Oleh; Erwin Basrin
Hari itu menunjukan jam 10 pagi, tanggal 3 Desember 2010, sambil minum kopi di teras depan Rumah Akar, Saya, Rahabillah Firdha dan Sugian Bahanan berdiskusi beberapa persoalan tentang konflik kehutanan. Diskusi ini berangkat dari beberapa kasus yang terjadi di Bengkulu, lalu diskusi kami mengkrucut pada model rebut dan reposisi ruang kelola rakyat dalam kawasan konservasi atau kawasan lindung melalui advokasi lunak (solf advocation).
Menurut Rahabiah Firdha model advokasi ‘lunak’ ini didukung oleh perubahan kebijakan kehutanan dan mengakomodir resolusi ‘damai’ atas konflik yang ada, Ada Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Skema Hutan Desa (HD) dan Skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Diskusi kamipun mulai mengkrucut pada 3 skema tersebut, pertanyaan yang penting disampaikan oleh Sugian Bahan dari diskusi ini, dari ketiga skema ini mana yang paling mendekatkan manfaatnya langsung kepada masyarakat?
Pertanyaan sederhana dan normatif dari Sugian Bahanan ini tentu saja memerlukan jawaban yang komprehensif, jika manfaat yang dimaksud adalah manfaat ekonomi maka manfaat ekologi tidak juga harus diabaikan, karena ada korelasi yang kuat antara ekonomi dan fungsi ekologi. Diskusi kami pun mencoba memproyeksikan beberapa wilayah yang mengalami konflik atas lahan kelola rakyat dengan kawasan konservasi dan lindung di Propinsi Bengkulu. Saya lalu melihat urgensi dari penyelesaian konflik atas lahan kelola dalam kawasan lindung dan konservasi, urgensi yang dalam pikiran saya sama seperti Teorinya Malthus bahwa peningkatan produksi pangan sebagai sumber kehidupan warga sekitar hutan mengikuti deret hitung (aritmetik) dan pertambahan penduduknya mengikuti deret ukur (geometrik), atau sederhananya Tuhan tidak buat tanah baru tapi Tuhan kasih restu buat manusia lahir tiap menit bahkan detiknya. Sehingga, pada posisi ini masing-masing pihak melihat objek konflik ini (baca: tanah) dengan paradigma ganda, artinya jika ke tiga skema atau salah satu yang akan dijadikan sebagai alat yang kemdudian kami sebut dengan ‘resolusi jalan tengah’ ini, maka pada objek konflik haruslah dilihat dari berbagai aspek yang bersentuhan dengan kawasan (ada struktur social, budaya, termasuk arus ekonomi, pola sebaran dan bentang alam, model pengelolaan dan lain-lain) maka setidaknya pertanyaan dari Sugian Bahanan itu bisa terjawab.
Diskusi yang tidak terkesan serius ini kemudian berujung pada kesepakatan untuk mencoba ke tiga skenario yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan, tentu akan disesuaikan dengan anatomi konflik yang terjadi di masing-masing tempat. Kesepakatan kongkritnya bahwa implementasi program resolusi damai ini tidak boleh berdiri sendiri, dan harus jadi bagian dari skenario regional maupun skenario global. Dan kamipun berbagi tugas, Rahabilah Firda akan mengeksekusi kegiatan-kegiatan lapangan, Sugian Bahanan akan melakukan advokasi kebijakan baik ditingkat Kabupaten maupun Tingkat Propinsi, dan saya ditugaskan untuk menggali dukungan logistik serta memasukan agenda diskusi ringan ini ke agenda-agenda diskusi regional dan global.
Tanggal 20 Desember, kita kemudian melanjutkan diskusi dan temanya adalah perkembangan persiapan dan ide dari rencana implementasi program resolusi konflik kehutanan. Semua data-data pendukung sudah disiapkan oleh Rahabilah Firdha. Diskusi kami mulai dengan pernyataan Rahabilah Firdha tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), dia menyebutkan bahwa dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 37 tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjelaskan bahwa Hutan Kemasyarakatan (Hkm) dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja, memecahkan persoalan ekonomi, sosial dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Hasil analisis dan dokumen yang menggunung membuat perdebatan kami semakin hidup dan sampai pada kesepakatan bahwa Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan Skema resolusi konflik kehutanan yang paling mungkin untuk dilaksanakan, Rahabilah Firdha berhasil mengiring cara berpikir kami, secara objektif harus diakui bahwa kami sepakat bahwa Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan Skema yang paling memungkinkan untuk dalaksanakan, maka objek implementasi skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) ini kita pilih 5 Desa yang ada di Kabupaten Rejang Lebong yaitu Desa Air Lanang, Tebat Pulau, Baru Manis, Transad dan Air Nipis. Pemilihan desa ini tentu didasari oleh beberapa alasan penting, antara lain di daerah ini adalah konsentrasi konflik kehutanan di Kabupaten Rejang Lebong, berada di wilayah perbatasan dan bersentuhan langsung dengan hutan Lindung Bukit Daun Register 37, merupakan daerah tangkapan air DAS Musi untuk PLTA Ujan Mas, mengandung deposit mineral emas yang setiap saat bisa saja diekploitasi.
Inisiatif ini kemudian disebarkan kepada jaringan Akar, baik jaringan Sumatera maupun Jaringan Nasional dan Internasional. Feedback dari sharing informasi ini ternyata direspon dengan baik oleh jaringan Sumatera, kemudian dirancang secara berasama arsitektur program selama 3 tahun bersama 13 NGO yang ada di Sumetara dan Shamdana Institute kemudian mengambil bagian sebagai penyuplai logistik. 13 NGO ini yang kemudian dibagi menjadi 3 simpul antara lain simpul kampanye, simpul safeguard dan simbul rebut ruang kelola. Iniaistif pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang tujuannya adalah reposisi ruang kelola ini yang kemudian disebut dengan Rebut Ruang kelola melalui koridor kebijakan yang berlaku merupakan upaya penyelesaian konflik kehutanan tidak hanya outputnya sebagai reposisi ruang kelola rakyat tapi menjadi agenda  mitigasi perubahan iklim di Sumatera.
Implementasi lapangan
Workplan dan logframe pun tersusun dan programpun siap dieksekusi, Rahabillah Firdha ditugaskan sebagai pendamping lapangan, tugas utamanya melakukan penguatan pemahaman tentang Reposisi Ruang Kelola melalui Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) di 5 desa di Rejang Lebong, kedatangannya ditolak oleh masyarakat karena dianggap sebagai mata-mata pihak Kehutanan, penolakan ini tidak tanggung-tangung dan dilakukan sebanyak 3 kali, penolakan ini tentu saja wajar akibat pengalaman refresif dari pemangku kawasan, pengusiran dan penangkapan serta stereotif masyarakat pengarap disebut sebagai Perambah. Kedatangan yang keempat kalinyalah kemudian Rahabilah Firdha diterima. Dan prosespun berjalan, mulanya hanya ada 4 orang yang mendukung mereka hanya terkonsentrasi di Desa Tebat Pulau, secara berlahan dengan pendekatan kekeluargaan maka kegiatan riset potensi dan konsolidasi issue ditingkat kampung bisa dilakukan, masyarakatpun mulai setengah hati menerima dan setengahnya menolak, kegiatan pendampingan tetap jalan dan proses ini memerlukan waktu selama 4 bulan.
Bulan ke 5, tepatnya tanggal 12 Maret 2011, proses konsolidasi lapangan dan advokasi kebijakan di tingkat Kabupaten mulai menemukan titik terang. Kolaborasi antara Sugian Bahanan dan Rahabilah Firdha berhasil membawa 60 orang pengarap Hutan Lindung yang berasal dari 3 Desa (Tebat Pulau, Baru Manis dan Desa Air Lanang) menemui Bupati dan Kepala Dinas Kehutanan Rejang Lebong. Dalam pertemuan yang dilaksanakan di Ruangan Rapat SEKDA Rejang Lebong dan kemudian pindah ke Kantor Dinas Kahutanan, saat pertemuan ini masyarakat yang datang berani berterus terang bahwa mereka adalah pengarap hutan lindung dan siap jika mereka ditanggkap dan yang paling penting dari pertemuan ini ke 60 orang masyarakat tersebut mampu secara detail menjelaskan Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) baik Kepada Bupati maupun kepada Kepada Dinas Kehutanan. Hasil dari pertemuan ini melahirkan kesepakatan bahwa Pemerintahan Kabupaten Rejang Lebong mendukung inisiatif pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) sebagai resolusi konflik kehutanan di Kabupaten Rejang Lebong, dan Akar bertanggung jawab sepenuhnya atas inisiatif ini.
Rahabilah Firdha kemudian kembali ke Kampung dan live in di Desa Tebat Pulau, bersama masyarakat melakukan konsolidas dan kemudian berhasil membentuk 20 Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di 3 Desa masing-masing Di Desa Air Lanang 7 Kelompok (189 KK dan luas lahan 373,5 Ha), di Desa Tebat Pulau 9 kelompok (328 KK dan Luas Lahan 606 Ha) dan Desa Baru Manis 4 Kelompok (129 KK dan luas lahan 234 Ha) sehingga total luas wilayah di 3 desa ini 1.213,5 Ha yang dikelola oleh 644 KK. Pembentukan kelompok ini merupakan bagian terpenting dari prasyarat untuk mendapatkan perizinan. Aktivitas ini dilakukan secara swadaya oleh masyarakat selama 3 bulan, bahkan semua kebutuhan Rahabilah Firdha dilapangan semuanya ditanggung oleh masyarakat.
Pada 10 Juni 2011, 20 kelompok yang sudah dibentuk ini siap mengajukan permohonan kepada Bupati Rejang Lebong untuk mendapatkan Izin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Surat permohonan dari ke 20 kelompok tani inilah kemudian menjadi dasar Bupati untuk mengajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia untuk mendapatkan Izin Areal Kerja untuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Rejang Lebong.
Sementara itu, Desa Transad dan Desa Air Nipis yang juga dilakukan penguatan dan konsolidasi, karena ada persoalan internal di tingkat masyarakat program HKm tidak bisa dilaksanakan. Dan atas progres yang ada dan informasi pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) maka informasi ini menyebar di beberapa desa yang bersentuhan dengan hutan lindung register 37, adalah Kepala Desa Air Pikat dan Tebat Tenong Dalam kemudian berinisiatif mendatangai Rahabilah Firdha dan kemudian mereka melakukan pertemuan di Kediaman M. Dahril, pertemuan ini kemudian bersepakat untuk melakukan pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan memasukan Desa Air Pikat dan Tebat Tenong Dalam dalam bangunan program reposisi ruang kelola ini.
Informasi inisiatif pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang titik berangkatnya adalah partisipatif dari masyarakat serta serial advokasi yang dilakukan Akar tidak hanya menyebar di desa-desa yang ada di Kabupaten Rejang Lebong, inisiatif ini direspon dengan baik oleh Balai Pengeloaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Ketahun dan Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu. Sehingga, dari tahun 2011-2013 Akar ditunjuk menjadi anggota Tim Percepatan dan asistensi Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) di Propinsi Bengkulu, dan secara kuantitatif didapati sebaran angka 46.000 Ha  yang akan di dijadikan Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) yang tersebar di berbagai wilayah di Propinsi Bengkulu.
Pada bulan Februari 2012 Tim Verifikasi yang beranggotakan Dirjen BP DAS PS Kementerian Kehutanan, BP DAS Ketahun, Dinas Kahutanan Propinsi Bengkulu, Dinas Kehutanan Kabupaten Rejang Lebong dan Akar sebagai Pendamping lapangan melakukan verifikasi persiapan dan kelengkapan 20 Kelompok yang ada di Desa Tebat Pulau, Air Lanang dan Baru Manis Kabupaten Rejang Lebong dan hasilnya ke 20 Kelompok Tani ini siap untuk menerima Izin Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan (HKm) dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia.
Kita menyadari bahwa proses adminsitasi sampai terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan (HKm) memerlukan waktu yang lama, selama menunggu proses tersebut penguatan dan pengawalan tetap dilaksanakan termasuk penguatan kapasitas kelembagaan baik dilakukan oleh Akar bersama masyarakat secara swadaya maupun dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi serta penguatan kapasitas yang difasilitasi oleh BP DAS Ketahun. Sementara dalam berjaringan, Akar secara institusi selalu hadir disetiap pertemuan yang dilaksanakan secara priodik untuk berbagi cerita dan evaluasi perkembangan dan kendala yang ditemui baik ditingkat lapangan maupun di ruang-ruang kebijakan baik ditingkat lokal maupun nasional.
Akhirnya, pada tanggal 30 Juli 2013 menteri Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Menteri No: SK.545/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan seluas ± 1.165 Ha di Kabupaten Rejang Lebong. Adapun  desa-desa dalam keputusan tersebut adalah Desa Air Lanang, Tebat Pulau dan Barumanis. Dan ternyata proses yang telah dilakukan selama 3 tahun ini mulai mendapatkan dukungan, dan kami tidak menyebutkan ini sebagai kemenangan. Tetunnya setelah SK Menteri ini diterima, maka Bupati Kabupaten Rejang Lebong harus menerbitkan Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).
Nantinya, setelah SK Menteri dan Izin IUPHKm dari Bupati Rejang Lebong didapati, program dan advokasi ini belumlah berakhir tetapi baru dimulai. Proses selanjutnnya adalah sejauh mana kemudian masyarakat mampu menerima mandat ‘pemberian’ untuk mengakses kemudian mengontrol kawasan ‘pemberian’ ini.? Lalu, apakah ‘pemberian’ ini mampu menjawab kebutuhan bonum commune atau kesejahteraan bersama yang pada saat bersamaan harus menemukan cara dalam rangka penyelamatan satuan ekologis.?
Dalam pikiran saya, pekerjaan terberat adalah menjawab beberapa pertanyaan tersebut, tetapi ibarat petuah dari tetua di kampung, ketika memegang sembilu janganlah sambil ragu-ragu peganglah kuat-kuat, kalau ragu maka tangan kitalah yang akan berdarah karena luka. Waktu tetap tetap terus berjalan dan dari setiap tahapannyalah nanti kita bisa tahu bahwa sungguhnya rakyat punya kearifan dalam menentukan pilihan-pilihan terbaik bagi mereka.