Di Sumatera, khususnya di Bengkulu sejarah pertambangan umum dimulai jauh sebelum zaman kolonial, sumber utama pertambangan yang ada adalah emas yang berada di wilayah Lebong. Lebong ini adalah satuan wilayah yang berada diwilayah Timur Bengkulu, berada di ketinggian antara 700-1200 dpl dan secara fisik berada dilereng gugus bukit barisan. Lebong dalam bahasa lokal Rejang diartikan dengan tempat berkumpul, dan ini merujuk pada gumpalan deposit emas yang disebut dengan bahasa lokal dengan ‘urat’ maka sampai saat ini dimana tambang di ekplorasi maka tempat tersebut dinamai dengan Lebong.

Penaklukan pertama oleh kolonial Belanda pada tahun 1866, dan dituangkan dalam kesepakatan dan disepakati di Topos yang merupakan bagian wilayah adat Jurukalang yang kemudian Pemerintahan Kolonial pertama kalinya melakukan ekploitasi tambang emas yang sampai saat ini dikenal dengan wilayah Lebong Simpang, dan Lebong Tambang. Pengambilalihan urusan pertambangan dari komunitas adat atau Marga di wilayah Bengkulu tentu saja mengacu pada kebijakan kolonial Mijn Reglement 1850.[1]

Mijn Reglement 1850 menjadi satu landasan hukum yang dipakai oleh kolonial Belanda untuk mengambil alih, mengatur serta memanfaatkan bahan mineral untuk kepentingan Pemerintahan Belanda, namun dari literatur yang ada pada awal penjajahan Belanda, di wilayah Rejang yang merupakan sebagai wilayah penghasil emas dan ditemukan adanya beberapa izin konsesi yang diberikan kepada pihak swasta.
Menurut catatan Helfrich, tahun 1870 merupakan tahun tersulit dan puncak kemunduran bagi kekuasan elit pribumi terutama di wilayah Rejang, dimana dalam wilayah tersebut terdapat deposit mineral, dan pada tahun tersebut jabatan regent (bupati) dihapus.[2]

Keresidenan Bengkulu merupakan salah satu pengekspor emas dan perak yang utama di Hindia Belanda, pada tahun 1936 bernilai f. 3.538.00 yang berarti 94,5 % dari seluruh eksport dari Hindia Belanda yang bernilai f. 3.715.00. Ada dua perusahaan tambang terkemuka yaitu perusahaan tambang Simau dan Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, Tambang Redjang-Lebong merupakan perusahaan tertua yang berdiri tahun 1897 dengan nama Perusahaan Ekplorasi Emas Redjang-Lebong dan pada tahun 1898 menjadi Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dengan konsesi 4.079 bau selama75 tahun dengan pembayaran cukai 10 % dari hasil bersih dan biaya sewa sebesar 0,25/bau, namun pada tahun 1936 perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup sementara tetapi kemudian beroperasi kembali karena mendapatkan daerah penambangan baru dengan 23 izin konsesi dari perusahaan tambang milik pemerintah.[3]

Bisa saja dihubungkan kondisi ini karena perubahan yang terjadi di pemerintahan Kolonial dimana terjadi perubahan Mijn Reglement 1850 menjadi Mijnwet 1899, sebuah hukum pertambangan yang dibuat oleh Staten Generaal dengan Pemerintahan Pusat di Negeri Belanda, dalam aturan tersebut posisi pemerintahan Hindia Belanda amat sentral dalam mengurusi urusan pertambangan di wilayah jajahannya.

Urusan tata kelola pertambangan ini tidaklah terlalu berubah, meskipun kemudian Indonesia Merdeka, kebijakan konsititusi yang dimuat dalam Pasal 33 UUD 1945 yang secara filosifis sangat kental nuansi sosialis yang secara nyata menyatakan bahwa Negara adalah pemilik sekaligus pemegang mandat  penguasa atas mineral yang terkandung di dalam tanah, dan atas mineral serta logam yang ditambang dan diproses. Turunan dari konstitusi ini kemudian dijabarkan dalam UU No 37 PRP Tahun 1960 tentang Pertambangan, yang sangat anti modal besar dan modal asing. Tujuh tahun kemudian lahirlah UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan Umum yang mengiringi UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan Umum ini dibuat dengan mangacu pada TAP MPRS No XXXI/MPRS/1966, TAP XXIII/MPRS/1966 dan TAP No XXXIII/MPRS/1966, pertimbangannya adalah Guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengelola dan membina segenap kekuatan ekonomi potensial di bidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil. Konsideran UU tersebut sangatlah kental dengan nuansa pembangunan ekonomi yang masif akibat kondisi ekonomi ketika itu mengalami persoalan serius. Usaha rehabilitasi ekonomi inilah kemudian menjadi landasan dan pemanfaatan kekayaan alam, termasuk deposit mineral yang terkandung dalam bumi Indonesia yang memang berlimpah ruah, kemudian dimanfaatkan secara baik oleh pemilik modal untuk mengali kekayaan alam sekaligus sebagai pemicu kontroversi atas industri ekstraktif.

Pada tataran operasional UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan Umum ini kemudian memperkenalkan Kuasa Pertambangan serta Perjanjian/Kontrak Karya antara Pemerintah dengan Swasta (Badan Usaha Nasional dan Perseorangan guna melaksanakan usaha Pertambangan. Kontrak Karya/KK untuk galian strategis (Golongan A), Galian Vital (Golongan B), Izin Pertambangan Rakyat pada Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) serta usaha pertambangan untuk Bahan Galian (Golongan C) yang diberikan kepada Pemerintahan Daerah, kemudian pada tahun 1981 Pemerintah kemudian memperkenalkan Perjanjian Karya Penguasaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Perubahan Tata kelola Pelaksanaan Kuasa Pertambangan seperti yang disebut diatas dijabarkan dalam PP No 75 tahun 2001 kemudian menyatakan bahwa KP, KK dan PKP2B yang diterbitkan Pemerintah sebelum tanggal 1 Januari 2001 tetap berlaku sampai berakhirnya KP, KK dan PKP2B dimaksud. Sekumpulan beberapa kebijakan terkait dengan Pertambangan dan Intervensi Kapital/Modal misalnya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menunjukan bahwa kumpulan kebijakan tersebut bukan hanya teks baku yang kaku tapi adalah kosentrasi spirit yang kemudian disebut dengan Pembangunan dengan dalil untuk keuntungan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Secara geologis untuk memastikan kontribusi sektor pertambangan bagi kemakmuran rakyat sungguh masuk akal, wilayah Indonesia memiliki potensi endapan-endapan batu bara yang sangat luas. Namun batu bara yang bernilai ekonomis untuk dikembangkan hanya terkonsentrasi pada cekungan-cekungan tersier tertentu di Pulau Sumatera dengan persentase sebesar 46,68% dan menurut Bank Dunia, Indonesia merupakan salah satu negara penting dalam bidang pertambangan. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Indonesia sebagai negara produsen terbesar ke-8 di dunia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, pada tahun 2004 komoditas tambang batubara memiliki sumber daya yang paling banyak untuk dieksplorasi dibandingkan dengan komoditas mineral tambang lainnya yaitu sebesar 50 miliar ton, dengan cadangan 5 miliar ton dan tingkat produksi sebesar 160 juta ton.

Salah satu sumber untuk keuntungan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat adalah PP Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tidak menyebutkan secara spesifik PNBP di bidang pertambangan umum, namun menyebutkan jenis-jenis PNBP di Departemen ESDM yaitu pelayanan jasa bidang geologi dan sumber daya mineral; iuran tetap/landrent;, iuran eksplorasi/iuran eksploitasi/royalti; dana bagi hasil produksi batubara; jasa teknologi/konsultasi eksplorasi mineral, batubara.

Bumi Bengkulu tetap menarik dan menggiurkan bagi para investor. Terbukti, sampai saat ini sebanyak 34 perusahaan masih eksis dan bertahan menanamkan investasinya di Provinsi Bengkulu. Rinciannya, 12 perusahaan menggunakan fasilitas PMA (Penanaman Modal Asing) dengan realisasi investasi US$ 826.126.894.565 dan 22 perusahaan dengan fasilitas PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dengan realisasi investasi Rp 66.526.642.398,649. Kondisi ini menunjukan bahwa investasi mereka di Bengkulu cukup prospektif untuk jangka panjang, dan menunjukkan bahwa Provinsi Bengkulu merupakan daerah yang cukup strategis untuk melakukan investasi. Dibidang pertambangan, terdapat perusahaan PT Bukit Sunur yakni eksplorasi pertambangan batu bara di Kabupaten Bengkulu Utara dengan total investasi Rp4.647.094.000. Sementara PT Bukit Bara Utama menanamkan modalnya hingga Rp16.700.000.000. asumsinya adalah semakin banyak investasi masuk, maka akan membantu percepatan pembangunan Provinsi Bengkulu.


[1] Akar-Siemenpuu Foundation, Laporan Riset Dominasi Penguasaan Tanah Adat Jurukalang, 2010
[2] O.L.Helfrich, De Adel van Bengkoelen en Djambi (1892-1901), AB, deel.XXII Gemengd (‘sGravenghage-Nijholff, 1923)
[3] Besluit 19 maart 1898 No.8