Ketimpangan dari penguasaaan tanah akan berkontribusi langsung kepada munculnya konfik-konfik agraria atau perebutan akses terhadap tanah, khususnya antara petani kecil dan petani tak bertanah (landless peasants) melawan investor yang ingin menguasai tanah dalam skala luas. Kasus di Bengkulu sebagaimana di catat dalam Buletin ini adalah gambaran nyata konflik perebutan lahan. Konflik, sengketa dan perkara seperti ini telah dan terus akan terjadi dalam kurun waktu yang panjang karena berakar pada kemiskinan masyarakat di pedesaan maupun di wilayah perkotaan, dan akan terus menyebar serta mengendap lebih dalam di dasar-dasar kehidupan masyarakat. Ketimpangan penguasaan tanah dapat terlihat secara benderang dan nyata, seharusnya kondisi tersebut menjadi peringatan untuk segera dijalankannya program reforma agraria (agrarian reform) komprehensif melalui pendekatan analisis anatomi konflik yang terjadi.
Problema agrarian reform dan kebijakan alokasi sumber daya agraria ini biasanya kompleks, karena menyangkut kepentingan fisik dan biologis yang rumit serta harus dipecahkan di dalam lingkungan sosial yang rumit. Ketimpangan hukum adalah factor utama yang menimbulkan berdampak merusak pada masyarakat, dimana sumber daya tersebut merupakan sumber utama dan penting bagi penghidupan mereka tetapi pada dasarnya terbatas. Tekanan populasi serta keterbatasan akses produksi oleh masyarakat terhadap sumber daya agraria berdampak pula pada penurunan standar hidup.
Kondisi inilah membuat masyarakat Bengkulu berada dalam ruang dan kondisi didominasi oleh kekuatan onderneming didukung oleh sistem politik kolonialisasi berkelindan dengan kapitalisme, prinsif dasarnya melakukan penakluklan dan perampasan dan menuntut pelipatgandaan modal secara terus menerus serta mengutamakan bagaimana bekerjanya modal sebagaimana pada konsep primitive accumulation. Ini merupakan awal dari tumbuh kembangnya konflik, sengketa dan perkara terkait dengan tanah di Bengkulu.
Dan tidak bisa dikesampingkan oleh gerakan yang mengusung tema “Reforma Agraria” meyakini bahwa perubahan struktur agraria tersebut tergantung dari kuasa yang ada pada sisi non ekonomi, walaupun dalam prakteknya lebih mengarah pada faktor ekonomi, sebagain harus diakui gerakan ini menjadi pendukung utama untuk mendapat tempat kembali dalam ruang-ruang kebijakan dan akademis seiring dengan kepedulian yang menguat atas kemiskinan dan ketidakadilan agraria yang kronis, plus kerusakan lingkungan yang parah di pedesaan. Penyelesaian permasalahan (Konflik, Sengketa dan Perkara) yang berhubungan dengan tanah/agraria melalui Land reform tidak hanya memberi kesempatan pada rakyat yang benar-benar tergantung hidupnya pada pertanian untuk meningkatkan taraf hidupnya. Tetapi juga memberi alas yang kuat dan stabil pada pembangunan ekonomi, politik, sosial dan praktek-praktek kebudayaan. Semoga konten Buletin ini bisa menjadi referensi pembaca untuk menciptakan keseimbangan struktur kekuasaan, yang pada akhirnya menjadi dasar bagi terciptanya institusi-institusi sosial-politik yang partisipatif untuk memperkuat demokrasi, terwujudnya kepastian hukum dan keadilan agraria yang mensejahterakan.
Silakan di Download Buletin Lengkapnya di: Anotasi di Penghujung Tutur-Melacak Penyelesaian Konflik Agraria di Bengkulu