Oleh Pramasty Ayu Kusdinar

Tanggal 14 paruh pekan ke tiga bulan Desember bersama beberapa teman dari Akar Fundation menjajaki bumi Se’ase Seijean, Kabupaten Kaur. Dari Kota Bengkulu, ibu Kota Provinsi Bengkulu, bumi Se’ase Seijean berjarak kurang lebih 212 Km dengan waktu tempuh 4,5 jam itupun kalau dengan kecepatan rata-rata 80km/jam. Saya sangat menikmati perjalanan pada seperempat waktu malam yang menyisir pesisir Barat Pulau Sumatera. Perjalanan ini terasa kentara dengan kebiasaan kami ketika bertahun-tahun menikam pegunungan dan perbukitan dataran timur Bengkulu. Sayapun tetap focus dan terjaga menikmati setiap momen sepanjang perjalanan.

Selama perjalanan terasa lebih tenang, jalan raya lintas Barat Sumatera relative sepi dan berlajur lurus memajang sepanjang ditepi garis pantai. Tidak banyak yang kami lalui jalan menikung dan terjal. Di setengah perjalanan, sayapun baru menyadari bahwa sepanjang jalan banyak sekali bangunan jembatan penghubung sebagai pembatas Desa. Batas antar desa di batasi oleh aliran sungai yang bermuara di Pantai Barat Sumatera, Samudra Hindia. Saya mencatat setidaknya terdapat 72 jembatan. Jumlah  yang cukup banyak, terlebih jarak antar jembatan saling berdekatan dan terdapat 2 jembatan yang panjangnya 3 kali lipat dari jembatan lainnya. Jembatan paling panjang ini merupakan jalur penghubung dan penyebrangan antar daratan yang terpisah oleh muara sungai besar yakni Sungai Ngingitan dan Sungai Padang Guci.  Jam 24,36 WIB, pucak perjalanan membawa kami menginjak Bumi Se’ase Seijean, gemuruh ombak dan sepoi angin laut mengantar kami menikmati mimpi-mimpi malam. Pagi jam 05.00 WIB, pangilan azan subuh dan angin pagi membangunkan saya. Ketika pintu bagian belakang rumah di buka, rumah yang menampung mimpi-mimpi malam ini berhadapan langsung dengan laut lepas, menghadap Samudra Hindia.
Anak Tuhan
Bintuhan. Disinilah selama 3 hari saya merekam penghidupan nelayan tradisional pelestari budaya menangkap Gurita. Bintuhan adalah ibu kota Kabupaten Kaur. Sebagai pusat Ibu Kota Kabupaten, Bintuhan dijadikan sebagai pusat Pemerintahan yang di dukung oleh inprastruktur pelayanan dan inprastruktur social lainnya. Sebelum kemerdekaan, Kaur adalah kesatuan pemerintahan adminsitratif merupakan pusat kewedanaan Kaur. Sedangkan nama yang sekarang menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten diinterpretasikan oleh masyarakatnya sebagai kota Titipan Tuhan atau Anak Tuhan. Sebagian berpendapat Bituhan berasal dari kata Bin’tuan dari nama penyakit Bintuk atau pilek yang pernah mewabah masyarakatnya.
Bintuhan atau Kaur, posisi georafisnya berada di ujung Selatan Bengkulu berbatasan dengan Propinsi Lampung. Tapi menariknya, ketika kita menelusuri Bintuhan dan Kaur dalam Google’s Map, lokasi Bintuhan dan Kaur berada di daerah Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu bagan Utara. Menurut informasi dari salah seorang teman, orang-orang Bintuhan pernah membuat petalangan di Bengkulu Utara yang kemungkinan saat ini telah menjadi kampong atau desa. Bisa jadi kondisi historis ini membuat kacau navigasi Google’s Map.
Secara visual Bituhan tampak lebih ramai jika dibanding dengan desa-desa yang saya kunjungi selama 3 hari berada di Kaur. Tetapi aktivitas keseharian masyarakatnya sebagai masyarakat pesisir sebagi nelayan sulit untuk di rekam, karena pemukiman masyarakatnya membelakangi pantai dan langsung berhadapan dengan ombak Samudra Hindia. Sehingga, tidak tampak aktifitas masyarakatnya sebagai nelayan atau memiliki usaha yang berkaitan dengan sumber daya pesisir. Namun demikian kami tetap memilih Bintuhan sebagai basecamp sementara, posisinya cukup strategis berada di tengah antara Desa Linau-Merpas dan Sekunyit-Pangubaian yang hanya membutuhkan waktu maksimal 30 menit untuk sampai ke desa-desa tersebut.
Desa Pangubaian
Desa Pangubaian adalah salah satu desa yang secara administrative berada di Kecamatan Kaur Selatan. Desa yang di definitive di tahun 2003 ini merupakan desa pemekaran dari Desa Sekunyit. Dalam Peraturan Bupati Kaur No. 92 Tahun 2018, desa Pangubaian ini memiliki luas wilayah 173,42 Ha (hektar) dengan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara              : Samudera Indonesia dan Desa Sekunyit Kec. Kaur Selatan
Sebelah Tmur              : Desa Sekunyit dan Desa Bandung Kec. Kaur Selatan
Sebelah Barat              : Samudera Indonesia
Sebelah Selatan           : Samudera Indonesia dan desa Pahlawan Ratu Kec. Kaur Selatan
Dari 173,42  ha luas wilayah Desa Pangubaian, sekitar ± 80 ha merupakan kebun kelapa, 2,5 Ha tambak udang dan sisanya adalah wilayah tangkap nelayan dan pemukiman. Jika dilihat dari pendekatan spasial, mata pencarian masyarakat Desa tidak sepenuhnya bergantung pada hasil laut untuk pemenuhan kebutuhan penghidupanya. Dari hasil wawancara saya dengan Bapak Salihan, penduduk Desa Pangubaian berjumlah 93 Kepala Keluarga, hanya 10 KK yang masih menekuni profesi sebagai nelayan. 2 orang diantaranya adalah nelayan tradisional yang menggunakan sampan dayung dan 8 orang lainnya nelayan lokal menggunakan mesin tempel 15 PK sebagai sarana dalam menangkap ikan atau gurita. Penduduk lainnya, menggantungkan hidupnya dari hasil jerih payah menjadi buruh panjat pemetik kelapa di kebun-kebun warga, sisanya bekerja sebagai buruh tambak udang, tukang bangunan dan 7 orang PNS.
Secara kasat mata kondisi air laut dan terumbu karang di Desa Pangubaian masih terlihat bagus, tapi sebenarnya perkembangan ekosistem terumbu karang dan kuantitas serta kualitas ikannya mengalami penurunan. Diceritakan Ibu Ratna, terumbu karang yang terlihat saat ini sudah cukup membaik, karena tambak udang yang berada kurang dari 40 meter dari kediaman Bapak Salihan sudah berhenti beroprasional sekitar setahun yang lalu. Tambak udang menjadi factor utama kerusakan karang dan biota laut, selain sebagai factor rusaknya ekosistem laut dan karang, tambak udang illegal yang telah beroperasi selama 3 tahun ini telah ditutup paksa oleh Pemerintahan Kaur karena tidak memiliki syarat izin yang lengkap.
Kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh aktvitas tambak udang di kuatkan oleh keterangan Bapak Idris, yang sehari-hari sebagai buruh pemetik buah kelapa. Tambak udang yang baru mulai beroperasi menimbulkan aroma dan bau yang sangat tidak sedap, aroma tidak sedap menyebar penjuru desa. Selain aroma yang menyebar, limbah-limbah tambak udang dibuang ke laut. Limbah ini menyebabkan rusaknya ekosistem laut, terumbu karang menjadi rusak,  rapuh seperti debu, debu-debu yang menyebar di sepanjang karang menyebabkan ikan dan biota laut mati.
Kerusakan terumbu karang di Desa Pangubaian bisa berdampak meluas, karena secara topografi memiliki satu garis pantai yang memanjang kearah Barat menuju perbatasan Provinsi Lampung. Jarak antara garis pantai dengan pemukiman penduduk, kebun kelapa dan tambak udang hanya berkisar 20-50 meter. Sepanjang pesisir perairan desa hampir seluruhnya terdapat ekosistem terumbu karang yang masuk dalam tipe terumbu karang tepi (fringing reef) yang di ikat dengan warna pasir pantai cenderung berwarna putih-kuning kemerahan.
Mungkin karena itulah di dalam Peraturan Bupati Kabupaten Kaur Nomor 180 Tahun 2007 tentang Konservasi Laut Daerah memasukan daerah tangkap nelayan di desa Pangubaian sebagai salah satu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Luas total KKLD dalam Peraturan Bupati ini seluas 50,308,39 Ha di jadilakan sebagai Kawasan Konservasi Laut yang membentang dari daerah tangkap nelayan desa Sekunyit, Linau hingga Merpas. Kawasan konservasi yang dimaksud diperuntukan untuk pengelolaan kawasan perairan dan pemanfaatan sumber daya laut dengan prinsip keserasian dan kesimbangan serta berwawasan lingkungan.
Selain potensi ikan dan komponen biotik penyusun ekosistem terumbu karangnya, terdapat komponen abiotic lainnya seperti karang mati, pasir dan pecahan kerang juga dapat ditemukan dipinggiran pantai Pangubayan. Sehingga, pencemaran dan kerusakan terumbu karang yang terjadi berdampak pada wilayah tangkap nelayan. Di tutur oleh Salihan, akibat kerusakan ekosistem karang, para nelayan terpaksa memperluas menjelajah ke wilayah tangkap yang relatif jauh. Untuk sampai di wilayah tangkap yang jauh para nelayan membutuhkan modal lebih besar untuk menjangkau wilayah tersebut. Akibatnya kebutuhan yang mahal, beberapa masyarakat yang dulu berprofesi sebagai nelayan memilih mengubah profesinya sebagai buruh tambak, buruh panjat kelapa dan tukang bangunan untuk bertahan hidup.
Kondisi Nelayan Pangubaian
Di Desa Pengubaian jika pembagian kelas masyarakat nelayan dilakukan berdasarkan alat tangkap yang digunakan oleh masing-masing nelayan, maka struktur social masyarakat nelayan terbagi menjadi tiga kelas. Kelas pertama adalah buruh nelayan, adalah nelayan yang tidak memiliki perahu untuk berlayar, untuk melakukan aktivitas nelayan kelas ini  bekerja dengan para nelayan pemilik modal atau pemilik kapal sampan tempel. Sehingga mereka hanya bekerja sebagai Anak Buah Kapal atau ABK, ikut berlayar bertugas hanya untuk menangkap ikan. Buruh nelayan atau ABK biasanya diupah dengan cara bagi hasil dari hasil tangkapan ikan. Pembagiannya 60 untuk pemilik dan 40 untuk bagian buruh yang ikut berlayar. Tapi jika hasil tangkapan bagus dan ikan yang ditangkap bisa diekspor atau jenis-jenis ikan untuk kebutuhan dan kualitas ekspors, biasanya para buruh ini dibayar dengan uang sejumlah Rp 70.000 – Rp 100.000 perorang perhari.
Bagi perempuan, mereka beraktifitas sebagai buruh nelayan hanya membantu menepikan perahu ke pantai dengan cara mendorong dan menarik perahu yang pulang melaut. Biasanya buruh perempuan, yang sebagian besarnya adalah ibu rumah tangga mendapatkan upah beberapa ikan. Ikan-ikan hanya di konsumsi untuk kebutuhan pangan keluarga. Ketika tangkapan nelayan lebih banyak, jumlah yang diperoleh biasanya lebih banyak dan akan  melebihi kebutuhan konsumsi harian rumah tangga, kelebihan ikan-ikan akan di jual kepada konsumen atau di warung-warung sekitar desa.
Kelas kedua adalah nelayan tradisional. Kelas nelayan tradional umumnya memiliki sampan dayung berukuran 1-2 meter hanya cukup di tumpangi oleh satu orang nelayan. Alat tangkap yang digunakan berupa tombak dari kayu yang ujungnya disematkan pisau, alat pancing gurita berbetuk tiruan kepiting dan alat selam untuk menangkap gurita serta stick pancing dari bamboo atau karbon yang digunakan untuk memancing ikan disekitar terumbu karang. Ketika mereka sampai di 2-4 mil laut, biasanya menggunakan alat tangkap jaring untuk menangkap semua jenis ikan perairan dangkal.
Kelas ketiga adalah nelayan modern yang disebut sebagai “nelayan pemilik”. Mereka memiliki asset berupa perahu dengan ukuran 7-9 meter dengan mesin temple 15 PK, Uang yang cukup untuk melaut, uang ini biasanya dialokasikan untuk kebutuhan bahan bakar solar minimal 20 liter untuk menggerakan mesin tempel 15 PK, untuk perawatan kapal dan modal untuk membayar jasa tenaga buruh nelayan. Selain asset dan modal, nelayan pemilik membangun relasi yang saling terikat dengan buruh nelayan. Nelayan kelas tiga biasanya menjadi nahkoda dan membawa 1 orang buruh nelayan sebagai menangkap ikan. Alat tangkap yang digunakan berupa jaring berukuran 4,5 Inch dengan nomor benang 35mm. Tenaga buruh sekali melaut biasanya di kasih upah senilai Rp 70.000-Rp 100.000/orang dan ada juga yang melakukan praktek bagi hasil tangkap masing-masing 70:30,  jika kapal yang digunakan bukan kapal milik pribadi, maka hasil tangkap dibagi lagi untuk pemiliki kapal, nahkoda kapal dan ABK.
Modernisasi alat tangkap menimbulkan bentuk kapitalisasi perikanan, bentuk-bentuk ini bisa dilihat dengan kebutuhan peningkatan penggunaan berbagai alat tangkap baru yang membutuhkan modal dan mengakibatkan peningkatan terhadap pengeluaran rumah tangga nelayan. Bapak Salihan, adalah satu dari 2 orang penduduk desa Pangubaian yang masih menggunakan alat-alat tradisional untuk menangkap ikan dan Gurita. Ia masih bertahan sebagai nelayan tradisional dan tidak harus mengeluarkan modal ke laut seperti nelayan modern pada umumnya. Jika dilihat dari pola pembagian kelas nelayan di atas, kelas nelayan tradisional-lah yang kondisi kehidupannya paling “aman” dibanding kelas nelayan lainnya. Pertama, karena alat yang digunakan masih sederhana dan kedua karna pola memancing untuk subsistensi.
Pengetahuan tentang Pelayaran
Nelayan tradisional umumnya memiliki pengetahuan tentang pelayaran dan penangkapan ikan dengan berpedoman pada tanda alam yang ada di laut seperti gelombang, arah angin dan pola arus. Begitu juga tada-tanda ala seperti gunung, tanjung, burung, jenis tanaman tertentu menadi tanda untuk melaut. Semua tanda-tanda alam oleh para nelayan dijadikannya sebagai petunjuk atau pedoman dalam menetukan posisi dan arah perahu disaat sedang berlayar atau berada di laut, agar pelayaran tetap stabil dan terhindar dari gangguan yang dapat mengakibatkan hal-hal terburuk.
Berdasarkan tutur Salihan dan Istrinya, pertanda alam yang masih dipercayai oleh masyarakat desa Pangubaian secara turun temurun yakni bunga Kecombrang. Jika Bunga Kecombrang dihutan sedang mekar menandakan musim gurita telah tiba. Selain itu, jika banyak petani yang mulai turun ke sawah, maka para nelayan akan beristirahat melaut, sebab hal itu pertanda bahwa musim hujan tiba.
Selain bergantung dengan tanda-tanda alam, nelayan tradisional Pangubaian sangat tergantung pada perhitungan bulan saat melaut. Jadwal bulan yang baik untuk melaut adalah bulan 15 atau bulan penuh. Bulan 15 biasaya berada di setiap pertengahan bulan di mana posisi bulan berada dalam satu garis lurus dengan matahari dan bumi. Bulan 15 atau biasaya dikenal dengan istilah bulan mati mengakibatkan cahaya bulan tidak sampai dipermukaan bumi, mengakibatkan kondisi daratan dan lautan menjadi gelap. Kondisi gelap inilah ikan-ikan nocturnal (yang bergerak mencari makan pada malam hari) muncul dan menyebar mencari makan. Sebaliknya, jika bulan purnama tiba, kebanyakan nelayan istirahat melaut karena cahaya terlalu terang akan mengganggu aktifitas makan ikan dan membuat ikan harus sembunyi atau bermigrasi menghindari cahaya bulan terang.
Selain posisi bulan, arah angin juga berdampak pada system navigasi pelayaran nelayan. Menurut Salihan, ada 3 musim angin yang menjadi pedoman nelayan dalam melaut, pertama, angin Selatan yang mulai pada akhir bulan Agustus. Kedua, Angin Barat yang ditandai dengan masuknya musim hujan atau musim turun sawah. Ketiga, Angin Tenggara yakni musim ikan terbaik yang biasanya mulai dari bulan November hingga April. Angin tenggara disebut juga sebagai angin dari bukit atau angin subuh. Pada musim angin tenggara, biasanya masyarakat mulai melaut sejak pukul 03.00 pagi. Angin tenggara sangat menguntungkan nelayan, angin Tenggara akan mendorong perahu layer para nelayan kearah laut ketika malam hari, dan membawanya kembali kedaratan ketika hari beranjak pagi. Dan, siang hari, air laut mengalami pasang surut atau dalam bahasa lokal masyarakat setempat Langat.
Air laut yang sedang dalam kondisi Langat biasanya terjadi pada pukul 12.00 – 14.00. Air Langat membuat karang-karang dilaut tampak jelas terlihat yang membentang dari bibir pantai ke arah laut sekitar ± 400-500 meter. Kondisi air Langat biasanya dimanfaatkan oleh nelayan tradisional untuk memancing gurita digaris pemecah ombak.
Jenis Ikan Tangkap
Nelayan di desa Pangubaian biasanya menangkap ikan jenis bledang atau layur, tongkol, tuna, tenggiri dan kerapu. Keberadaan jenis-jenis ikan tersebut tergantung dengan musim angin. Sedangkan gurita, nelayan bisa memancingnya setiap hari dengan rata-rata penghasilan 15 kg/hari.  Harga gurita tertinggi yang pernah ada ditempat pelelangan ikan di desa sekitaran Kaur adalah Rp 60.000/kg. Sedangkan harga normal gurita mencapai Rp 35.000 – Rp 40.000/kg, dan harga terendah gurita berada di Rp 25.000/kg. Nelayan desa Pangubaian biasanya menjual ikan dan gurita basah ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di pelabuhan desa Sekunyit.
Harga jual ikan di desa Pangubaian dan Sekunyit lebih tinggi dari daerah lain. Disebabkan ikan-ikan yang diperoleh nelayan merupakan ikan-ikan yang hidup disekitar terumbu karang dengan kondisi lingkunganya masih baik dan masih dipancing dengan pola-pola yang ramah lingkungan. Selain itu, mereka juga biasa memancing kedaerah-daerah yang banyak karang, yakni dari daerah tangkap desa Pangubaian-Sekunyit ke arah timur menuju Kabupaten Bengkulu Selatan. Berikut daftar ikan yang paling sering ditangkap oleh nelayan desa Pangubaian;
 

No.Jenis IkanHarga (Rp)/kilo
1Tenggiri40.000 – 70.000
2Layur/Beledang40.000
3Gebur50.000
4Kerapu60.000 – 100.000
5Gurita40.000 – 60.000