Oleh Meike Indah Erlina


Sejak memasuki tahun 2020, masyarakat secara global disambut “kemeriahan” yakni wabah COVID-19 (Corona Virus Disease – Tahun 2019) yang awal mulanya merebak di negara tirai bambu, China. Tercatat, per 23 April 2020 terdapat 2.627.630 jiwa secara global yang positif terinfeksi COVID-19, secara spesifik di Indonesia terdapat 7.775 jiwa.[1] Wabah ini tidak bisa dianggap remeh, selain penularannya yang cepat, angka kematiannya pun tinggi. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pasien yang terinfeksi, tetapi juga masyarakat secara luas.
 

 
 
Wabah penyakit ekstrim ini mengharuskan pemerintah mengambil tindakan yang kontroversial karena terdapat pro dan kontra dari berbagai pihak. Pada mulanya pemerintah Indonesia dianggap abai terhadap peringatan – peringatan dari berbagai pihak dalam menanggapi wabah COVID-19 ini. Selanjutnya pemerintah dianggap lalai karena pertama yakni, pasca dipulangkannya warga Indonesia dari lokasi pertama kasus COVID-19, China, pemerintah seolah berpuas diri karena setelah 14 hari dikarantina tidak ditemukan pasien positif. Kedua yakni pasca ditemukannya kasus pertama di Indonesia yakni provinsi Bali, pemerintah lamban melakukan tindakan pencegahan.
Pengabaian dan kelalaian tersebut berujung pada dilema bagi pemerintah untuk mengambil tindakan antara lockdown, karantina, social distancing hingga pembatasan sosial skala besar saat semakin meningkatnya pasien positif bahkan meninggal akibat COVID-19. Sementara di sisi lain, masyarakat kalangan menengah ke bawah menghadapi guncangan sosial ekonomi yang tak terhindarkan akibat dilema dan lamban nya tindakan pemerintah tersebut. Pada akhirnya pemerintah menyatakan bahwa Indonesia dalam status “Darurat Kesehatan”, dan untuk menghadapi situasi ini diberlakukanlah kebijakan berdasarkan otonomi pemerintah daerah masing – masing. Sedangkan untuk mengatasi persoalan ekonomi yang ditimbulkan dari keputusan social distancing maupun PSBB (Pembatasan Sosial Skala Besar) terhadap masyarakat, utamanya berimbas pada pendapatan masyarakat, pemerintah memberikan sejumlah paket bantuan berupa sembako, kartu prakerja, keringanan biaya listrik, air, kemudahan angsuran pinjaman bagi UMKM, dll. Pemerintah disinyalir gagap mengambil tindakan. Dikatakan demikian karena pemberian jaminan sosial dan perlindungan sosial diberlakukan dalam situasi yang kurang tepat sehingga tidak menyentuh pokok persoalan, masih diskriminatif, bernuansa politis, sarat kepentingan hingga berpotensi memunculkan konflik baik horizontal maupun vertikal.
Konsepsi jaminan sosial dan perlindungan sosial telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaran Kesejahteraan sosial. Jaminan sosial dan perlindungan sosial merupakan bentuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang termaktub dalam BAB I Tentang Ketentuan Umum Ayat 1 yang berbunyi “Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.”
Jaminan sosial dalam BAB I Tentang Ketentuan Umum Ayat 6 mengandung pengertian yakni skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Secara detail dibahas dalam BAB III Tentang Jaminan Sosial Pasal 10 ayat 1 yang berbunyi “Jaminan sosial dimaksudkan untuk menjamin; a. fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi; b. menghargai pejuang, perintis kemerdekaan, dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya. Pada pasal 10 ayat 2 “Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan. Pada pasal 10 ayat 3 “Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b diberikan dalam bentuk tunjangan berkelanjutan.
Sedangkan perlindungan sosial sebagaimana yang dijelaskan pada BAB I Tentang ketentuan Umum ayat 4 berbunyi “perlindungan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.” Secara detail dibahas dalam BAB V Pasal 28 ayat 1 perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Dalam pasal 28 ayat 2 “perlindungan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditujukan kepada seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang berada dalam keadaan tidak stabil yang terjadi secara tiba-tiba sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan fenomena alam.”
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, penting dilakukan diskusi untuk mendedah konsepsi perlindungan sosial yang dianut dan diimplementasikan oleh negara dalam hal ini pemerintah untuk memenuhi hak–hak warga negara berdasarkan amanat Undang – undang yang berlaku di Indonesia serta ingin melihat ketahanan dan inisiatif–inisiatif yang muncul di masyarakat dalam menghadapi pandemic COVID-19.
[1] https://m.cnnindonesia.com/nasional/2002423115426-20-496461/update-corona-23-april-7775-positif-647-meninggal, diakses pada kamis, 23 April 2020.
Selanjutnya bisa di ikuti di Diskusi Tematik #1 Perlindungan Sosial di Masa Pandemi COVID-19