Oleh Tim Akar
Suku Bangsa Rejang yang mendiami wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, Kepahiyang, Bengkulu Utara, dan beberapa daerah di Provinsi Bengkulu memiliki sistem pemerintahan tradisional yang dikenal dengan Kutai (kuteui/kutei). Tahun 1861 sistem pemerintahan Marga diterapkan di wilayah Bengkulu marga ini merupakan gabungan dari beberapa Kutai. Hukum yang dipakai ketika itu adalah Undang-Undang Simbur Cahaya yang diadopsi dari Undang-Undang Simbur Cahaya di Sumatera Selatan. Sistem pemerintahan marga berlaku hingga tahun 1980 setelah keluarnya UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Semua sistem pemerintahan terendah di seluruh Indonesia diseragamkan sehingga marga  dan pemerintahan terendah lainnya di seluruh Indonesia diganti dengan sistem pemerintahan desa.
Dalam pelaksanaan kebijakan tentang pelaksanaan hukum adat, salah satu instrumen Adat.  Sistem Hukum Adat Suku Rejang di dilaksanakan oleh Jenang Kutai atau sebagaian menyebutnya Ketua Suku untuk tingkat wilayah Desa Administratif, bila dilihat dari operasional hukum adat, kebanyakan kasus yang diselesaikan adalah kasus-kasus normatif, meskipun dalam Punen Adat (pokok-pokok adat) kasus-kasus sengketa adat tidak hanya menyangkut persoalan Normatif saja, tapi lebih luas maupun menyelesaikan kasus-kasus tata kelola ruang, tata kelola ekonomi dan tata kelola sumber-sumber kehidupan bagi warganya.
Inisiatif Pengakuan Hukum Adat yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Hukum Adat Rejang yang diajukan oleh Pemerintahan Kabupaten Lebong merupakan langkah maju bagi usaha pengakuan Hak Institusi Adat. Akar sebagai NGOs yang konsen terhadap pengakuan hak-hak Masyarakat Adat mengangap inisiatif ini perlu diapresiasi dan didukung terutama dalam penguatan kompilasi hukum adat, sehingga nantinya tidak hanya mempunyai kekuatan dan penghormatan hukum secara eksternal tapi juga berdampak manfaat di tingkat internal masyarakat adat yang ada di Kabupaten Lebong.
Pada tanggal 14 Februari 2013, Akar memfasilitasi konsultasi Publik dengan para pemangku kebijakan dan elemen masyarakat yang ada di Kabupaten Lebong, konsultasi publik ini yang didukung oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA) dilaksanakan di Aula Pertemuan Lebong Rahma Centre. Dalam kata sambutan pengantar oleh Direktur Eksekutif Akar Sugian Bahanan ini manyatakan bahwa yang paling substansi dari pengakuan Hukum Adat ini adalah memastikan pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik untuk mengantisipasi sejumlah kecenderungan sengketa dan menemukan bentuk penyelesaian adat yang terjadi di komunitas adatnya. Mengingat, potensi konflik di masyarakat adat sangat besar jikalau dikaitkan dengan konteks perubahan struktur sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang kian tersegregasi. Baik internal antar warga masyarakat, antara penguasa adat dan warganya, atau antar adat satu dengan yang lainnya.
Pelajaran menarik lainnya disampaikan oleh Peserta baik dari Badan Musyawarah Adat (BMA) Kabupaten Lebong maupun oleh masyarakat perwakilan 5 Marga yang ada di Kabupaten Lebong adalah pokok-pokok sosial dan tata nilai terdapat dalam Hukum Adat Rejang terdapat dalam Kelpiak ukum Adat Jang (kompilasi hukum adat) yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu Punen Adat Jang (Sistem Pokok), Adat Nenek Menitipun (Kompilasi yang lahir dari kesepakatan) dan Sangsi atau Denda – denda yang berdasarkan standar minimal dan denda. Karena adat ini lahir dari kesepakatan atas hasilmusyawarah maka kompilasi ini hanya sebagai acuan penyelesaian sengketa adat.
Dari diskusi dan adu argumen yang disampaikan peserta konsultasi publik ini didapati beberapa rekomendasi, antara lain;

  1. Menorong segera pengesahan Raperda Hukum Adat yang sekarang masih dalampembahasan di Badan Legislasi DPRD Kabupaten Lebong
  2. Hukum Adat nantinya harus memasukan poin-poin tentang sistem tata kelola berserta penyelesaian kasus didalamnya,maka perlu dilakukan Inventarisir pola ruang dan tata kelola wilayah adat,
  3. Perlu dilakukannya penambahan dan panajaman beberapa hal dan persoalan yang ada dalam kelpiak ukum adat jang  dan klasifikasi prinsif dan dimensi adat (Tata Nilai, Tata Milik dan Tata Norma)
  4. Peserta menyepakati bahwa pengakuan operasional pelaksanaan Hukum Adat ini dimuat dalam Peraturan Bupati Kabupaten Lebong, maka disepakati juga adanya ruang Evaluasi Peraturan Bupati (PERBUP) secara priodik
  5. Penguatan Kapasitas Hakim Adat
  6. Di dalam kompilasi hukum adat yang ada saat ini terdapat denda atau sangsi adat dalam bentuk Nominal, pertanyaannya adalah seperti apakah penentuan nominal denda? Baik secara akademik maupun diskusi tingkat kampung perlu dilakukan untuk menguatkan argumen penentuan denda nominal atau dihapuskan
  7. Perlu dilakukannya Perumusan hukum beracara yang melibatkan banyak pihak baik akdemisi maupun praktisi hukum dan mayarakat adat
  8. Perlu dilaksanaknnya Konsultasi Publik Lanjutan ditingkat Kecamatan dan Tingkat Kabupaten