Pluralisme hukum sebenarnya bukan gagasan baru, bukan pula materi yang baru diperdebatkan. Studi klasik menunjukkan pluralisme hukum di Indonesia telah menjadi debat panjang para akademisi, praktisi, dan aparat pemerintah sejak zaman Belanda. Namun perdebatan itu bukan hanya hidup di zaman ketika Belanda menerapkan politik adu domba, tetapi juga hidup hingga sekarang. Penyebabnya tak lain adalah realitas masyarakat Indonesia yang beragam dalam banyak hal. Mereka punya kelaziman-kelaziman dan tradisi turun temurun, punya hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain pembagian tanah dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan berbagai persoalan.

Disaat yang bersamaan, negara berusaha ‘memaksakan’ hukum nasional untuk diberlakukan ke seluruh masyarakat tanpa perbedaan perlakuan. Adakalanya hukum nasional yang ingin dipaksakan itu tak sesuai dengan kelaziman masyarakat. Maka, ketika hal itu terjadi, hukum negara yang tak sesuai dengan ‘hukum’ rakyat itu cenderung tak akan dipilih. Bukan mustahil masyarakat akan melawan (Untuk Apa Pluralisme Hukum? Editor : Myrna A. Safitri, hal. 28).

Kontradiksi yang terjadi cenderung melemahkan posisi rakyat sebagai subjek yang berdaulat. Realitas praktik hukum yang kontradiktif ini banyak terjadi di berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Khususnya, yang menyangkut pengelolaan kekayaan alam. Di lapangan agraria misalnya, hukum positif negara, termasuk konstitusi, berusaha mengakui eksistensi hukum adat. Tetapi dalam praktik, konflik agraria, konflik pertambangan, dan konflik kehutanan menunjukkan masyarakat adat tetap dalam posisi marjinal. Benturan-benturan yang terjadi di lapangan dalam pengalokasian tanah dan kekayaan alam akan selalu melahirkan konflik sosial dengan korban terbesar adalah masyarakat hukum adat (ibid, hal. 91).

Berdasarkan realitas dan beberapa alasan yang telah dikemukakan di awal, maka sangat perlu dilakukan pengembangan dan pematangan wacana pluralisme hukum melalui berbagai macam bentuk aktifitas yang terstruktur, sistematis, dan terukur, demi terwujudnya penegakan keadilan dan kedaulatan rakyat, khususnya dalam pengelolaan kekayaan alam Indonesia.

Akar, sebagai salah satu NGOs yang konsen terhadap pengembangan Hukum Rakyat, perlu mendorong penguatan wacana pluralisme hukum. Pengembangan wacana ini dimandatkan kepada unit program di bidang literasi yaitu Rumah Literasi “Mata Hati”. Rumah Literasi ini mempunyai sacred mission yaitu, terwujudnya generasi literat menuju masyarakat makmur-sejahtera yang kritis dan peduli. Oleh karena itu, Rumah Literasi “Mata Hati” Akar senantiasa berupaya merencanakan, menyusun, kemudian menjalankan aktifitas yang menunjang terwujudnya proses dan budaya literasi. Dalam hal ini, literasi yang dimaksud adalah meningkatkan kemampuan individu atau kelompok dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Untuk menunjang dan mendukung percepatan pencapaian proses tersebut, salah satu aktifitas yang telah disusun dan diagendakan secara berkala oleh Rumah Literasi adalah pelaksanaan “Bedah Buku” dan Diskusi Focus tematik.

Dari 3 (tiga) kali diskusi formal yang telah dilakukan oleh Sekolah Pendamping Hukum Rakyat – Bengkulu (SPHR–B) dan difasilitasi unit Program Rumah Literasi “Mata Hati” yang mengangkat tema pluralisme hukum, terungkap fakta yang cukup mengejutkan bahwa pluralisme hukum masih menjadi “benda asing” di kalangan akademisi hukum, mahasiswa hukum, dan penggiat sosial lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya argumentasi yang jelas dari para akademisi hukum dan peserta diskusi tersebut mengenai pluralisme hukum. Artinya, belum ada persepsi dan pemahaman yang jelas mengenai pluralisme hukum. Berdasarkan fakta tersebut, kemudian ditambah pula dengan diskusi-diskusi informal diantara rekan-rekan di Akar, maka Rumah Literasi Akar menyimpulkan bahwa wacana pluralisme hukum benar-benar harus dikembangkan dan dipopulerkan secara serius, khususnya di Bengkulu.

Salah satu agenda penting yang akan dilaksanakan dalam mendukung penguatan wacana Pluralisme Hukum, maka akan membedah buku “Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin” serta diskusi fokus tentang Pembelajaran terbaik praktek-praktek Pluralisme Hukum, kegiatan ini bekerja sama dengan HuMA dan Pasca Sarjana Universitas Bengkulu.