Oleh Pramasty AyukusDinar

Otonomi atau kedaulatan? Mana yang lebih dulu kita (perempuan) perjuangkan? seorang dosen perempuan dalam sebuah kegiatan melontarkan pertanyaan. Selintas, pertanyaan tersebut membuat peserta dalam kegiatan tersebut terdiam.  Alasannya, bisa saja peserta tidak memahami konten pertanyaan tersebut atau peserta terjebak dalam kesadaran naif-nya untuk memberikan respon terhadap pertanyaan yang menggugat jawaban pada diri sendiri itu atau untuk menghindari perdebatan.

 
Pada akhir tahun lalu, tepatnya tanggal 11 Desember 2019 kami; Akar Foundation menyelenggarakan Diseminasi dan Workshop yang bertajuk mendedah Foodways Sistem Keluarga Petani Hutan Kemasyarakatan di desa Air Lanang. Kegiatan ini merupakan penyebaran pengetahuan hasil riset yang kami kerjakan selama tiga bulan. Workshop dan diseminasi tersebut dihadiri oleh perempuan komunitas dari berbagai daerah, akademisi serta praktisi dan teman-teman NGO yang ada di kota Bengkulu.
Pertanyaan tentang otonomi atau kedaulatan yang dilontarkan dalam kegiatan diseminasi dan workshop tersebut membawa saya pada sebuah rintisan ketika saya melakukan observasi di desa Air Lanang, Kabupaten Rejang Lebong beberapa bulan sebelum acara ini dilaksanakan. Pertanyaan tersebut interkoneksi dengan pertanyaan fundamental kami kepada perempuan di pedesaan tentang ‘apa makna makan bagi perempuan ?’ atau ‘apa itu makan?’.
Nurjana (45th) istri kepala desa Air Lanang menjawabnya dengan sederhana; “makan adalah nasi”. Ia menjelaskan bahwa bagi perempuan desa Air Lanang, tanda bahwa seseorang itu makan adalah nasi. Nasi yang dikonsumsi oleh masyarakat desa Air Lanang saat ini bersumber dari pasar atau pekan yang ada di desa. Nasi yang dijual di pekan tersebut ternyata berasal dari Pulau Jawa, dan sebagian kecil berasal dari Kabupaten Lebong. Dan ketergantungan masyarakat terhadap nasi tidak pernah berkurang atau terpengaruh oleh musim paceklik di desa. “Meskipun musim paceklik tiba, namun konsumsi rumah tangga terhadap nasi tidak berkurang”, ujar Nurjana ketika diwawancara.
Ketika kami melusuri desa dengan metode transek, ternyata desa air lanang ini memang memiliki beberapa hektar lahan sawah. Dan ketika kami konfirmasi kepada kepala desa ternyata benar, bahwa saat ini desa Air Lanang memiliki luas lahan sawah sekitar 73 Ha dari yang sebelumnya berjumlah 350an hektar. Menurut Nurjana berkurangnya lahan sawah tersebut diakibatkan oleh peralihan mata pencaharian atau yang kami sebut dengan perubahan corak produksi dari petani sawah menjadi pekebun. “Alasan masyarakat desa menjual atau tidak lagi ingin bersawah karena bersawah itu melelahkan dan perawatannya harus dilakukan secara intensif”, lanjut Nurjana.

Sedangkan komoditi yang saat ini diminta oleh pasar atau yang ditanam oleh kebanyakan masyarakat jauh lebih efektif dari timbangan tenaga, waktu dan modal serta menguntungkan secara ekonomi untuk masyarakat. Misalnya tanaman kopi, pinang dan jengkol. Ketiga jenis tanaman ini merupakan tanaman harapan bagi masyarakat. Semua kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier bergantung pada ketiga tanaman tersebut. Dan hasil panen dari tanaman tersebut diperioritaskan untuk membeli pasokan beras selama satu tahun yang kemudian disimpan oleh ibu-ibu di warung. [1]
Dan Satra (34th) seorang ibu rumah tangga yang terbilang masih cukup muda mengajukan protesnya. Ia mengatakatan bahwa “kebun-kebun yang sekarang banyak dikelola oleh masyarakat sama sekali tidak menguntungkan bagi perempuan sebagai perempuan dan ibu rumah tangga dan sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap penyedian makanan untuk keluarga. Yang ditanaman hanya tanaman bapak-bapak, sedangkan yang dibutuhkan perempuan adalah tanaman yang dapat memenuhi gizi keluarga dan obat-obatan.
Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, para perempuan dan ibu-ibu hanya bergantung pada pekan yang seminggu sekali dijajalkan dilapangan desa, juga beberapa ojek sayur yang kadang-kadang hadir ditengah kerumunan ibu-ibu pada hari-hari terntentu. Mereka tidak lagi bisa memproduksi beras sendiri dan menyimpannya. Tidak lagi bisa mendapatkan sumber-sumber pangan disekitar kawasan hutannya. Atau untuk mengelabui cita rasa otentiknya, perempuan akhirnya juga dipaksa untuk bergatung pada bumbu penyedap rasa.
Jadi, jika pertanyaan tersebut menyasar kepada komunitas perempuan dipedesaan, maka  jawabannya adalah otonomi hak-hak perempuan terlebih dahulu yang harus diperjuangkan. Bentuknya pengakuan secara hukum dan fasilitasi kepentingan perempuan melalui kebijakan. Setelah pengakuan, maka kedaulatan adalah keniscayaan bagi perempuan.
 
[1] Metode konversi beras menjadi uang. Pada dasarnya metode konversi ini baru dilakukan sekitar kurang lebih dua decade oleh perempuan pedesaan. Ketika lahan sawah masih luas dan masyarakat masih memiliki lumbung tempat menyimpan padi atau dalam bahasa Rejang disebut dengan Tuwai, maka pasokan beras selalu tersedia dan beras tersebut tidak dijual ke pasar. Artinya beras untuk kebutuhan subsistensi rumah tangga petani. Namun sejak berubahnya landscape atau ruang hidup dan corak produksi masyarakat, pola penyimpanan beras ini tetap dilakukan namun dengan cara yang berbeda, yakni menyimpan diwarung-warung besar di desa. Misalnya, Ibu Nurjana membeli 40 kaleng (640Kg) beras untuk 1 tahun. Beras 40 kaleng tersebut bukan berbentuk beras, tapi uang yang kemudian dititipkan oleh warung. Jika ibu nurjana membutuhkan beras 10 Kg untuk satu minggu, maka ia secara langsung bisa mengambil tabungan berasnya kepada pemiliki warung tanpa harus mengluarkan uang lagi. Atau jika ia membuthkan uang untuk keperluan lain, maka ia bisa mengambil tabungan beras tersebut dalam bentuk uang.