rencana Makro Tenurial Kehutanan (Tim Kerja Tenure) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.199/Menhut-II/2012  dan tandatanganinya Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia oleh 12 Kementerian dan Lembaga (NKB 12 K/L) disambut positif oleh berbagai pihak termasuk CSO yang terlibat pada Konferensi Internasional tentang Tenurian dan Tata Kelola Hutan yang lebih di kenal dengan konferensi Lombok. Konferensi Lombok menghasilkan dokumen Forest Tenure Reform sebagai acuan Pemerintah dalam menjalankan berbagai program dan kegiatan-kegiatan untuk; 1) Perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan; 2) Penyelesaian konflik kehutanan; 3) Perluasan wilayah kelola rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya. Tiga ranah perubahan yang menjadi target dari Forest Tenure Reform tidaklah berakhir pada kepastian hak atas tanah dan hutan, tetapi memastikan terjadinya peningkatan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, pengembangan ekonomi berbasis masyarakat melalui ragam investasi dan inovasi UMKM Kehutanan yang menyasar petani kecil sebagai pengarap dan tergantung hidupnya dengan hutan negara.

Sumber Daya Hutan Sebagai Basis Investasi
Menurut Ress (1990) diacu Fauzi (2004), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumber adalah sesuatu yang memiliki nilai pengetahuan, teknologi atau keterampian untuk memamfaatkannya, harus ada permintaan (demand) terhadap sumber daya tersebut. Dengan kata lain sumber daya alam/hutan merupakan faktor produksi yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi. Setidaknya terdapat tiga sumberdaya utama ekonomi yang ada di hutan, yaitu: lahan, vegetasi bersama semua komponen hayatinya serta lingkungan itu sendiri sebagai sumberdaya ekonomi yang tidak dapat diabaikan. Sumberdaya potensial yang beragam di kawasan hutan mampu menghasilkan hasil hutan non kayu dan hasil hutan tidak kentara (intangible) seperti perlindungan tanah, pelestarian sumberdaya air dan beragam hasil wisata. Hutan sesungguhnya menjadi sumberdaya (resources) yang mempunyai potensi menciptakan barang, jasa dan aktifitas ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Badan Pangan Dunia (FAO) menyebut bahwa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil-hasil biologi selain kayu yang diperoleh dari hutan atau segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II, 2009 bahwa sumber daya hutan non kayu dan hasil hutan tidak kentara (intangible) digolongkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu HHBK Nabati dan HHBK Hewani.  HHBK pada umumnya merupakan hasil sampingan dari sebuah pohon, misalnya getah, daun, kulit, buah atau berupa tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sifat khusus seperti rotan, bambu dan lain-lain.

Secara ekonomi HHBK bisa sangat menguntungkan dan sebagai basis utama kekukatan ekonomi masyarakat sekitar hutan, karena dari satu jenis saja kita bisa memanfaatkan bagian-bagian dari suatu jenis tumbuhan tersebut. Di Indonesia terdapat kurang lebih 306 spesies rotan telah teridentifikasi menyebar di semua pulau di Indonesia, di Papua terdapat hutan sagu seluas 4.769.548 ha. Menurut Prof. Bintoro, untuk menghasilkan 30 juta ton hanya diperlukan lahan seluas satu juta hektar. Indonesai juga memiliki daerah tanaman nipah seluas 10% atau 700.000 ha dari luas daerah pasang surut sebesar 7 juta ha penyebarannya meliputi wilayah kepulauan Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua. Populasi tanaman nipah diperkirakan sekitar 8.000 pohon/ha, sehingga dari luas areal tanam yang ada sekarang terdapat 5,6 miliar pohon. Potensi Perkebunan kopi Indonesia mencakup total wilayah kira-kira 1,24 juta hektar, 933 hektar perkebunan robusta dan 307 hektar perkebunan arabika sebagian besar berada di dalam hutan. Lebih dari 90% dari total perkebunan dibudidayakan oleh para petani kecil dan berasal di kawasan hutan. Hasil assesment Akar Foundation (2016) di wilayah kelola Hutan Kemasyarakatan di 5 Desa di Kabupaten Rejang Lebong saja, dengan luas lahan 1.481,68 Ha menghasilkan kopi berjenis robusta 800-1.300 ton/tahun. Potensi Kopi hutan yang ada di Kabupaten Rejang Lebong ini dikelola oleh Kopresi Hutan Kemasyarakatan “Cahaya Panca Sejahtera” yang memproduksi Merek Kopi Akar (Aroma Kopi Alami Rejang) dan mulai mengembangkan kopi hutan dengan pola perkebunan agroforestry yang memadukan isue produksi kopi dengan konservasi.

Bina Usaha Rotan (BUR) asosiasi dari lebih dari 50 penanam Dayak Benuaq yang berada di desa Papas Eheng, Kutai Barat, Kalimantan Timur memproduksi keranjang anyaman rotan dengan motif tradisional yang diambil dari kebun mencerminkan ekologi dan kehidupan masyarakat Dayak. BUR telah menerima penghargaan Nasional dari Indonesian Craft Exhibition (INACRAFT) di tahun 2010 untuk inovasi kualitas dan inovasi design. Produk mereka telah dijual di pameran internasional di Jepang (2012, 2013), dan di Amerima Serikat (2014) dan telah disertifikasi (dalam hal berkelanjutan) melalui skema sistem penjaminan partisipatif. Rata-rata 20-30% pendapatan rumah tangga berasal dari kerajinan rotan  dan merupakan sumber penghasilan yang sangat penting bagi kesejahteraan sehingga perlindungan dan pemeliharaan kebun rotan mengilhami banyak penganyam di Eheng dan di desa lainnya untuk melestarikan tradisi kerajinan bersumber dari hutan.

Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS) yang berangotakan dari lebih dari 450 orang di 11 jaringan dilahan seluasi 17.000 hektar yang terletak di Batulanteh, Sumbawa. JMHS mampu memproduksi lebih 20 ton madu yang dipasarkan melalui jaringan AMWAY dan beberapa gerai di Jakarta. Promosi dan peningkatan kualitas petani madu, berkontribusi pada peningkatan pendapatan petani mencapai 150 % dalam 5 tahun terakhir, rata-rata menyumbang Rp 2.500.000 dari total pendapatan petani perbulanan. Karena keberhasilannya, JMHS telah memiliki Intellectual Property (IP) dalam bentuk sertifikasi resmi dari Geographical Indication (GI). Di Sumatera Utara, kelompok perempuan di Muara Tanjung, Serdang Bedagai menjadi enterpreneurs untuk mengembangkan berbagai produk hutan mangrove dengan membuat selai, kerupuk, teh dan aneka produk makanan dari kawasan mangrove. Produk ini diproduksi oleh kelompok perempuan yang terdiri dari 20 orang. Dampak positifnya adalah mereka terus menjaga ekosistem mangrove agar bisa terus berproduksi. Dengan demikian, kawasan mangrove terus terjaga dan warga memiliki penghasilan alternatif.

Hasil hutan non-kayu sudah sejak lama masuk dalam komponen penting dan strategi bagi penghidupan petani pengarap hutan hutan, tetapi sampai saat ini budidaya tanaman HHBK belum banyak dilaksanakan, sebagian besar produk HHBK masih diambil dari dalam hutan sehingga produksi HHBK yang berkesinambungan tidak lagi terjamin. Akibatnya sumberdaya HHBK menjadi hancur bahkan beberapa jenis masuk kategori langka, seperti gaharu, damar rasak, jelutung, kapur barus, jermang, ketiau, balau dan lain-lain sudah masuk ke dalam daftar Appendix II CITES (Sumadiwangsa dan Mas’ud, 1999). Padahal upaya untuk mempromosikan pemanfaatan hutan yang ramah lingkungan berhasil meningkatkan perhatian terhadap pemasaran dan pemungutan hasil hutan non-kayu sebagai suatu perangkat dalam mengembangkan konsep kelestarian, kesejahteraan dan kedaulatan pangan.

Kebijakan Anggaran dan Desentralisasi Sebagai Peluang Percepatan Penyelesaian Masalah Kehutanan
Tindakan politik Pendelegasian melalui terbitnya UU 23/2014 tentang Pemda yang mengatribusi urusan-urusan pemerintahan ke dalam Undang-Undang (sebelumnya bersifat delegasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah), Pasal 15 ayat 2, 3, dan 4 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan peluang pengaturan urusan-urusan (yang belum tercantum pada lampiran Undang-Undang) melalui Peraturan Presiden maupun Peraturan Pemerintah yang akan menjadi derivasi peraturan pelaksananya. Rezim kebijakan tersebut menandakan bahwa sistem otonomi daerah telah bergeser dari pendekatan kewenangan kepada pendekatan urusan-urusan. Idealnya pendelegasian ini memberi ruang gerak dan kesempatan yang adil kepada daerah dalam memperoleh wewenang urusan secara konkuren dan menjawab masih sering dijumpai adanya logika yang asimetris yang bermula pada kompleksitas konsep desentralisasi politik (political decentralisation perspecitve) dengan desentralisasi administrasi (administrative decentralisation perspecitve) antara Pusat dan Daerah.

Bagi Pemerintahan Daerah, desentralisasi ini penting sebagai mewujudkan political equality untuk membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal, dan local accountability untuk tercipta peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak rakyatnya dalam proses pengambilan keputusan, implementasi dan kontrol pelaksanaan kebijakan di daerah. Dan tidak kalah pentingnya adalah local responsiveness. Asumsi dasarnya adalah Pemerintah Daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi rakyatnya. Pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah terutama sektor pembangunan perhutanan sosial.

Secara implmentatif efektivitas pengendalian kewenangan kendali atas wilayah hutan oleh Pemerintahan Propinsi dengan letak lokasi tapak berada di wilayah Kabupaten adalah bentuk asemetris  urusan dan kewenangan kehutanan ditingkat  Pemerintaha Propinsi dan Kabupaten/Kota, sehingga  pelaksanaannya PP No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan belum terlaksana dengan baik di tingkat Propinsi untuk penyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi; tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam belum efektif.[1]

Kondisi fatual yang terjadi membuat Pemerintah pusat berkontribusi terhadap permasalahan tata kelola di daerah, tetapi rentang kendalinya ditarik lebih jauh dan luas ke tingkat provinsi. Pembagian kewenangan mengurus yaitu meliputi pembinaan, pengawasan dan pengendalian kepada pemerintah provinsi berpotensi tidak dapat terlaksana secara optimal, mengingat kapasitas dan daya jangkau yang tidak memadai untuk mencapai seluruh wilayah. Karena secara empiris kedudukan kabupaten lebih strategis dan lebih dekat dengan akar persoalan di masyarakat. Hal ini berpengaruh pada proses pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang tidak sepenuhnya bisa berjalan optimal, masih seringnya terjadi mis-manajemen, mal-administrasi, inkompetensi aparatur, kegagapan atas kebijakan merupakan masalah yang harus segera ditangani secara sungguh-sungguh. Di tingkat tapak, berakibat pada semakin meluasnya kerusakan sumber daya hutan, tumpang tindihnya hak dan kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan dan terhambatnya upaya pengembangan ekonomi masyarakat, kebingungan dan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan pemberdayaan masyarakat.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kahutanan No 83/MLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial dan kebijakan teknis Perdirjen No. P.2/PSKL/Set/KUM.1/3/2017 tentang Pembinaan, Pengendalian dan Evalusi. Setidaknya memberikan harapan dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi yang bebasis pada karakteristik, potensi, dan kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah. Melalui kewenangan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan Sosial (POKJA PPS) sebagai unit kerja para pihak dalam pemberian hak pengelolaan, perizinan, kemitraan dan Hutan Adat di bidang Perhutanan Sosial serta menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.

Belajar pengalaman Akar Foundation-Safir (2016-2017) dalam mendorong multi pihak (individu, eksekituf, SKPD, Legislatif, BUPSHA, P2H BLU KLHK, sektor bisnis, NGOs, Perguruan Tinggi dan lain-lain) untuk terlibat aktif dalam pengelolaan sumber daya hutan di Kabupaten Rejang Lebong menunjukan bahwa forum multi stakeholde berkontribusi sebagai media efektif untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (nasional dan daerah) guna merespon isu-isu yang menjadi kepedulian dan tujuan bersama rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan. Pertemuan, diskusi dan forum bersama antar pemangku kepentingan menjadi penting untuk mengembangkan proses dialogis dan membangun kesadaran serta melakukan aksi bersama. Dalam konteks pelayanan publik, forum multi stakeholder ini merupakan proses dialogis antara penyedia pelayanan dan pengguna pelayanan untuk mencapai suatu pelayanan publik yang berstandar, efektif, efisien, dan terjangkau.

Pemberdayaan Masyarakat Sekitar dan Dalam Hutan
Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Peraturan pemerintah RI No. 3 Tahun 2008 cenderung melibatkan masyarakat melalui pemberdayaan sehingga okupasi dapat diselesaikan. Pemberian hak pengelolaan hutan baik oleh pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya memberikan fasilitas sebagai berikut; 1) Pengembangan kelembagaan dan Pengembangan usaha (Pembentukan kelompok tani dan fasilitasi); 2) Peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM (Bimbingan teknologi, pendidikan, magang, dan latihan); 3) Peningkatan akses dan asset sosial(regulasi).

Program Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan harus memiliki tiga karakter utama yaitu berbasis masyarakat (community based), berbasis sumber daya setempat (local resource based) dan berkelanjutan (sustainable).  Pengalaman praktis Akar Foundation dalam mendorong pemberdayaan masyarakat pengarap Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu, faktor- faktor pendorong terjadinya pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut;[2]

  1. Memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang dimiliki, menguatkan individu dan pranata sosial seperti nilai-nilai budaya pelestarian hutan dan lingkungan, pembaharuan kelembagaan sosial dan ekonomi.
  2. Membuka akses kepada sumberdaya hutan, lahan, modal, kemajuan teknologi (budidaya, pengolahan paska panen), pasar produk (wiraswastawan, mitra usaha), dan lapangan kerja.
  3. Penyediaan prasarana dan sarana seperti unit produksi/pabrik pengelolaan hasil, inprastruktur dan komunikasi. Dan prasarana dan sarana pelatihan seperti bidang sosial, ekonomi, teknologi dan pemasaran.

Pentingnya pemberdayaan bagi masyarakat setempat utamanya dalam rangka pengentasan kemiskinan akibat ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliputi: asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Catatan penulis dalam kerangka analisis kemiskinan di masyarakat 13 desa yang telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) di Propinsi Bengkulu, bahwa kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia seperti kebutuhan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang.

Sebagian besar kemiskinan yang dialami oleh masyarakat setempat yang tergantung akan hutan diakibatkan oleh struktur sosial yang rumit dan sulit memperoleh akses terhadap berbagai peluang serta ditompang oleh rendahnya kapasitas sumberdaya. Kekurangan pangan berkaitan dengan kualitas (gizi), variasi makanan (menu) dan kontinuitas paling banyak dikaitkan dengan kondisi kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Ketergantungan ekonomi masyarakat sekitar hutan selalu saja disertakan dengan ketergantungan budaya dan mempengaruhi pola komsumsi masyarakat sekitar hutan. Kebutuhan akan pangan disediakan atas pasok dari luar yang mal-nutrisi, skema pasar kapitalisme telah meng-ekonomikan makanan masuk ke pelosok-pelosok perkampungan hutan dan masyarakat sekitar hutan sebagai kosumen utamanya. Kondisi ini menampilkan dibalik rasa kenyang sebenarnya masyarakat sekitar hutan kelaparan.

Kondisi ini memicu terjadi perubahan modus konsumsi petani hutan, misalnya di 721 Kepala Keluarga Pengarap Hutan Kemasyarakat di Kabupaten Rejang Lebong sudah sejak 1980an, keluarga petani membeli beras, sejak pertanian multikultur berubah menjadi monokultur dengan mengandalkan satu komoditas yang cepat bisa dipasarkan. Padahal pada 1970-an, masyarakat di lima desa tersebut menanami tanah (yang sekarang dimilikinya) dengan padi, kopi dan tumpangsari.

Pelibatan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menjadi penting selain masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara. Masyarakat merupakan aset yang eksistensinya dapat mendukung terwujud-nya pengelolaan kawasan yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan kawasan hutan yang telah diberikan Negara selayaknya menjadi landasan dalam membangun kemitraan antar pihak yang sejajar dalam kerangka pengelolaan, kawasan hutan yang lestari dan mensejahterakan masyarakat.[3]

Para pihak dan peta aktor yang harus terlibat dalam program pemberdayaan adalah masyarakat setempat sebagai pengarap kawasan hutan yang telah mendapat izin kelola serta para pihak yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya pengelolaan hutan oleh masyarakat, yaitu: Pemerintah Daerah untuk mensinergikan program-program pembangunan wilayah dengan pelaksanaan pembanguan kehutanan oleh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan transfer pengetahuan dan teknologi pada masyarakat untuk mempercepat terjadinya perubahan sosial untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, Lembaga Ekonomi Masyarakat berperan dalam mengembangkan usaha untuk peningkatan ekonomi masyarakat karena  mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan, Lembaga Sosial Masyarakat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan mendukung kehidupan sosial masyarakat sekitar hutan menjadi lebih kualitas, Usaha Swasta berperan dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan, yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal, Lembaga Pendidikan memiliki peran dalam usaha pengembangan sumberdaya manusia, melakukan kajian dan transfer ilmu, pengetahuan dan teknologi pada masyarakat desa hutan, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup dalam keterlibatannya pada pengelolaan hutan yang lestari dan mensejahterakan dan Lembaga Donor berperan untuk memberikan dukungan dana kepada masyarakat pengelola hutan.

Berdasarkan laporan Akar Foundation 2016 melalui pelaksanaan program Promoting Community Based Forest Product and Enterprise di lima desa yang telah mendapatkan IUPHKm di Rejang Lebong, ada enam permasalahan sosial ekonomi yang harus diselesaikan, yaitu:

  • Pertama; rendahnya pendapatan yang diakibatkan masyarakat pengelola hanya tergantung dengan satu komoditi dan pengendalian harga oleh tengkulak. Inisiatif pembentukan unit usaha ekonomi (Koperasi HKm Cahaya Panca Sejahtera) berbasis komoditas kopi merupakan strategi untuk melepaskan ketergantungan dan mengendalikan harga komoditi, Bubuk Kopi dengan brand Akar (Aroma Kopi Alami Rejang) adalah salah satu stategi dalam rangka meningkatkan nilai jual, asal usul dan identitas georafis produk. Dan dalam rangka penguatan posisi tawar paling tidak ada enam poin yang diintervensi pada kelembagaan masyarakat pengelola hutan (kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani dan Koperasi Petani Hutan. Pertama, peningkatan peran dan sinergitas antar para pihak. Kedua, mendorong akses yang lebih mudah dalam akses terhadap modal (finansial), pasar, teknologi, informasi dan proses pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan tata kelola hutan. Ketiga, menguatkan partisipasi dan jejaring kerja. Keempat, meminalisir kesenjangan kebijakan. Kelima, meningkatkan posisi tawar kelembagaan dalam kemitraan. Keenam, penguatan dokumen, data dan informasi kelembagaan.
  • Kedua; rendahnya kesehatan yang disebabkan oleh kelaparan yang tersembunyi (asupan nutrisi), budaya pertanian multikultur berganti dengan monokultur. Pemenuhan kebutuhuan gizi dalam rumah tangga dilakukan dengan melakukan penataan komoditi di lahan garapa (on farm), intervensi dilakukan dengan melakukan penataan batas dan membangun rencana kelola kawasan, dandiversifikasi tanaman dilakukan dengan memperhatikan sebaran hasil sesuai rentang waktu maupun rentang jenis dengan tanaman-tanaman yang berkontribusi untuk kebutuhan pangan, sehingga masyarakat tidak lagi tergantung dari pasokan pangan dari luar maupun sumber makanan instan.
  • Ketiga; Rendahnya jejaring informasi pasar produk dapat menghambat pencapaian kegiatan pemberdayaan masyarakat. Implikasinya, pemanfaatan kesempatan usaha tidak optimal, kemampuan mendapat nilai tambah komoditi menjadi sulit, harga jual hasil produksi masyarakat tertekan, dan masyarakat sulit melepaskan diri dari kungkungan sistem yang membelenggu terutama dengan informasi yang konsumerisme. Intervesi pada pengelolaan komoditi (off farm) ditujuhkan pada usaha peningkatan nilai tambah dari komoditi yang dihasilkan hingga sampai pada konsumen akhir. Dari praktek yang pernah dilakukan di Kabupaten Rejang Lebong oleh Akar Foundation (2015) dengan mengunakan Community Livelihood Assesment and Products Scanning (CLAPS). Oleh 20 orang enterfrenership petani hutan kemasyarakatan memisahkan konsep ‘rantai’ dan konsep ‘jaringan’, karena ketika ditujukan pada komoditi hasil hutan, kedua konsep ini bisa berbeda, seperti value chain, commodity chain, activities chain, production network dan value network. Konsep ‘Rantai’ merujuk pada sekuel vertical dari kegiatan yang mengarah kepada penyerahan, konsumsi dan perawatan barang dan jasa-jasa mencakup tahap pembuatan konsep dan perancangan, proses diperolehnya input/sarana produksi, proses produksi, kegiatan pemasaran, distribusi, dan kinerja layanan purna jual. Seluruh kegiatan tersebut membentuk keseluruhan ‘rantai’ yang menghubungkan produsen dan konsumen, dan tiap kegiatan menambahkan ‘nilai’ pada produk akhir. Dan Konsep ‘jaringan’ mengetegahkan sifat dan kedalaman dari hubungan-hubungan dalam kelompok-kelompok ekonomi yang lebih besar. Dengan demikan pengelolaan komoditi haruslah bekerja pada aspek mikro dan makro yang mencakup isu-isu organisasi dan koordinasi, strategi, dan hubungan kekuatan antara berbagai pelaku.
  • Keenam; Terbatasnya modal ekonomi masyarakat. Keinginan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan seringkali terhambat karena keterbatasan modal ekonomi berdampak pada terhambatnya pemanfaatan lebih lanjut sumber daya hutan, rendahnya peluang berusaha, dan sulitnya mengembangkan potensi dan mendapat nilai tambah sehingga pada akhirnya cenderung berorientasi pada eksploitasi illegal sumber daya hutan. Rabu (21/2), Bank Dunia mengeluarkan laporan yang berjudul “Sustaining Economic Growth Rural Livelihoods and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Asistance in Indonesia” (Melestarikan Pertumbuhan Ekonomi, Penghidupan Pedesaan dan Manfaat Lingkungan: Opsi-opsi Strategis Untuk Bantuan Kehutanan Indonesia). Laporan tersebut mempelajari bagaimana donor dan badan pembangunan dapat membantu pelaku kehutanan, seperti badan-badan pemerintah, masyarakat madani, sektor swasta, dan masyarakat miskin, dalam melaksanakan tata kelola hutan. Praktek kebijakan anggaran atau pendanaan yang dipraktekkan oleh Pemerintah selama ini cenderung mengalami ketimpangan jika berhubungan dengan masyarakat sekitar dan di dalam hutan. Praktek-praktek bisnis dan upaya peyederhanaan dan kemudahan insentif haruslah berkonsontrasi pada ekuitas dan distribusi keuntungan yang merata, dan berbasis pada kondisi, kapasitas potensi (sumber daya alam dan potensi manusia) yang termanisfestasi dalam sistem kelembagaan, sosial dan budaya masyarakat. Mencapai tujuan dari tata kelola Perhutanan Sosial ada beberapa opsi pendanaan, antara lain;
  • Project Financing. Proyek finance adalah investasi yang didanai sebagian oleh lembaga keuangan dan sebagian lagi oleh modal sendiri (equity). Mengacu pada equity potensi dan kondisi, porsi pendanaan dari equity ini sebesar 10-20 % dan sisanya didanai dari lembaga keuangan Bank maupun non Bank.
  • Self Financing. Self financing adalah investasi yang seluruh pendanaannya berasal dari Dana sendiri (berasal dari akumulasi potensi yang dimiliki maupaun akumulasi keuntungan).
  • Voluntary Fund, adalah pendanaan yang tidak menggikat atau yang dikenal dengan skema hibah dari beberapa lembaga yang konsisten mendukung pengelolaan hutan lestari.
  • Menyempurnakan, meyederhanakan regulasi dan perluasan serta kemudahan terkait akses bagi unit usaha Petani Hutan khsusunya masyarakat miskin pengelola hutan untuk menjangkau akses modal terutama dengan badan-badan Pemerintah (P2H BLU KLHK dan Bank Negara).

 Kesimpulan
Paper Akademik ini disusun dengan berbagai keterbatasan sehingga masih jauh dari sempurna. Namun secara garis besar semoga bisa memberi gambaran tentang peranan pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan Perhutanan Sosial dalam meningkatkan perekonomian masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan melalui berbagai bentuk kegiatan produktif yang berbasis hutan dan bukan hutan.Strategi pokoknya, merupakan rangkaian kegiatan prakondisi yang dilakukan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hutan melalui penguatan organisasi, penetapan aturan, dan peningkatan kapasitas SDM serta kemitraan dengan perimbangan hak dan tanggung jawab. Strategi optimumnya adalah pemberian kesempatan pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan ketentuan-ketentuan yang memberi insentif pada efesiensi dan keberlanjutan usaha dan kelestarian hutannya, tanpa harus membagi-bagi dan menyerahkan kepemilikan areal hutan pada masyarakat pelaku ekonomi. Strategi Praktek dalam memajukan perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan haruslah memiliki beragam bentuk kegiatan ekonomi produktif yang bersifat lokal spesifik, karena dipengaruhi oleh potensi sumber daya hutan, sumber daya alam daerah, sumberdaya manusia, serta sosial dan budaya masyarakatnya. Strategi pengelolaan akibat terjadinya hambatan pengelolaan produk hasil hutan dari rantai pemasaran yang menyebabkan timbulnya distribusi keuntungan yang tidak merata.  Keberadaan program Perhutanan Sosial idealnya harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan indikator peningkatan pendapatan berbasis rumah tangga. Dengan demikian kebijakan insentif ekonomi kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan baik dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam upaya peyederhanaan dan kemudahan insentif serta peningkatan penanganan pasca panen dan jaringan pemasaran produk-produk dari tata kelola komoditi hutan. Mengatur sistem tata niaga dan distribusi keuntungan bagi setiap lembaga tata niaga yang terlibat dalam pengelolaan dan pemasaran produk sehingga dicapai tata kelola dan tata niaga yang efisien dan distribusi keuntungan yang adil terhadap setiap pelaku.

Daftar Pustaka

  1. Akar Foundation. 2016, Kertas Posisi Opsi Pendanaan lain dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial di Bengkulu. Diperolah dari, https://www.academia.edu/26032858/Kertas_Posisi_Opsi_Pendanaan_lain_dalam_Pengelolaan_Perhutanan_Sosial_di_Bengkulu
  2. Arnoldo Contreras-Hermosilla, Forest Trends, dan Chip Fay. 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia melalui Pembaharuan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka Tindakan, World Agroforestry Centre
  3. Suwarno, Rarijanto. Simarmata, Rikardo dan Ahmad, Rival. Dibawah Satu Payung. Tim Konsultasi Publik RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam.
  4. Basrin, Erwin dan Kusdinar, Pramasty Ayu. 2015. Research Report “Advancing Recognition of Social Forestry and Indigenous Forestry by Improving the Implementation of the Law on Local Government”, Akar Foundation-RMI.
  5. Fauzi, Akhmad. 2004. Can commercialization realy solve externalities in the forested area? Lessons learned from payment for environmental services schemes in Indonesia, Indiana University press.
  6. Geertz, Clifford. 2016. Involusi Pertanian, Jakarta: Komunitas Bambu.
  7. Forest Managemen Student Club (30 Mei 2016). Mengenal Potensi Unggulan Hasil Hutan Non Kayu (HHBK), diperoleh dari. http://fmsc.lk.ipb.ac.id/2016/05/30/mengenal-potensi-unggulan-hasil-hutan-bukan-kayu-hhbk/
  8. Johnson, Craig. 2013. Pembangunan Tanpa Teori-Kuasa Pengetahuan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Resist Book.
  9. 9.      Kantor Stap Presiden. (21 September 2016). Atasi Kemiskinan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan, Presiden Jokowi: Permudah Akses Perhutanan Sosial. Diperoleh dari, http://ksp.go.id/atasi-kemiskinan-masyarakat-sekitar-kawasan-hutan-presiden-jokowi-permudah-akses-perhutanan-sosial/
  10. Kimura, Aya Hirata. 2013. Hidden hunger: gender and the politics of smarter foods, Cornell University Press.
  11. Kusdinar, Pramasty Ayu.2016. Report of Program “Promoting Community Based Forest Product and Enterprise,” Akar Foundation, Unpublised.
  12. Kusdinar, Pramasty Ayu. 2016. Laporan Riset Aksi Pemetaan Sosial dan Praktik Tenurial Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu. Akar Foundation-Right Resources Initiative-Epistema Institute.
  13. Setiawan, Bonnie. 2014. Jaringan Rantai Kapitalisme Global, Yogyakarta: Resist Book
  14. Sugiyanto, Catur dan Aula Ahmad Hafidh Saiful Fikri. Ekonomi Sumber Daya Alam, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Managemen YKPN.
  15. Subejo dan Supriyanto, (2014), Metodologi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, short Paper pada Kuliah Intensif Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan, Study on Rural empowerment (SORem) – Mahasiswa Fak. Pertanian UGM tanggal 16 Mei 2004.
  16. Hakim, Ismatul dan Wibowo Lukas (Ed). 2015. Hutan untuk Rakyat: Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan, Puspijak, LKiS, 2014.

[1]Erwin Basrin dan Pramasty Ayu Kusdinar, Research Report “Advancing Recognition of Social Forestry and Indigenous Forestry by Improving the Implementation of the Law on Local Government”, Akar Foundation-RMI, 2015
[2]Pramasty Ayu Kusdinar, Report of Program “Promoting Community Based Forest Product and Enterprise,” Akar Foundation, Unpublised, 2016
[3]Pramasty Ayu Kusdinar, Akar Foundation-Right Resources Initiative-Epistema Intitute. 2016: Laporan Riset Aksi Pemetaan Sosial dan Praktik Tenurial Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu.