Oleh Meike Inda Erlina
Pengorganisir Pemula – Melalui Waktu Pendekatan Yang Mendebarkan
“Mengorganisir” sebuah kata kerja yang memiliki makna begitu mendalam terutama secara moral. Mengorganisir merupakan aktivitas yang tidak bisa sembarangan dikerjakan karena terdapat tanggung jawab besar di dalamnya, sebab yang kita organisir adalah manusia dengan segala keberagamannya. Keberagaman yang dimiliki masing–masing orang dalam komunitas ini lah yang harus sebisa mungkin dipadu padankan agar dapat mencapai tujuan yang secara bersama telah dirumuskan dan disepakati pada awal proses pengorganisiran. Seseorang yang mengorganisir atau dikenal dengan sebutan “Pengorganisir” haruslah orang yang handal baik secara pengetahuan maupun praksis, agar dengan modal tersebut ia dapat mendorong terbentuknya komunitas yang berdaya sehingga mampu menjalankan keberfungsian sosialnya sendiri dan dapat mencapai tujuan bersama tersebut, mengutip jargon yang sering diucapkan teman – teman pekerja sosial yaitu “To help people to help themselves.”
Begitulah idealnya seorang pengorganisir bekerja. Setidaknya bagi saya menjadi pengorganisir itu adalah sebuah proses learning by doing dan ia lahir dari proses panjang. Sehingga melalui Esai panjang ini, saya akan membagikan cerita sekaligus mengkritisi pola-pola pengoraganisiran rakyat dan pelaku pengorganisir termasuk diri sendiri sebagai seseorang yang pernah menjadi Community Organizing (CO . Pengalaman saya dalam mengorganisir rakyat mungkin belum terlalu subtil untuk dibagikan, apalagi untuk dipelajari, sebab tulisan ini hanya berdasarkan pengalaman saya selama menjadi CO dilembaga yang dulu menjadi titik awal saya melakukan proses pengorganisiran tersebut.
Tahun pertama…
Sedikit pengalaman semasa kuliah menjadi modal bagi saya pada tahun 2017 memulai untuk bekerja secara intens bersama kelompok petani di kampung–kampung yang dihadapkan dengan setumpuk persoalan “land grabbing” baik yang dimotori oleh perusahaan industri ekstraktif maupun oleh pemerintah. Saat itu, tugas pertama saya sebagai pengorganisir adalah menemani kelompok petani di kecamatan A yang ada di kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu untuk menagih penjelasan terkait pungutan liar yang dilakukan oleh petugas perusahaan perkebunan sawit A di kampung mereka.
Sebagai informasi, konflik terbuka antara kelompok petani A dengan perusahaan perkebunan sawit A bermula pada tahun 2011. Saat itu beberapa orang yang diketahui adalah staf perusahaan A melakukan pengrusakan tanaman di kebun beberapa orang petani dengan menggunakan buldozzer tanpa sepengetahuan para pemilik. Saksi yang melihat kejadian tersebut segera memberitahukan beberapa petani pemilik kebun. Bapak A, salah satu pemilik kebun yang dirangsek tersebut naik pitam dan menemui staf perusahaan A tersebut. Namun pihak perusahaan bersikeras bahwa kebun beberapa petani yang sudah dibabat habis tersebut telah menjadi milik perusahaan A berdasarkan keputusan lelang yang mereka menangkan di pengadilan. Tak terima dengan hal tersebut, para petani ini melaporkan kepada polisi bahkan diberitakan di media massa lokal.
Bupati pun turut berstatement bahwa pengrusakan kebun dan kegiatan perusahaan A adalah ilegal karena belum ada proses administrasi yang legal. Surat menang lelang pun tidak cukup untuk membenarkan kegiatan perusahaan A tersebut. Akan tetapi di tahun yang sama, hanya berjarak beberapa bulan setelah pengrusakan kebun tersebut, perusahaan perkebunan A telah beroperasi. Bupati setempat yang awalnya mengatakan kegiatan perusahaan perkebunan A illegal memfasilitasi perizinan. Pun kepala desa di kecamatan A berpihak kepada perusahaan perkebunan A tersebut.
Penolakan pun semakin masif dilakukan oleh petani yang kebunnya satu persatu dicaplok perusahaan perkebunan A. Selama 2 tahun berjalan, tahun 2014 para petani dikejutkan dengan keluarnya HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan perkebunan A. Ini semakin memperkuat alasan perusahaan tersebut untuk merampas kebun para petani. Kemarahan para petani ini membludak, mereka terus mendatangi kantor perusahaan perkebunan A menuntut penjelasan dan pertanggung jawaban mereka. Bukannya itikad baik dari perusahaan yang didapatkan oleh para petani tersebut, mereka justru dikriminalisasi dengan berbagai cara oleh pihak pengelola perusahaan A untuk merampas lahan perkebunan petani termasuk menciptakan gesekan – gesekan yang membuat petani menyerahkan secara suka rela lahan mereka. Singkatnya, konflik ini terjadi karena tumpang tindih status kepemilikan lahan. Di atas lahan yang sama, yang telah dikelola oleh para petani sejak masa pra kemerdekaan, pemerintah justru memberikan karpet merah perampasan kebun oleh perusahaan perkebunan A melalui Hak Guna Usaha.
Beralih dari runutan sejarah konflik tersebut, saya akan menceritakan apa yang saya alami saat memulai tahun pertama aktivitas pengorganisasian. “Pertemuan ini pertama kali bagi saya. Saya langsung diceburkan seorang diri dalam barisan petani dengan raut wajah sinis nan penuh amarah sedang memblokade sepanjang jalan menuju kebun petani dan perusahaan perkebunan A yang lahannya tumpang tindih tersebut,” gerutu saya dalam hati. Mereka tampak terorganisir dengan baik.
Para perempuan bertugas memasak di dapur umum dekat pintu masuk jalan menuju perusahaan. Mereka menyediakan logistik seperti makanan dan air minum untuk peserta aksi agar tetap bertahan pada posisinya. Para laki – laki membagi peran, sebagian besar menjadi peserta aksi untuk mempertahankan barisan mereka agar tak satu pun baik kendaraan maupun pekerja milik perusahaan yang bisa keluar masuk. Meski kedua satpam perusahaan sempat menemui para kordinator petani di lokasi aksi, mereka tetap tidak gusar. Bahkan kelompok petani menantang manajer perusahaan untuk menemui mereka menjelaskan perihal pungutan liar terhadap kendaraan yang mengangkut hasil panen para petani. Karena tak kunjung ada kepastian, beberapa orang seperti kordinator kelompok dan supir truk pengangkut panen petani yang berperan sebagai pelapor pergi ke kantor polisi melaporkan pungutan liar tersebut.
Melihat itu semua mendadak rasa percaya diri, keberanian, dan semangat yang telah saya siapkan jauh–jauh hari runtuh seketika. Padahal aksi–aksi seperti ini sangat familiar bagi saya karena semasa mahasiswa saya rajin terlibat aksi demonstrasi, ya minimal 3 kali dalam 1 tahun. Namun kali ini sungguh berbeda. Membuat saya bersepakat dengan ungkapan berulang teman–teman saya di Universitas “Apa yang kamu pelajari dalam kelas di Universitas tidaklah sama seperti kenyataan di luar sana.” Akhirnya selama aksi berlangsung, saya hanya menjadi pengamat dan sesekali “Terlihat sibuk” padahal hanya berkeliling menguping percakapan di antara sesama petani.
Huh, andai salah satu tokoh petani dan saya tidak mengenalkan diri kepada mereka, mungkin saya akan dituding sebagai penyusup. Syukurlah pikiran itu terbantahkan. Saya diramahi, diajak berbicara, dan dikenalkan secara berantai dari mulut ke mulut. Meski masih canggung tapi lama kelamaan saya akrab dengan mereka terutama para perempuannya. Apalagi setelah saya mulai menjalankan tugas inti saya yakni memfasilitasi agenda penguatan kapasitas para perempuan dalam kelompok petani tersebut.
Saya dikhususkan di lembaga kami untuk menemani para perempuan di kelompok petani. Sekitar 1 bulan setelah aksi pemblokade-an jalan perusahaan perkebunan A yang dilakukan oleh kelompok petani A tersebut, saya dan para anggota perempuannya bersepakat untuk mengadakan pertemuan. Di rumah bapak A, salah satu koordinator kelompok, kami berbincang–bincang. Di sini kami membahas situasi yang dialami kelompok petani sebelum dan selama konflik berlangsung. Dampak yang terasa dan muncul di permukaan yakni hubungan sesama anggota masyarakat di Kecamatan A dan pendapatan kelompok petani. Ini menjadi dasar bagi kami untuk menyusun agenda bersama perempuan kelompok petani A dalam beberapa bulan kemudian.
Pelatihan kepemimpinan perempuan dan ekonomi keluarga menjadi agenda pertama yang kami jalankan. Lembaga kami bekerja sama dengan salah satu lembaga di Jakarta memfasilitasi pelatihan ini. Para perempuan kelompok petani A sangat bergembira mengikuti proses belajar bersama ini. Di pelatihan ini mereka berbagi pengalaman sehari–hari sebagai seorang petani, ibu, dan isteri. Lalu mengungkapkan definisi sejahtera sesuai pendapat masing–masing. Sejahtera bagi mereka adalah ketika dapat berkebun dengan aman dan nyaman tanpa gangguan dari pihak manapun dan tanah tersebut tetap bisa dikelola serta diwariskan hingga generasi berikutnya, maka negara harus menjamin hal tersebut. Selain itu, sejahtera bagi para perempuan ini ketika dapat melihat anak–anak mereka bersekolah tinggi dan menjadi anak yang berguna bagi keluarga dan bangsa ini. Saya terharu, sejahtera bagi mereka sungguh sesederhana itu tapi dipersulit oleh pemerintah yang tidak berpihak pada mereka.
Kemudian mereka diajak menghitung bersama pendapatan dan pengeluaran sehari–hari, sebelum adanya konflik hingga konflik berlangsung. Ini untuk melihat adakah perubahan signifikan dan kemampuan ekonomi keluarga mereka. Mereka juga diajak mempraktikkan bagaimana caranya menyampaikan pendapat di muka umum, memimpin rapat, dan berorasi. Meski malu–malu dan sempat berulang ketika simulasi, mereka tetap semangat belajar. Suasana pelatihan juga diramaikan dengan anak–anak mereka, sebab para perempuan ini sembari mengasuh anak tetap mengikuti seluruh rangkaian pelatihan.
Pada bulan berikutnya agenda yang kami jalankan adalah membuat pupuk organik dan pakan ternak. Keinginan menutrisi tanah yang kurang produktif karena terus menerus diberi berbagai bahan kimia serta tingginya biaya perawatan ternak menjadi motivasi diadakan pelatihan ini. Lembaga kami bekerja sama dengan Dosen di Universitas A, Kota Bengkulu memfasilitasi keinginan belajar para petani ini. Para petani ini bergotong royong mengumpulkan bahan–bahan pembuatan pupuk organik dan menyiapkan peralatan pembuatan pakan ternak.
Pelatihan terakhir yakni merancang usaha alternatif untuk menambah pendapatan. Masih bekerja sama dengan Dosen di Universitas A, Kota Bengkulu, para perempuan tani diajak membuat makanan dan minuman berbahan dasar jahe, membuat demplot sayur dan membuat kolam ikan kelompok. Pemilihan jenis usaha ini sesuai kesepakatan anggota kelompok tani di pertemuan awal. Tidak tanggung–tanggung, dari pelatihan–pelatihan ini munculah inisiatif untuk membuat unit usaha, mereka menamainya UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Perempuan Kelompok Tani A, Kecamatan A, Kabupaten Seluma. Beberapa hari setelah pelatihan, mereka menyusun struktur kelompok, menyepakati aturan berkelompok, serta berbagi peran.
Buah dari pelatihan–pelatihan tersebut, beberapa perempuan berani bersuara, menyampaikan keluh kesahnya dan keinginannya dengan gagah berani yang terbukti saat kami melakukan jajak pendapat dengan para pihak yang terlibat dan memiliki wewenang untuk menyelesaikan konflik antara kelompok petani dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, dimulai dari audiensi bersama pemerintah kabupaten, provinsi hingga menggalang dukungan dari pemerintah pusat. Unit usaha mereka juga berjalan dengan intens. Mereka bahkan mendapatkan dukungan dari beberapa Dosen dari Universitas A, beberapa petugas Dinas Kesehatan serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Seluma berupa alat produksi, pelatihan peningkatan kualitas produk hingga memfasilitasi proses pengurusan izin produk industri rumah tangga. Sampai disini dulu ya pengalaman pengorganisiran di Kecamatan A.
Tahun kedua….
Tahun pertama masa penjajakan dengan aktivitas pengorganisiran saya lalui dengan baik.  Memasuki tahun kedua saya menjalankan tugas sebagai pengorganisir amatiran, saya diberikan 2 paket hadiah tahun baru yakni mengorganisir perempuan petani di sebuah kampung yang terletak di Kecamatan B, Kabupaten Seluma dan perempuan petani di sebuah kampung yang terletak di Kecamatan X,  Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.
Berbeda dengan situasi di Kecamatan A saat pertama kali saya belajar mengorganisir, di Kecamatan B saya datang dalam situasi yang santai, seolah sedang liburan ke wilayah pedesaan. Tidak ada aksi–aksi massa. Namun saya menemukan hal menarik yakni medan yang saya tempuh ke Kecamatan B ini landscapenya curam, di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan yang kami lalui adalah perbukitan. Mengharuskan saya dibonceng oleh pengendara handal–anak kampung situ misalnya.
Selama satu minggu penuh saya memulai pendekatan dengan para perempuan petani di kampung ini. Saya ditemani dengan salah satu pengorganisir di lembaga kami yang lebih dulu mengorganisir perempuan petani di kampung ini di hari pertama saya. Kami pergi ke rumah pejabat kampung setempat untuk memperkenalkan diri saya sekaligus menyampaikan tujuan kedatangan kami. Di hari berikutnya saya diajak menghadiri pernikahan warga setempat. Pada malam hari sebelum pesta pernikahan, seluruh warga kampung mengadakan pesta kecil–kecilan. Pada hari pelaksanaan pesta pernikahan disajikan tari adat Suku Serawai, Tabuhan Rebana, dan persembahan Rejung saat prosesi arak pengantin ke panggung berlangsung.
Hari–hari berikutnya saya sudah dengan percaya dirinya memulai pendekatan dengan perempuan petani yang lain tanpa ditemani staf lembaga kami. Saya ikuti kegiatan mereka mulai dari pagi hingga ke pagi hari lagi. Saya turut ke pekan (pasar mingguan), ke sawah dan kebun. Kebetulan saat saya datang kemari sedang musim panen padi dan kopi. Saya pergi ke sawah melihat mereka bergotong royong memanen padi di sawah milik petani B. Ada yang menampih padi, ada yang menggilingnya ke mesin, ada yang memasukkan hasilnya ke karung. Selain melihat panen, saya juga ikut mencari “begheku” (bahasa suku di Kecamatan B yang bermakna keong sawah) dan juga tebu telur yang akan dimasak untuk lauk makan.
Di kebun, saya belajar memetik biji kopi sambil mendengarkan cerita–cerita mereka. Tanpa malu–malu mereka berbagi tentang persoalan dapur bahkan kisah cinta masa muda. Saya turut senyum tipis–tipis. Di sela–sela obrolan itu salah seorang dari mereka menunjukkan ke saya lokasi pertambangan yang berada di antara hutan lindung dan daerah perkampungan mereka.
Dari cerita–cerita itu, saya mencoba memeriksa kembali ingatan dari catatan dan bahan bacaan tentang kampung ini. Kampung di Kecamatan B ini telah ada sejak pra kemerdekaan Repulik Indonesia. Sudah diakui keberadaannya oleh Negara, sudah terbentuk wilayah administrasinya. Namun tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga setempat, kampung ini dimasukkan dalam wilayah HPT (Hutan Produksi Terbatas) dan ditunjuk sebagai kawasan lindung pada tahun 1980-an. Tidak hanya sampai disitu, di tahun 1990-an, kampung ini beserta 9 kampung lainnya dimasukkan ke dalam Izin Usaha Pertambangan Batubara.
Warga sama sekali tidak mengetahui ini sampai muncul kejadian sekira 2007 atau 2008-an. Mereka didatangi oleh pihak pemerintahan kabupaten menyampaikan maksud untuk membeli lahan–lahan kebun di sekitaran wilayah Karst untuk memuluskan rencana pembangunan penambangan batu kapur, bagian dari usulan proyek strategis nasional kala itu. Telah terjadi transaksi ganti rugi lahan terhadap sebagian warga. Syukurnya, proyek ini terhenti karena Bupati Seluma tertangkap dan dipenjarakan karena sebuah kasus.
Belajar dari kejadian itu, sebagian warga yang kritis mulai menelusuri tentang peraturan–peraturan pemerintah dan juga situasi di kampung. Mereka pun tahu status kampung dan adanya ancaman operasi pertambangan lainnya. Sekira tahun 2011 atau 2012-an terjadi proses politik di kampung. Pejabat pemerintah kampung setempat yang baru terpilih mulai menjalankan tugasnya. Keberpihakan para pejabat kampung ini sangat jelas kepada warga dan lingkungan. Untuk mempelajari lebih lanjut, mereka datang ke lembaga kami. Dari sana ketahuan bahwa kampung halaman mereka seluruhnya tumpang tindih dengan konsesi izin pertambangan batu bara dan pertambangan emas.
Situasi di Kecamatan B sejujurnya sangat rumit. Di satu sisi kampung mereka dimasukkan sebagai kawasan hutan Negara, di sisi lain dimasukkan juga dalam konsesi pertambangan, belum lagi pernah terjadi transaksi pengganti rugian lahan untuk penambangan batu kapur. Memang konfliknya belum muncul di permukaan seperti yang dialami kelompok petani di Kecamatan A. Tapi tidak menutup kemungkinan sewaktu–waktu potensi konflik disini akan muncul di permukaan. Kekhawatiran pejabat pemerintah ini disambut pula dengan lembaga kami yang akhirnya memutuskan untuk menemani mereka mulai memetakan wilayah kampung, lahan produktif milik warga, wilayah jelajah Harimau Sumatera, serta wilayah essensial lainnya. Kecamatan B ini adalah zona penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, yang merupakan rangkaian Pegunungan Bukit Barisan di Sumatera.
Sesuai tugas masing–masing di lembaga, saya fokus pada pendampingan terhadap kelompok perempuan petani yang peduli dengan lingkungan. Kelompok ini baru terbentuk awal tahun 2018. Beberapa agenda sudah dilakukan bersama kelompok ini oleh staf lembaga kami. Saya memfollow up kerja–kerja yang sudah dilakukan. Hasilnya, kami menyusun beberapa agenda tindak lanjut selama 6 bulan ke depan.
Agenda pertama kami yakni mempelajari teknik pengelolaan kopi pasca panen. Mulai dari teknik penjemuran hingga penyajian kopi dalam bentuk Green Bean. Bulan berikutnya kami mengadakan pertemuan kembali. Kali ini kami mempelajari hak dan kewajiban sebagai warga negara serta peraturan–peraturan mengenai kehutanan dan pertambangan. Sesungguhnya saya merasa berat hati melihat mereka harus belajar dengan materi–materi berat tersebut apalagi fasilitator menggunakan bahasa–bahasa yang awam sulit mengerti. Saya menyiasatinya dengan bahasa sederhana ketika menyampaikan kesimpulan di akhir kelas belajar kami.
Di bulan yang sama, kami bertemu lagi untuk menonton bersama. Saya memutarkan film dokumenter berdurasi pendek di balai desa yakni Samin Vs Semen. Mereka tak hentinya bergumam dan mengomel ketika melihat para perempuan Kendeng dalam film tersebut dihadang serta digendongi oleh petugas kepolisian saat sedang melakukan aksi demonstrasi menolak pabrik semen. Di sela–sela itu mereka juga sangat fokus ketika tokoh perempuan Kendeng memperlihatkan rutinitas sehari–hari di peternakan dan saat menceritakan pengalaman mereka menolak aktivitas pabrik semen.
Kemudian kami menyusun rencana keberangkatan ke Semarang, sesuai dengan agenda yang telah disusun bersama. Keputusan memilih Semarang sebagai wilayah belajar kelompok perempuan ini termotivasi dari sejarah panjang perlawanan mereka terhadap upaya pendirian pabrik Semen di Pegunungan Kendeng. Dari diskusi panjang kami, ada 4 orang yang akan berangkat belajar bersama komunitas di Pegunungan Kendeng. Terdiri dari perwakilan kelompok perempuan Kecamatan X dan pejabat kampung.
Bulan berikutnya rencana pun ditunaikan. Saya ikut serta belajar bersama kelompok perempuan dari Kecamatan B ke Pati dan Rembang, dua wilayah yang komunitasnya menolak pendirian pabrik semen. Selama 4 hari disana, setidaknya kami mendapat pengalaman belajar yang sungguh berharga. Terutama bagi Kelompok Perempuan di Kecamatan B. Mereka mulai menyadari bahwa penting untuk mulai mengorganisir warga kampung lainnya untuk menolak segala bentuk eksploitasi pertambangan. Kesadaran ini muncul bukan hanya pengaruh dari pertukaran pengalaman satu sama lain, tetapi memang sudah ada bibitnya sejak mereka mengetahui ada ancaman pertambangan di kampung. Sehingga hikmah dari kepergian ke Semarang ini adalah menambah keberanian serta rasa percaya diri mereka mengajak warga lainnya mempertahankan kampung halaman mereka.
Sepulang dari Kendeng, langkah pertama yang dilakukan kelompok perempuan ini membagikan pengalaman belajar mereka kepada anggota yang lain di kampung. Pun perwakilan pejabat kampung yang ikut belajar, mereka turut memfasilitasi setiap pertemuan kelompok perempuan ini. Bahkan pejabat kampung mengajak warga lain untuk ikut serta membahas rencana penyusunan peraturan kampung yang dapat menjaga wilayah mereka dari ancaman pertambangan. Sebagai informasi, persoalan penunjukkan kawasan hutan terhadap kampung di Kecamatan X ini sebelumnya sudah diurus oleh pejabat kampung ini dan usaha mereka diakomodir oleh program Perhutanan Sosial dari Pemerintah pusat. Sehingga peraturan kampung yang akan dibuat tersebut dapat memperkuat kedaulatan warga atas ruang hidup dan ruang kelola mereka.
Agenda selanjutnya adalah membuat demplot pembibitan Aren dan pupuk organik. Pembibitan ini ditujukan untuk menjaga ketersediaan Aren sebagai tanaman obat – obatan bagi sistem reproduksi kesehatan perempuan dan tambahan panganan seperti sagu yang dihasilkan dari batang, buahnya yang biasa disebut kolang kaling, juga getah aren yang bisa menjadi gula. Tidak hanya anggota kelompok perempuan saja yang membuat demplot ini, karang taruna dan pejabat kampung turut bergotong royong membantu mereka. Usai membuat demplot, mereka juga praktik membuat pupuk organik dari proses pembusukan dedaunan kering dan kotoran hewan. Jika berhasil nantinya akan di uji coba pada tanaman sayur di sela – sela kebun kopi mereka.
Pada bulan keenam, agenda terakhir kami yakni mempelajari bagaimana cara mengembangkan ekowisata di Kecamatan X. Terdapat beberapa air terjun dan karst yang sangat indah di kampung tersebut yang potensial untuk dijadikan tempat wisata. Sebenarnya kami juga sudah merencanakan untuk jajak pendapat dengan pemerintah Kabupaten Seluma dan Provinsi Bengkulu untuk membicarakan perlindungan sumber daya kampung di Kecamatan X berbasis kearifan lokal, namun niatan ini diurungkan mengingat persiapan yang belum matang.
Tahun ketiga…
Sudah saya singgung sebelumnya bahwa tahun ini saya mendapat 2 paket hadiah tahun baru. Hadiah pengorganisiran lainnya yakni mengorganisir perempuan petani kampung di Kecamatan X Kabupaten Kaur. Hampir mirip dengan situasi di Kecamatan B, Kabupaten Seluma. Saya harus dibonceng oleh warga setempat untuk ke kampung. Medan yang kami tempuh sangat lah memicu adrenalin karena sangat curam dan bertanah liat sehingga akan sulit dijangkau dengan kendaraan standar. Harus lah menggunakan transportasi seperti motor modifikasi untuk ke kebun atau pun mobil offroad.
Selain itu, warga kampung di Kecamatan X ini juga telah ada sejak zaman pra kemerdekaan Republik Indonesia, bahkan kampung mereka adalah kampung tua yang menyimpan banyak sejarah mengenai Marga Sambat di Kaur. Kampung ini juga merupakan zona penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Rangkaian Pegunungan Bukit Barisan di Sumatera.
Disayangkan sekali, akhir tahun 1980 wilayah kampung ditunjuk sebagai Hutan Produksi Terbatas oleh Negara. Padahal dekat dengan perkampungan tersebut terdapat wilayah jelajah harimau sumatera dan wilayah konservasi Gajah Sumatera. Tidak lama setelah itu, perusahaan kayu yang telah mendapat izin dari pemerintah untuk mengelola HPT tersebut mulai beroperasi. Mereka tidak hanya membabat habis wilayah yang tercantum dalam perjanjian izin tetapi juga merambah hingga ke Hutan Lindung dan merusak wilayah jelajah Harimau dan Gajah Sumatera.
Warga juga dikhawatirkan dengan status kampung yang tidak diakui lagi oleh Negara secara hukum akibat dari penunjukkan kawasan HPT. Pada awal tahun 2000-an, warga juga mendapati kenyataan bahwa kampung mereka diklaim sebagai lokasi pemukiman angkatan laut setempat. Padahal setelah diperiksa di surat keterangan, bukan kampung tersebut tetapi kampung lainnya lah yang menjadi lokasi sebenarnya. Namun pihak angkatan laut tersebut bersikukuh, bahkan sempat memaksa beberapa warga lainnya untuk menandatangani persetujuan keberadaan perumahan tersebut.
Memang konflik antara warga kampung dan angkatan laut setempat belum muncul di permukaan. Begitu pula dengan ketidak pastian hukum mengenai status kampung. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan suatu hari konflik ini pecah. Apalagi tindakan oknum angkatan laut tersebut sudah berulang kali menemui warga dan beberapa pejabat kampung untuk mendukung keabsahan surat keterangan yang mereka miliki. Kekhwatiran warga ini menghantarkan mereka untuk meminta lembaga kami untuk membantu pemecahan persoalan yang mereka hadapi.
Lagi, tugas saya tetap fokus mengorganisir kelompok perempuan kampung. Sama seperti di Kecamatan B Kabupaten Seluma, pun saya di Kecamatan X Kabupaten Kaur melanjutkan pekerjaan staf lain di lembaga kami. Mereka telah mengadakan beberapa kali pelatihan. Saya hanya perlu memfollow up hasil kerja tersebut dan menyusun rencana tindak lanjut bersama perempuan petani tersebut.
Langkah pertama yang saya ambil adalah pendekatan kepada para perempuan petani tersebut. Saya live in di beberapa rumah untuk mengetahui rutinitas yang mereka jalani sehari – hari. Saya juga memastikan waktu luang yang mereka miliki yakni pada hari apa saja dan jam berapa saja. Saya juga berkonsultasi dengan tokoh masyarakat dan isteri kepala kampung untuk mengadakan pertemuan khusus bersama para perempuan ini. Syukurnya, saya juga disambut dengan baik oleh mereka. Sehingga ketika ada usulan mengadakan pertemuan, semua saling berbagi informasi dengan tetangga terdekatnya.
Pertemuan pertama kami, saya mencoba menggali pengalaman hidup mereka selama ini. Kemudian dari situ saya dapat memetakan kebutuhan belajar mereka. Sebagai informasi, di kampung telah terbentuk Tim X sebagai wadah perjuangan agenda utama mereka yakni meminta pengakuan negara secara hukum atas status kampung. Tim X sudah mengusulkan kampung di Kecamatan X ini agar diakomodir dalam program Reforma Agraria. Keterlibatan para perempuan petani ini pun sangat diperlukan untuk memperkuat perjuangan bersama.
Agenda – agenda yang kami sepakati untuk 6 bulan kedepan adalah belajar mengelola kopi pasca panen, belajar tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara dan peraturan tentang kehutanan, pelatihan kepemimpinan perempuan, pembentukan kelompok perempuan petani dan memperkuat keorganisasian dari unit usaha kopi di kampung tersebut.
Saya melihat para perempuan tersebut sangat bersemangat ketika belajar bagaimana tata cara mengelola kopi pasca panen. Mereka sangat aktif bertanya pada fasilitator. Jelas sekali mereka bersemangat, sebab mereka semua adalah petani kopi. Pada agenda belajar di bulan berikutnya, di hari yang telah disepakati hujan diiringi angin deras menerpa kampung. Untungnya seluruh peserta belajar sudah ada di ruangan kelas. Pemandangannya sangat menarik. Mengingatkan saya dengan situasi belajar di Kecamatan A, Kabupaten Seluma. Mereka sambil menyusui dan mengeloni anaknya bisa begitu fokus memerhatikan setiap informasi yang disampaikan oleh fasilitator.
Pada pertemuan berikutnya, kami belajar mengenai hak dan kewajiban warga yang tinggal dalam kawasan hutan. Kami juga mempejari aturan – aturan tentang kehutanan dari beberapa literatur yang telah saya persiapkan dengan bahasa yang lebih sederhana. Lalu saya mulai mencari tahu apakah para perempuan disini juga mengetahui persoalan yang dihadapi di kampung. Hanya sebagian yang mampu menjelaskan. Setelah itu fasilitator mulai memberikan pemahaman mengenai peran perempuan dalam usaha penyelamatan ruang hidup dan ruang kelola mereka.
Kali ketiga pertemuan, kami mulai membentuk kelompok belajar bersama perempuan petani kampung di Kecamatan X, Kabupaten Kaur. Saya membantu menyusun struktur hingga membuat aturan bersama dalam kelompok. Agenda terakhir pada bulan keenam, kami kembali mengadakan pertemuan bersama kelompok usaha yang telah dirintis di kampung tersebut bersama dengan staf lembaga kami sejak awal tahun 2018. Pertama, tujuan pertemuan yakni mengevaluasi unit usaha yang telah berjalan selama hampir 6 bulan. Kedua, tujuan selanjutnya untuk mempertegas komitmen anggota kelompok usaha, dan terakhir sosialisasi cara mengurus izin produk industri rumah tangga. Sehingga dengan lisensi tersebut dapat memperluas jangkauan kelompok untuk memasarkan produk kopinya.
Sekian untuk pembahasan singkat saya mengenai konflik yang terjadi antara kelompok petani dengan perusahaan perkebunan dan pertambangan di Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur. Selanjutnya kita sampai pada bagian inti tulisan saya ini, dimana saya akan mengupas, mengintrospeksi cara pengorganisiran yang selama 3 tahun ini berjalan. Jujur saja, kalimat pertama yang ingin saya tegaskan disini bahwa pengorganisiran saya tidak berhasil dan kelompok perempuan petani mengalami kemerosotan atau bisa dibilang tidak progress. Saya merasa gagal dan malu akan kegagalan tersebut karena background pendidikan saya adalah sarjana kesejahteraan sosial. Lantas apa yang salah ?
bersambung…