AKARNEWS. Besarnya uang yang akan diterima negara kita dari proyek Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD) tersebut begitu menyilaukan mata kita semua sehingga tidak ada yang menyoroti potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari proyek konservasi tersebut terhadap penduduk lokal dan komunitas adat yang selama ini memanfaatkan sumber daya hutan.
Sudah sering rasanya kita membaca laporan menyeramkan tentang dampak perubahan iklim terhadap kehidupan manusia. Kebanjiran, kelaparan, krisis air adalah beberapa bencana yang harus dihadapi umat manusia sebagai dampak dari perubahan iklim. Bahkan diperkirakan akan muncul berbagai pertikaian dan peperangan karena perebutan sumber daya alam yang semakin langka tersebut.
Begitu menakutkannya dampak perubahan iklim tersebut, sehingga berbagai negara, lembaga swadaya masyarakat dan media baik lokal maupun internasional seakan menyuarakan seruan yang seragam bahwa bumi harus segera diselamatkan dari bencana perubahan iklim. Akar sebagai salah satu NGO lingkungan dan pendukung masyarakat adat tentu saja melibatkan diri mendiskusikan  REDD bersama Masyarakat Adat, diskusi ini dilaksanakan di beberapa Kecamatan dan desa yang berada di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu, kegiatan ini atas dukungan Global GreenGrants Fund salah satu lembaga mitra Akar yang berkedudukan di USA.
Menurut Erwin Basrin, Coordinator Program REDD Akar yang ditemui oleh Akarnews ketika memfasilitasi Diskusi REDD di Kecamatan Lebong Atas, ‘Jika soalnya adalah kopensasi REDD maka penyampaian informasi ini kepada Masyarakat Adat haruslah konprenhensif, misalnya kondisi politik global, alur ekonomi dan posisi hak rakyat atas kawasan’  jika mengacu pada kebijakan yang ada saat ini hampir  tidak ada ruang dan manfaat REDD terhadap masyarakat adat, misalnya di beberapa Kebijakan setingkat Menteri menyatakan bahwa masyarakat bisa saja ikut dalam scenario REDD tapi melalui skema Hutan Hak, ditambah Erwin.
Metode Free Prior Informed Consent (FPIC), tentu saja baik dimana informasi yang disampaikan sangat jelas dan kemudian masyarakat adat menyatakan ia atau tidak terhadap project REDD di wilayah Adat, ditambah Direktur Akar Sugian Bahanan, tapi kita harus melihat pola-pola yang berkembang saat ini, ‘setahu saya hak adat itu dikelola secara kolektif, sementara scenario yang dibangun REDD ini sepertinya mengacu pada teori hak liberal yang mengedepankan hak individu, kami di Akar mencoba mencari format yang memungkinkan masyarakat adat akan mendapatkan manfaat atas project REDD ini yang akan dijalankan pada tahun 2012’ tambah Sugian.
Secara substansi REDD adalah upaya mengurangi proses deforestasi dan degradasi hutan melalui pendekatan ekonomi, ditambahkan Erwin, disela-sela diskusi REDD di Kecataman Topos bahwa ‘masyarakat sudah harus mulai mendiskusikan soal REDD lebih lanjut terutama tentang kearifan local dalam mengelolan hutan bukan terjebak pada ekonomistik’, masyarakat adat yang selama ini terbukti memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya hutan secara lestari harus selalu dilibatkan sejak dari perencanaan hingga evaluasi dalam kegiatan REDD untuk menyelamatkan bumi dari bencana perubahan iklim, tapi dari diskusi yang dilakukan Akar dengan masyarakat pola pikir yang ekonomistik mulai muncul, pertanyaan-pertanyaan hitungan karbon, dan pohon-pohon yang bernilai karbon tinggi adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanya oleh masyarakat, tambah Erwin.
Jika dilihat kondisi objective yang saat ini di masyarakat adat khsusunya di Lebong, REDD ini akan menjadi manfaat jika Pemerintah membuka ruang bagi masyarakat, misalnya dengan menerbitkan sertifikat hak yang lebih gampang untuk masyarakat, Program Larasita (layanan setifikasi tanah untuk rakyat) adalah peluang yang mungkin bisa dilakukan, ketika diskusi REDD di Kecamatan Topos Fahrulazi, S Sos Kepala Dinas Kahutanan Kabupaten Lebong, menyatakan mencoba mengkomunikasikan hal ini dengan Badan Pertanahan sehingga masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari project REDD, ‘Kabupaten Lebong telah mendatangani kesepakatn dengan salah satu LSM Australian untuk Credit Carbon ini tentu saja berhubungan dengan Kabupaten Lebong sebagai Kabupaten Konservasi’ tambah Bapak Rozi.