“Saya membutuhkan cukup satu orang aktivis untuk melanjutkan kerja-kerja rakyat ini. Semakin lama, generasi kita semakin terkikis oleh moleknya kemegaahan zaman. Seperti yang dikatakan sosok Man Of Future yang kita namai; kita kehilangan 1 generasi yang harusnya menjembatani mimpi-mimpi para pendahulu kita. Generasi yang sekarang seperti pasir, yang hampir tidak bisa difilter lagi; antara tubuh-jiwa dan tubuh-android.”
“Caranya adalah kita masuk ke kampus-kampus, mencari bibit aktivis berhaluan kiri, kita kumpulkan, diskusi dan ciptakan propaganda. Disanalah akan muncul bibit tersebut.”
“jika cara tersebut tidak berhasil?”
“Maka kita ciptakan ! Kita mulai dari menanam benih, merawat, dan melihat ia berkembang, menikati proses belajarnya sendiri. Orang-orang yang dipilih harus difilter dengan ketat dan disiplin. Agar ia tidak menjadi sampah masyarakat, menjadi penyakit ditubuh-tubuh kaum proletar.”
Akhirnya kami kembali lagi membangun budaya literasi ini di Akar. Membangun fondasi yang paling utama dari gerakan; yakni membaca, menulis, mendengarkan dan bertindak serta bertanggungjawab diatasnya.

Warman Kudus. Presentasinya tentang Demokrasi Desa, adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif yang berjalan di dua aras, pertama aras struktur dan kedua aras kultur atau budaya.

Kami memulai dengan memaksa beberapa orang dirumah ini untuk memilih dan membaca buku apapun yang mereka suka selama 3 hari. Kemudian, mereka-mereka yang diminta untuk membaca, mengekstrasi hasil bacaan tersebut kedalam sebuah tulisan. Setelahnya, kami meminta mereka untuk mempresentasikan tulisannya dihadapan kawanan lainnya.
Ridwan Efendi, berbagi tentang pengalaman jelajah lapang dalam implementasi kerja-kerja advokasi Akar Foundation. Pengalaman, Katanya. Selalu menunjukkan bahwa hidup dengan usaha adalah mata yang ditutup untuk memilih buah-buahan dalam keranjang.

Aktifitas ini kami namai dengan pedagogy of laizess faire. Pedagogy of laizess faire yang kami rumuskan adalah sebuah metode belajar dan mengajar yang membebaskan pelaku yang terdidik tersebut menemukan metode belajar dan membacanya sendiri, tidak tergantung pada intruksi dan instrumen apapun. Mereka memiliki hak untuk memilih bacaannya sendiri, membaca dengan caranya sendiri dan menganalisis hasil bacaan dengan perspektif dan pengalamannya yang kompreshensif seorang sendiri. Metode ini tentu kami ciptakan untuk memecah kebuntuan berpikir dan keterbatasan daya imajinatif mereka dalam menghadapi persoalan diakar rumput.
Heru, Dalam Presentasinya membedah Buku Sejarah Bengkulu pada Pemberontakan Jepang. Diskusi menariknya adalah kepada Tahun 1942 tidak ada perlawanan dari Rakyat ketika Jepang menancapkan kekuasaannya di Indonesia.? dan dampak serta manfaat yang ditingkalkannya pasca Menyerahnya Jepang pada Sekutu.

Aktifitas kami yang pertama ini tentu tidak berjalan se-ideal yang kami harapkan. Beberapa kawan yang telah mempresentasikan bahan bacaannya masih terjebak dalam teks dan metode menghafal. Sehingga apa yang dipresentasikan adalah sebagaimana teks yang tertuang didalam buku. Selain itu, kawanan lain bahkan tidak sama sekali angkat bicara tentang apa yang sudah ia baca; ketakutan mengontrol kehidupan.
Reynaldy Ananda Qibal Azhora. Bicara soal Photo Jurnalistik, menurutnya “foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkap sebuah cerita”

Namun, kami belajar banyak dari proses yang sama-sama kami mulai. Pertama untuk memperkuat hasil bacaan tersebut, tulisan yang diciptakan harus ditambah dengan perspektif si penulis. Sumbernya bisa dari buku bacaan lainnya, wawancara orang-orang terdekat atau pengalaman pribadi si penulis. Kedua, tertib menuliskan hasil bacaannya dengan bentuk tulisan apapun. Ketiga, konsisten melaksanakan aktifitas berkecambah ini.
Pablo ‘Andom’ Matao. Membacalah seperti mengobrol dengan pengarang buku, Katanya. Dan, sarannya Manusia hanya mempunyai dua cara untuk belajar, satu dengan membaca dan satunya lagi berkumpul dengan orang-orang yang lebih pintar.

Seperti kata Pram “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”