AKARNEWS. Struktur hukum formal di Indonesia dinilai mengkerdilkan hak masyarakat hukum adat di Indonesia. Kendati secara tertulis di sejumlah undang-undang, negara mengakui keberadaan masyarakat adat, namun secara implementasi kontrol negara tetap mengikis hak tersebut.
Demikian ungkap Praktisi Hukum Bengkulu M Yamani, SH, M.Hum dalam Diskusi Pluralisme Hukum Sentralisme Hukum dan Pengingkaran Hak-Hak Masyarakat Lokal Atas Kekayaan Alam di Rumah Literasi Akar Foundation Bengkulu, Senin (24/2/2014).
“Negara di satu sisi ingin mengakui hak-hak pribumi dalam konteks pengakuan masyarakat adat. Namun disisi lain, secara perlahan-lahan negara juga mengikis hukum yang ada di masyarakat pribumi,” ujar Yamani.
Praktik pengkerdilan hak masyarakat adat atau lokal tersebut, menurut Yamani, bisa dilihat langsung di sejumlah perangkat undang-undang RI. Ia mencontohkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agararia. Termaktub dalam Pasal 18B ayat (2), bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.
“Ada penegasan pengakuan tapi dalam lanjutannya pengakuan itu harus diakui dalam undang-undang, baik perda ataupun minimal perdes. Ini yang dibilang mengkerdilkan. Karena disisi lain, untuk mewujudkan perda yang berkaitan dengan adat sangatlah sulit diwujudkan,” ujarnya.
Sejauh ini, menurut Yamani, sejumlah daerah di Indonesia belum ada yang mengakomodir hukum adat sebagai salah satu sandingan dari hukum formal yang telah berlaku di Indonesia. Di Bengkulu misalnya, terkhusus di Kabupaten Lebong, secara teknis sudah ada kemajuan berupa sinergisitas tentang hukum adat dengan hukum negara melalui penerapan perdes tentang adat. Namun demikian, di tataran praktik, sayangnya penegak hukum negara belum mau berbagi peran dalam menegakkan dan membangun hukum tersebut.
Sentralistik negara yang berlebihan tersebut, menurut Yamani, juga ditunjukkan dengan kerap gugurnya sejumlah usulan pengakomodiran hukum lokal di negara. Usulan itu bahkan dituding bertentangan dengan faham kesatuan karena cenderung mengarah ke disiintegrasi bangsa.
“Karena itu secara jangka panjang, butuh upaya revolusi hukum dengan merubah struktur hukum yang ada di negara kita. Namun tetap, secara jangka pendek butuh best practice yang bisa dijadikan contoh, agar negara percaya bahwa hukum adat itu bisa efisien dan penting untuk masyarakat,” ujar Yamani. (jek)
Telah tayang di RBI, BENGKULU