Kopi Akar yang merupakan akronim dari Aroma Kopi Alami Rejang adalah produk bubuk kopi berjenis Robusta berasal dari kawasan hutan Lindung Bukit Daun Register 5. Kawasan hutan Lindung yang di kelola oleh Masyarakat Desa Air Lanang, Tanjung Dalam, Tebat Pulau, Tebat Tenong Dalam dan Baru Manis melalui Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hutan Kemasyarakatan ini sangat rinci menuju pengelolaan hutan yang berkontribusi pada peningakatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian ekologi.
Kopi berjenis robusta ini, telah berperan memenuhi produksi kopi dunia, dua spesies lain yang tumbuh pada skala kecil yaitu Coffea liberica (Liberica kopi) dan Coffea dewevrei (excelsa kopi). Indonesia merupakan negara produsen kopi terbesar keempat di dunia setelah Kolombia, Brazil dan Vietnam. Areal produksi kopi di Indonesia diperkirakan telah mencapai sekitar 1,3 juta hektare, yang tersebar dari Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Dan, Kopi jenis Robusta umumnya dibudidayakan oleh petani di Bengkulu, Sumatra Selatan, Lampung, dan Jawa Timur.
Kopi Robusta atau yang disebut dengan Coffea Canephora pada awalnya hanya dikenal sebagai semak atau tanaman liar yang mampu tumbuh hingga beberapa meter tingginya. Hingga akhirnya Kopi Robusta pertama kali di temukan di Kongo sekitar tahun 1895 oleh Emil Laurent.  Namun terlepas dari itu ada data yang menyatakan jenis Kopi Robusta ini telah ditemukan lebih dahulu oleh dua orang pengembara Inggris bernama Richard Burton dan John Speake pada tehun 1862. Kopi Robusta (Coffea robusta Lindl, ex De Willd) termasuk dalam kelas Dicotyledonae dan bergenus Coffea dari famili Rubiaceae.
Jenis kopi ini memiliki akar tunggang yang tumbuh tegak lurus sedalam hampir 45 cm dengan warna kuning muda. Batang dan cabang-cabang kopi Robusta dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 2 – 5 meter dari permukaan tanah atau mungkin juga lebih, tergantung didaerah mana kopi tersebut tumbuh. Benih Robusta berbentuk oval dan biasanya lebih kecil daripada kopi arabika. Pada umumnya ketinggian atau elevasi lokasi tumbuh tanaman kopi sangat berpengaruh terhadap besarnya biji kopi, jika berada di tempat yang lebih tinggi maka biji kopi akan menjadi lebih besar.
Jika kita baca tentang sejarah kopi, kopi mulai terkenal di Indonesia semanjak tahun 1696 ketika Walikota Asterdam, Nicholas Witsen memerintahkan komandan pasukan Belanda di Pantai Malabar, Adrian Van Ommen, untuk membawa biji kopi ke Batavia. Kopi arabikalah yang pertama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di timur Jatinegara, yang menggunakan tanah pertikelir Kedaung yang kini lebih dikenal dengan Pondok Kopi. Beberapa waktu kemudian kopi ini menyebar ke berbagai daerah di Jawa barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten dan Priangan, hingga kemudian menyebar ke daerah lain, seperti Pulau Sumatera, Sulawasi, Bali dan Timor.
Baru pada tahun 1900 Pemerintah Belanda mendatangkan kopi jenis Robusta (Coffea Canephora), yang ternyata tahan terhadap penyakit karat daun dan memerlukan syarat tumbuh serta pemeliharaan yang ringan , sedangkan produksinya jauh lebih tinggi. Maka kopi Robusta menjadi cepat berkembang menggantikan jenis Arabika khususnya di daerah – daerah dengan ketinggian di bawah 1000 m dpl dan mulai menyebar ke seluruh daerah baik di Jawa, Sumatera maupun ke Indonesia bagian timur.
Dan saat ini, Bengkulu merupakan provinsi yang masuk lima besar sebagai produsen kopi Se-nusantara. Dan, tak heran Bengkulu terkenal sebagai provinsi di “segitiga emas robusta” selain Lampung dan Sumatera Selatan. Ada dua kabupaten di Bengkulu yang menjadi area pertanian rakyat, yakni Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong. Di kawasan ini terdapat gunung Kaba, dimana daerah ini merupakan lahan pertanian yang subur dan menjadi menjadi pusat kegiatan petani Bengkulu sejak pascareformasi. Kawasan sekitar Gunung Kaba juga digadang-gadang sebagai “surga kopi”.
Mengonsumsi kopi telah menjadi budaya, trend dan gaya hidup masyarakat. Bukan hanya sewaktu sarapan, mengonsumsi kopi juga dilakukan sehabis makan, berbincang-bincang/berdiskusi, bersantai-santai, belajar bahkan bekerja. Oleh karena itu, hampir di setiap rumah, rumah makan/restoran, hotel/penginapan, dan kantor memiliki stok kopi. Meminjam Data Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (2014) menyebutkan konsumsi kopi Indonesia mengalami pertumbuhan. Kenaikan rata-rata pertumbuhan konsumsi kopi dari periode 2009/2010 sampai 2012/2013 adalah 13,6%. Lalu, pertanyaannya apakah kopi bermerek Akar ini mampu menjadi bagian dari tangga “surga kopi?”
Hasil Analisis Pasokan Bahan Baku yang dilakukan oleh Akar Foundation sepanjang tahun 2016 bahwa terhitung mulai tanggal 26 Maret 2015, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Maju Jaya di Desa Tanjung Dalam, Gapoktan Tri Setia di Desa Tebat Pulau, Gapoktan Enggas Lestari di Desa Tebat Tenong Dalam, Gapoktan Rukun Makmur di Desa Barumanis dan Gapoktan Tumbuh Lestari di Desa Air Lanang diberikan izin untuk memanfaatkan areal di kawasan Hutan Lindung Bukit Daun dengan luas total 1.486,61 hektar melalui skema Hutan Kemasyarakatan (lihat tabel). Pemberian izin tersebut didasarkan pada Keputusan Bupati Rejang Lebong Nomor 180.186.III Tahun 2015 Tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) Kepada Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dalam Kabupaten Rejang Lebong.
Jauh sebelum IUPHKm terbit, para anggota Gapoktan telah memanfaatkan lahan Hutan Lindung Bukit Daun menjadi lahan perkebunan sebagai sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Umumnya, mereka membuka kebun kopi yang berpolakan tumpang sari atau agroforestry sederhana. Kopi dijual dalam bentuk biji (beras kopi) kepada pedagang pengumpul di tingkat desa yang tidak lain juga merupakan pemberi pinjaman modal untuk perawatan dan pembelian sarana produksi kebun, serta kebutuhan hidup semasa paceklik. Kontribusi pendapatan dari hasil mengelola kebun di areal Hutan Lindung tersebut tergolong besar. Hasil penelitian Senoaji (2009) di Desa Air Lanang menyebutkan kontribusinya mencapai 52,5 persen dari pendapatan total.
Melihat tingkat kontribusi pendapatan dari menjual kopi, muncul gagasan untuk membangun usaha bubuk kopi kemasan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan anggota Gapoktan. Untuk menguji gagasan tersebut tepat untuk dilakukan atau tidak, tentulah perlu dianalisis dan divalidasi terlebih dahulu. Analisis dan validasi dilakukan secara partisipatif oleh 20 orang perwakilan Gapoktan pada pelatihan pada Selasa-Rabu (25-26 April 2016) di Rejang Lebong yang difasilitasi oleh Direktur Eksekutif Non Timber Forest Products – Exchange Programme Jusupta Tarigan menggunakan model Community Livelihood Assesment and Products Scanning (CLAPS), dan pertemuan 6 orang perwakilan Gapoktan pada Selasa (3 Mei 2016) di Desa Tebat Pulau sebagai tindaklanjut pelatihan.
Diperkirakan hanya 800 hektar areal IUPHKm yang ditanami kebun kopi dan produktif. Sedangkan tingkat panen kopi berkisar 500 – 1.000 Kg per hektar. Sehingga, produksi kopi yang dicapai berkisar 400.000 – 800.000 Kg atau 400 – 800 ton. Namun sebagai perbandingan, Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2015 (BPS, 2016) menyebutkan rata-rata produksi kopi perkebunan rakyat di Rejang Lebong pada 2014 adalah 725,37 kg. Dengan luas total perkebunan kopi rakyat 21.536 hektar, produksi total kopi pada 2014 mencapai 13.402 ton. Bila mengacu pada rata-rata produksi kopi Rejang Lebong, maka produksi kopi di lima areal IUPHKm mencapai 580.240 kg atau 580,2 ton.
Selain panen pada Mei hingga Juli/Agustus, diketahui pula bahwa anggota Gapoktan melakukan panen buah selang. Panen buah selang dilakukan secara periodik dua bulan sekali. Di areal IUPHKm Gapoktan Maju Jaya dan Tumbuh Lestari, panen buah selang dilakukan pada September, November dan Januari. Sedangkan di areal IUPHKm Gapoktan Rukun Makmur, Enggas Lestari dan Tri Setia dilakukan pada Oktober, Desember dan Februari. Sekali panen, buah kopi yang diperoleh berkisar 25-30 kg per hektar. Sehingga, bisa diperkirakan total hasil panen buah selang untuk satu periode untuk lima areal IPUHKm berkisar 20.000 – 24.000 kg atau 20 – 24 ton. (**)