Oleh; Pramasty Ayu Kusdinar*
Jika ditanya seperti apa pangan alami itu? Maka, sebagian besar masyarakat menjawab bahwa pangan alami adalah sumber-sumber pangan non-kimia. Mulai dari proses pembenihan hingga penyajian diatas meja makan, semua komposisi pangan terbebas dari zat kimia. Namun, sebagian lagi menjawab bahwa pangan alami adalah sumber makanan yang kita dapat dari hutan, sungai dan laut yang diproduksi sendiri oleh manusia tanpa bantuan teknologi dan industri.
Atau seperti satu dari tujuh asas La Via Campesina, adalah hak azasi manusia untuk memperoleh akses pangan yang bergizi, aman, berbudaya, bermutu baik untuk kehidupan yang sehat dan bermatabat. Namun apakah makna pangan bagi Ibu Karlena (50 Th)? Seorang ibu rumah tangga yang hidup dalam komunitas masyarakat hokum adat Rejang di desa Embong, Kabupaten Lebong, Bengkulu. Karlena tidak menjelaskan secara lugas makna pangan bagi dia dan keluarga, namun ia meluncurkan sebuah protes tentang pupuk dan emas yang menjadi racun dalam kehidupannya.

***

Berawal dari suatu percakapan di ambang pintu belakang dan dapur milik ibu Karlena (50 Th), catatan revolusi meja makan ini dimulai. Pagi itu, seperti biasa pukul enam pagi Ibu Karlena telah selesai mengepulkan asap dari dapur dan menampung air untuk mandi ke dalam ember-ember kecil milikinya. Asap dari tungku yang keluar ke jendela kecil di dapur –dapur dan tetesan air yang memenuhi bak mandi setiap rumah warga desa ini menjadi pertanda mulainya hari. Tapi, kali ini ada yang berbeda dari rumah Ibu Karlena, saya dibangunkan oleh suara mesin gelundung yang berada di sisi luar antara dapur dan kamar mandi. Mesin gelundung ini adalah alat yang digunakan bapak Sa’ud (52 Th, suami dari ibu Karlena) sebagai penghancur dan penangkap emas dari bahan batuan emas, atau lebih dikenal dengan nama mesin tromol.
Sembari menikmati sarapan di dapur, Ibu Karlena yang duduk di ambang pintu antara ruang dapur dan ruang keluarga mengatakan bahwa belakangan ini anaknya yang sudah berkeluarga dan tinggal di kota, rajin mengirimkan dia cabe merah bulat. Namun setelah menerima beberapa kiriman cabe tersebut, ia akhirnya meminta anaknya untuk berhenti mengirimkan cabe-cabe itu ke desa. Menurutnya, cabe yang dikirim oleh anaknya ke desa adalah penyakit. Tidak ada lagi vitamin yang terkandung didalamnya, karena tanaman cabe tersebut sudah pasti di tanam menggunakan pupuk kimia dan insektisida yang digunakan hanya untuk manambah jumlah berat atau kuantitas saja. Hal tersebut terlihat dari ciri-ciri fisik cabe yang ukurannya jauh lebih besar dari ukuran cabe merah pada umumnya dan hanya memiliki sedikit sekali biji.
Bukan hanya cabe, tapi hal ini juga terjadi pada banyak tanaman pangan lainnya seperti padi, sayur mayor, buah-buahan bahkan hewan ternak yang juga sudah terkontaminasi oleh zat-zat kimia. Karlena dapat merasakan perbedaan tersebut bukan hanya tampak dari fisik, namun rasa hambar yang dihasilkan dari pangan tersebut. Itulah kenapa saat ini di dapur-dapur setiap rumah tangga di kota maupun didesa, pasti akan kita jumpai berbagai macam bahan penyedap rasa instan untuk mereifikasi sumber pangan kita yang menjadi tidak terbatas oleh industri penghasil racun tersebut.
Hal ini tentu tidak lepas dari kelahiran revolusi industri pasca perang dunia II yang menjadi momentum awal dari pengkhianatan dunia pertanian. Lahirnya revolusi industri ini memicu motivasi besar para ilmuan barat khususnya Amerika yang memenangkan perang dunia II tersebut untuk melakukan inovasi di bidang teknologi dan industri.
Di tengah-tengah propaganda industri raksasa ini, persoalan kelaparan, kedaulatan dan ketahanan pangan serta kelangkaan dapat teratasi melalui rekayasa genetika. Bukan hanya itu, bahkan bibit unggul, pupuk organik dan teknik pengendalian hama kita dibuatnya tergantung oleh industri ini. Sehingga ketergantungan ini menciptakan agregasi kebutuhan/permintaan baru dan pasar untuk tetap memiliki relasi produksi yang menguntungkan bagi kelompok kapitalis.
Seperti yang tercatat dalam bukunya Rachel Carson yang berjudul Silent Spring 1962 yang menguraikan tentang penggunaan insektisida DDT. Bahan kimia ini dianggap sebagai mujizat yang mampu membebaskan manusia dari serangan penyakit malaria dan melindungi tanaman dari berbagai macam hama. Sejak saat itu, DDT ini diproduksi dalam jumlah yang besar sehingga tercipta industri farmasi yang memproduksi dan melakukan inovasi terhadap zat kimia tersebut. Namun, karena akumulasi dari DDT ini seperti mata rantai yang panjang, maka ia menjadi racun bagi kehidupan itu sendiri.
Dalam paparan diatas, Karlena melihat bahwa bahan-bahan kimia tersebut pada dasarnya telah menyebar dan bermetamorfosa pada setiap tubuh atau batang yang dihinggapinya. Karena ketika bahan kimia tersebut disemprotkan atau di campurkan pada tanah, maka tanaman yang tumbuh diatasnya menyimpan benih racun. Kemudian tanaman tersebut menjadi pakan ternak, dan ternak tersebut di konsumsi oleh manusia dan manusia terus berreproduksi.

***

Hampir sulit menemukan jalan keluar bagi persoalan ini. Khususnya untuk Karlena dan beberapa orang perempuan lainnya yang berada di desa Embong. Mereka tidak hanya bertahan menyediakan pangan sederhana untuk melawan industri pertanian ini, namun harus sekaligus berhadapan dengan industri ekstraktif yang menggempur dapur mereka.
Pasca ditetapkannya kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat pada tahun 1982 oleh PBB, sejak saat itulah kehidupan masyarakat hokum adat Rejang, khusunya desa Embong ini mengalami keterpurukan. Klaim oleh Negara terhadap kawasan tersebut bukan hanya mempengaruhi kehidupan masyarakat desa Embong, namun juga mengubah tatanan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat setempat. Kawasan taman nasional yang dulunya merupakan wilayah adat anak sukau Suku IX di desa Embong, kini ‘dilindungi’ Negara dari jangkauan manusia untuk menyelamatkan paru-paru dunia, namun dengan cara memutus relasi antara alam dan masyarakat adat Rejang dalam petulai Suku IX yang bersifat transendental dengan wilayah adatnya. Bahkan tindakan-tindakan represif pun kerap dilakukan untuk menetralisir kawasan taman nasional tersebut dari aktifitas manusia.
Akhirnya, dengan terpaksa masyarakat adat Rejang Suku IX di desa Embong mencari ekonomi alternatif untuk menyambung kehidupannya. Keluarga Ibu Karlena misalnya, sang suami yang terkenal di desa sebagai tokoh adat akhirnya terpaksa merelakan diri untuk bekerja menjadi penambang emas tradisional. Menurut Pak Sa’ud, menjadi penambang emas ini bukanlah pilihan, karena ia baru mampu berkompromi dengan dirinya sendiri untuk menambang emas sejak dua tahun lalu. Selain pendapatan yang tidak pasti, resiko menjadi penambang emas tradisional ini sangat besar, dan nyawa adalah taruhannya. Ia mengatakan bahwa hidup sebagai penambang emas tradisional ini seperti menyerahkan nasib diatas meja judi, jika bernasib baik maka keuntungan akan sangat berlimpah. Pun sebaliknya jika bernasib buruk, dan lebih tragis banyak penambang emas tradisional mati tertimbun tanah di dalam goa galian tambang.
Penambang tradisional ini bisaanya hanya bermodal cangkul/pacul untuk menggali tanah menjadi goa yang panjang hingga ± 40 meter (rata-rata maksimal panjang goa yang dibuat oleh penambang tradisional dari desa Embong). Selain itu, para penambang ini juga dibantu oleh sebuah katrol besar yang menghubungkan tali tambang yang diikat pada badan penambang untuk menarik mereka kapan tiba sang penambang mulai kehilangan oksigen di dalam goa. Di lokasi tambang tersebut bisaanya para penambang ini menghabiskan waktu selama 3-4 hari dan kemudian membawa bongkahan batu tersebut ke rumahnya masing-masing.
Sesampainya dirumah, batu bahan emas tersebut dipecahkan menjadi bongkahan yang lebih kecil dan kemudian dikelola menggunakan mesin gelundung untuk menangkap butiran emasnya. Agar emas tersebut dapat memisahkan diri dengan bahan lainnya yang terkandung juga dalam batu, maka masyarakat menggunakan merkuri yang dimasukan dalam gelundung setiap 4 jam sekali sebanyak 300-500 gram. Sedangkan mesin gelundung milik pak Sa’ud berputar dari pagi hingga menjelang malam. Artinya, jika diakumulasikan, maka gelundung milik pak Sa’ud yang berputar selama 10 jam dari jam 7 pagi hingga 5 sore itu telah melepaskan sebanyak 1000 gram merkuri dalam sehari. Limbah merkuri tersebut kemudian dibiarkan mengalir keluar dari gelundung dan diserap oleh air tanah.
Hal ini sama tragisnya dengan fenomena insektisida yang mencemari tanaman pangan dengan pupuk dan racun pengusir hama. Ketika merkuri tersebut dilepaskan dilingkungan, dan meresap ke dalam air tanah yang menghidupkan tanaman. Kemudian tanaman tersebut di konsumsi oleh kambing dan kambing di konsumsi oleh manusia, kambing dan manusia terus bereproduksi.
Pada dasarnya, Ibu Karlena menentang keinginan Pak Sa’ud untuk menambang. Selain khawatir pada resiko keselamatan nyawa Pak Saud, Ia juga kehilangan lahan untuk bertanam di rumahnya. Padahal, sejak kecil ia sudah dibiasakan untuk memelihara dan mengenal tanaman sesuai dengan fungsi dari tanaman tersebut bagi tubuhnya sendiri.
Sejak Pak Sa’ud menambang dan membawa hasil tambangnya kerumah, tanah di halaman belakang rumahnya yang dulu menjadi ladang subur miliki Ibu Karlena yang ia gunakan untuk menanam rempah dan obat-obatan kini berubah menjadi tanah berpasir yang bercampur dengan bongkahan batuan kecil hasil pecahan bahan emas. Dan kondisi tanah tersebut selalu basah karena posisi mesin gelundung yang berada disisi luar antara dapur, kamar mandi dan halaman belakang, tempat dimana limbah proses penggelundungan dilepaskan dan  dimana sumber produksi air dirumah berada.
Jadi, jika kembali ke pertanyaan awal terkait seperti apa pangan alami tersebut, maka menurut Ibu Karlena idealnya pangan alami ini dilakukan dengan cara-cara yang sangat sederhana tanpa merusak atau mengubah kondisi asli dari sumber pangan tersebut, baik itu tanah dengan tanaman yang hidup disekitarnya maupun bibit dan proses penyemaiannya. Namun hal ini hanya menjadi mimpi yang utopis bagi perempuan seperti Ibu Karlena. Karena bisa kita bayangkan bahwa semua jenis makhluk hidup di dunia saat ini memiliki deposit racun dalam tubuhnya. Jadi tidak ada lagi yang alami bahkan alam itu sendiri, dan alam membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menguraikan dan memulihkan kondisinya dari pencemaran zat beracun tersebut.
 
Akibat serangan dari dua industri raksasa ini; yakni pertanian dan ekstraktif, beberapa ibu rumah tangga biasanya menggunakan bumbu penyedap rasa untuk menu makannya. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk memperkuat rasa asli dari bahan-bahan pangan tersebut. Dan Ibu Karlena akhirnya hanya mampu bertahan mengelola pangan sederhana dengan tetap menanam rempah dan obat-obatnya yang direpotting kedalam pot dan polibek.
Jika dilihat dari kondisi keseluruhan ini, maka wajah kelaparan yang sesungguhnya tampak bukan dari kekurangan materil atau ketidakmampuan perempuan untuk mendapatkan atau menciptakan bahan dan sumber pangan alami tersebut. Namun wajah kelaparan tersebut tampak dari perubahan komposisi menu makanan di atas meja makan yang mereka hidangkan di dapur.
*Penulis adalah Koordinator Program di Akar Foundation