“Mereka (kapitalisme) mengeruk kekayaan alam dengan menyingkirkan hak-hak masyarakat lokal, bukan dengan melanggar aturan, tetapi melalui (menggunakan) aturan.” — Chandra Irawan

Sebagai bagian untuk mempromosikan pendekatan Pluralisme Hukum di Provinsi Bengkulu, SPHR-Bengkulu bersama Rumah Literasi Yayasan Akar berinisiatif memfasilitasi serial diskusi. Diskusi pertama dilakukan pada Senin (27/01/2014) dengan tema Sentralisme Hukum dan Pengingkaran Hak-hak Masyarakat Lokal atas Kekayaan Alam; Telaah Naskah (Konten) Hukum. Diskusi dilakukan dengan mengundang Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Dr. Chandra Irawan, SH, MH sebagai narasumbernya. Berikut petikan-petikan materi diskusi tersebut.

Sentralisme hukum adalah paham hukum yang bersifat positivis dan legalistik, kata Chandra memulai diskusi. Menurut paham sentralisme, hukum yang sah adalah hukum yang tertulis (negara), bukan yang dituliskan. Sehingga, paham sentralisme hukum memposisikan hukum yang dimiliki masyarakat (karena tidak tertulis) pada level terendah. Akibatnya, hukum yang dimiliki masyarakat tidak diakui dan tidak digunakan untuk menyelesaikan masalah atau konflik dalam proses peradilan negara.

Misalnya sengketa lahan antara masyarakat adat dengan suatu perusahaan. Lazimnya, ungkap Chandra, putusan hakim akan mengalahkan masyarakat adat hanya karena masyarakat adat tidak memiliki sertifikat atas lahan yang didiami atau dikelolanya. Kendati pun lahan tersebut telah didiami dan dikelola masyarakat adat selama puluhan atau bahkan ratusan tahun.  “Sebab, dalam hukum negara, sertifikat merupakan bukti yang memiliki otentisitas yang paling kuat,” ujar Chandra.

Walau putusan hukum yang memenangkan perusahaan tersebut adalah sah, namun putusan hukum tersebut melukai rasa keadilan bagi masyarakat adat. Dengan kata lain, gagal mencapai keadilan substantif. Menyikapi hal tersebut, sejumlah ahli dan praktisi hukum pun berpendapat bahwa untuk menyelesaikan suatu sengketa atau kasus tidaklah mesti menggunakan hukum negara. Tetapi juga dapat menggunakan hukum yang dimiliki masyarakat agar mampu memberikan rasa keadilan.

“Hukum negara bukanlah satu-satu hukum yang ada, dan hukum negara cenderung tidak mampu memberikan keadilan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan di tingkat lokal. Oleh karena itu, penerapan pendekatan pluralisme hukum sangat dibutuhkan guna memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” kata Chandra.

Pintu Masuk dan Jalan Tol  

Chandra tidak memungkiri, sistem hukum Indonesia yang bersifat sentralisme telah menimbulkan malapetaka bagi masyarakat. Dalam konteks pengelolaan kekayaan alam, penerapan sentralisme hukum telah dimanfaatkan pihak asing dan perusahaan (kapitalisme) sebagai pintu masuk dan jalan tol untuk mengeruk kekayaan alam dengan menyingkirkan hak-hak masyarakat lokal. “Mereka (kapitalisme) mengeruk kekayaan alam dengan menyingkirkan hak-hak masyarakat lokal, bukan dengan melanggar aturan, tetapi melalui (menggunakan) aturan,” ujar Chandra.

Penyingkiran hak-hak masyarakat atas pengelolaan kekayaan alam dengan pembuatan aturan tersebut mulai terjadi pada masa Orde Baru. Penyingkiran tersebut juga dilakukan Orde Baru dengan dalih untuk kepentingan pembangunan nasional. Sehingga, siapapun yang melakukan penolakan akan diberi label sebagai penghambat pembangunan dan akan berhadapan dengan negara. “Ironisnya, negara pun tak segan-segan melakukan tindakan kekerasan kepada masyarakat demi melindungi kepentingan kapitalisme yang dikemas dengan jargon pembangunan nasional tersebut,” tutur Chandra.

Beragam Siasat

Bagaimana siasat pihak asing atau perusahaan (kapitalisme) melakukannya? Cukup beragam, lanjut Chandra. Pertama, menjadi pihak yang membuat draft atau rancangan aturan (undang-undang). Siasat ini dilakukan pihak asing atau perusahaan aga bisa memasukan pasal atau sejumlah pasal yang memuluskan dan melindungi kepentingan mereka. “Sebagaimana diketahui bahwa hasil kajian Badan Intelijen Negara (BIN) menyebutkan sebanyak 72 draft undang-undang di bidang ekonomi, ternyata dibuat oleh pihak asing,” ujar Chandra.

Siasat kedua adalah memfasilitasi kegiatan pelatihan, pendidikan dan lainnya atau disebut dengan istilah “pencangkokan” kepada para profesional di bidang hukum seperti akademisi, kepolisian, jaksa dan hakim. Untuk kalangan akademisi, Chandra bahkan mengaku pernah dilibatkan menjadi peserta salah satu kegiatan. “Kegiatannya dilakukan di hotel mewah, pematerinya didatangkan dari negara mereka. Kami juga dipersilakan membeli sebanyak-banyaknya buku di toko buku. Uang membeli buku tersebut diberi oleh penyelenggara kegiatan. Termasuk penginapan, transportasi dan lainnya, penyelenggara yang membiayainya,” kata Chandra.

“Pencangkokan” sengaja dilakukan agar para profesional hukum tersebut dapat memuluskan dan melindungi kepentingan pihak asing atau perusahaan dalam pembuatan aturan (UUD, UU dan lainnya). Siasat ini sengaja dilakukan karena mereka menyadari bahwa tidak semua draft aturan bisa mereka buat secara langsung. Sehingga, mereka membutuhkan kalangan yang membela kepentingan mereka.

Sebagai contoh, Chandra menyebutkan, dalam proses amandemen UUD 1945. Kepentingan kapitalisme disusupkan kalangan profesional yang mendukung kapitalisme dengan memasukkan satu diksi (kata) pada pasal 33, yakni “efisiensi”. Sebagaimana diketahui, efisiensi merupakan salah satu kata “sakti” dalam paham kapitalisme. Dengan kata tersebut (baca: efisiensi), kapitalisme bisa menyusup masuk. “Walau sempat mendapatkan penolakan dari kalangan profesional yang pro-rakyat, namun tetap saja kata efisiensi tersebut diakomodir atau dimasukkan dalam pasal tersebut,” ungkap Chandra.

Siasat lainnya, sambung Chandra, adalah menyogok atau menyuap oknum pejabat pemerintah dan Anggota DPR RI untuk menghilangkan atau menambah kata atau kalimat pada pasal dalam suatu rancangan aturan. “Makanya, istilah jual beli pasal lazim dikenal dalam pembuatan aturan. Siapa yang sanggup membeli? Tentu saja, pihak yang memiliki banyak uang, yakni kapitalisme,” ujar Chandra.

Harus Proaktif

Proses pembuatan aturan, ujar Chandra, haruslah bersifat terbuka. Selain harus diumumkan di media massa, pembuatannya juga harus dilakukan dengan menggelar konsultasi publik. Sebelum draf rancangan aturan diserahkan ke lembaga legislatif (DPR dan DPRD), para pembuat draft aturan (legal drafter) berkewajiban mengundang masyarakat untuk menyampaikan draft yang dibuat guna mendapatkan kritikan dan masukan terhadap naskah atau kontennya. Bila ada masukan yang disampaikan masyarakat, maka pembuat draft aturan harus mengakomodirnya dengan merevisi draft aturan tersebut.

Selanjutnya, revisian draft aturan harus dikonsultasikan kembali agar masyarakat menganggap draft aturan yang dibuat sudah melindungi kepentingan masyarakat. Kemudian, draft aturan disampaikan ke DPR atau DPRD untuk dibahas. Saat membahasnya, DPR atau DPRD juga harus terbuka dan menggelar konsultasi publik guna menjamin kepentingan masyarakat tetap dilindungi.

Sayangnya, baik proses pembuatan draf oleh kalangan profesional dan proses pembahasan draft aturan oleh DPR atau DPRD sering dilakukan secara tertutup. Ketertutupan ini dilakukan agar masyarakat tidak mengetahui adanya proses pembuatan aturan. Sehingga pembuat draft aturan bisa memasukan kepentingan pihak yang berada di belakangnya (misalnya kapitalisme) secara mulus.

Oleh karena itu, Chandra sangat menyarankan agar masyarakat bersikap proaktif. Caranya, mendatangi sektretariat DPR atau DPRD untuk menanyakan progam legislasi nasional (prolegnas) dan program legislasi daerah (prolegda). Setelah mengetahui apa saja aturan yang akan dibuat, masyarakat bisa mencari tahu tim pembuat draft aturan tersebut. Dengan demikian, masyarakat bisa meminta materi draft aturan untuk dikritisi dan bisa meminta tim pembuat draft untuk mengagendakan konsultasi publik.

“Begitu pula saat rancangan aturan sedang dibahas oleh DPR atau DPRD. Masyarakat punya hak untuk mendapatkan materi rancangan aturan tersebut dan meminta agar DPR atau DPRD mengagendakan waktu guna mendengarkan aspirasi masyarakat terkait rancangan aturan yang dibuat. Jadi, masyarakat harus proaktif guna menjamin hak-hak masyarakat tidak dipinggirkan. Termasuk, masyarakat juga bisa mengusulkan pembuatan aturan yang bertujuan melindungi hak-hak masyarakat,” kata Chandra. (**)

*Tulisan ini dibuat untuk membantu Sekolah Pendamping Hukum Rakyat – Bengkulu dan Rumah Literasi Yayasan Akar dalam upaya mendokumentasikan kegiatan.