Kasus perampasan tanah yang belum lama ini terjadi pada masyarakat Trans Sengkuang di 8 desa[1] Kecamatan Kabawetan, Kabupaten Kepahiang Bengkulu menjadi polemik yang sangat memprihatinkan.  Konflik tersebut disinyalir terjadi akibat tumpang tindih lahan kelola masyarakat dengan negara atau para pemangku kawasan. Hal ini kemudian berdampak pada tindakan represif yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pemangku Kawasan terhadap masyarakat. Masyarakat trans Sengkuang tersebut, dituduh sebagai perambah karena berkebun di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba di Kabupaten Kepahiang.

Menurut laporan Ombudsman RI Perwakilan Bengkulu pada 01 November 2016, polemik tersebut dimulai pada tahun 2007 ketika pihak BKSDA Kabupaten Kepahiang memberikan himbauan kepada masyarakat di 8 desa tersebut untuk tidak lagi berkebun di kawasan TWA. Himbauan ini diikuti dengan maraknya aksi kejar-kejaran antara masyarakat dan polisi kehutanan. Kemudian puncak polemik terjadi pada tahun 2011 dengan pengusiran besar-besaran kepada masyarakat yang berkebun di kawasan TWA, akibatnya 5 (lima) orang warga ditangkap hingga di penjara dengan tuduhan sebagai perambah. Dan pada tahun 2016, masyarakat menjadi semakin resah dengan dikeluarkannya Surat Edaran dari Kecamatan Kabawetan No 158/KBWT/IX/2016 perihal himbauan kepada masyarakat untuk tidak menerima/membeli hasil pertanian/perkebunan dari hutan.

Konflik yang belum lama terjadi di bulan Februari 2017 lalu di Desa Bandung Jaya yakni, terdapat satu orang warga yang ditahan oleh pihak aparat karena dituduh perambah. Dan pasca kejadian ini, masyarakat 8 desa melakukan protes, hingga akhirnya warga yang ditangkap hanya dapat ditahan di Polsek Kabawetan selama 3 hari.

Berdasarkan catatan sejarah, pola konflik tanah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan para pemegang konsesi (yang didukung oleh pemerintah) mengenai penguasaan atas tanah yang tampak dari kondisi konflik diatas; yakni masalah hak akses, hak pemanfaatan dan hak pengelolaan. Dan konflik tanah tersebut menjadi pokok permasalahan utama sejak masuknya sistem perusahaan perkebunan (onderneming) di Kabupaten Kepahiang pada 1908. Serta meningkatnya proses eksplotasi dan investasi modal pengusaha, konflik tersebut terus terjadi secara periodik hingga kini di masyarakat.

***

Jauh sebelum tanah objek transmigrasi tersebut dikelola oleh pemerintahan Desa, wilayah yang saat ini didiami oleh masyarakat 8 (Delapan) Desa tersebut merupakan tanah kekuasaan miliki Margo Bermani Ilir, yakni kesatuan kelembagaan masyarakat hukum adat Rejang yang mengatur lembaga, wilayah, masyarakat, serta hukum adat Rejang yang terdapat didalamnya. Sistem pengeloloaan tanah pada pemerintahan margo ini dilakukan dengan mengambil control penuh terhadap tanah-tanah yang dikelola oleh masyarakat. Artinya setiap masyarakat yang melakukan usaha terhadap tanahnya, harus memiliki izin dari pesirah[2].  Dan pesirah memiliki wewenang terhadap tanah-tanah yang disewa oleh para partikelir dan penjajah dengan cara memungut pajak atau upeti.
Pada tahun 1854, para kolonis Belanda mulai melakukan ekspansi imperialisme dan wilayah koloni-nya hingga ke pelosok-pelosok Bengkulu. Saat itu, Kabupaten Kepahiang, khususnya Kabawetan menjadi salah satu daerah pusat kolonialisasi alternatif pertama di Bengkulu dengan mendatangkan orang Jawa dan Sunda. Pada tahun 1908, Belanda membuka lahan perkebunan kopi dan kemudian melakukan ekspansi besar-besaran dengan membangun perkebunan kopi dan teh. Perkebunan ini awalnya bernama N.V Land Bovus Maatschaapy yang pada 1925 berkantor pusat di Sumatera Selatan.

Akibat dari di bukanya usaha perkebunan ini, maka dari tahun 1908 hingga 1919 Belanda mengangkut kuli kontrak dari Jawa Barat atau masyarakat Sunda untuk menjadi tenaga kerja di daerah perkebunan tersebut. Semakin lama, perkebunan milik Belanda tersebut semakin meluas, oleh karenanya Belanda kembali mengangkut kuli kontrak dari masyarakat Jawa pada tahun 1930-1940.

Namun pada detik-detik menuju kemerdekaan, yakni pada tahun 1942 perkebunan milik Belanda ini terbengkalai akibat kondisi politik hindia belanda yang saat itu tengah mengalami kegentingan. Hingga pada tahun 1950 perkebunan tersebut jatuh ditangan Pemerintah Indonesia. Hanya saja, pemerintahan Indonesia saat itu belum langsung mengurus persoalan perkebunan. Pasca tahun 1950 dan sebelum digalak-kan-nya kebijakan landreform, presiden Soekarno melanjutkan program transmigrasi pertama pada tahun 1954 dan program transmigrasi kedua pada tahun 1955 ke wilayah Sumatera bagian selatan, dan termasuk di Kepahiang.

Program transmigrasi umum tersebut menjadi program transmigrasi pertama yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno di rezim orde lama. Peserta yang saat itu terdaftar sebagai masyarakat transmigran berasal dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur berjumlah ±600 kepala keluarga, mereka ini kemudian dikelompokkan menjadi 12 kelompok.[3]  Saat itu, peserta transmigrasi tersebut di tempatkan di objek transmigrasi BENGKO, Kecamatan Kepahiang, Kabupaten R/Lebong melalui serah terima lahan untuk dikelola oleh peserta secara resmi antara Dewan Marga Bermani kepada Djewatan Transmigrasi.[4]

Disinilah awal mula konflik pertanahan masyarakat dengan negara. Tanah yang dikelola masyarakat transmigrasi tersebut adalah tanah miliki margo, namun juga merupakan tanah konsesi perkebunan miliki Pemerintah Hindia-Belanda. Pasca kemerdekaan, perkebunan tersebut diambil alih pemerintah Indonesia, hingga pada tahun 1965 dikelola oleh PT Trisula Ujung Mega Surya.  Kemudian Pemerintah Daerah Tingkat I Bengkulu mengambil alih perkebunan pada 1975-1979 bersama dengan PT Kabawetan. Dan pada tahun 1980, perkebunan ini di sewakan pada PTPN XXIII dengan luas lahan keseluruhan 1.911,7 hektar. Masa sewa perkebunan tersebut berakhir pada tahun 1988, sehingga pada tahun 1989 perkebunan tersebut diambil alih oleh Perusahaan Swasta yakni PT Kepahiang Indah dengan menambah luas lahan perkebunan hingga mencapai total 3.500 Ha. PT Kepahiang Indah ini membuka usaha perkebunan teh dan kopi yang tersebar di 2 Kabupaten, yakni Kabupaten Rejang Lebong tepatnya di Kecamatan Padang Ulak Tanding dan Kabupaten Kepahiang di Kecamatan Kabawetan. Total luas wilayah tersebut meliputi 1.000 ha di Kabupaten Rejang Lebong dan 1.500 ha di Kabupaten Kepahiang. Menurut masyarakat setempat, wilayah perkebunan ini masuk dalam wilayah kelola masyarakat.

Selain tumpang tindih dengan kawasan konsensi tersebut, wilayah kelola masyarakat ini juga tumpang tindih dengan kawasan hutan negara. Pertama, wilayah kelola masyarakat tersebut diklaim masuk dalam kawasan Hutan Lindung Bukit melalui Surat Penunjukan R.B No. 4 tanggal 8 September 1962. Kedua, menurut SK Menteri Kehutanan No. 166/Kpts-II/86 tanggal 29 Mei 1986 tentang perubahan status Hutan Lindung Bukit Kaba menjadi Taman Wisata Alam (TWA) CQ Taman Wisata dengan luas ± 13.490 ha. Pada tahun 2012 melalui Keputusan Mentri Kehutanan No SK.784/Men-Hut-II/2012 tanggal 27 desember 2012 pemerintah melakukan penunjukan terhadap kawasan TWA Bukit Kaba. Dan Penetapan Kawasan Hutan TWA Bukit Kaba seluas 14.650,51 Ha ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2014 melalui surat keputusan mentri kehutanan No SK. 3.981/Men-Hut-VII.KUH/2014.

Pada dasarnya permasalahan kawasan hutan bukan terletak kepada sumberdaya yang ada didalam hutan, tetapi lebih kepada masalah tenurial, tempat dimana hutan itu tumbuh dan berada. Pada kenyataannya yang disebut dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu (termasuk tanah) beserta dengan sumberdaya yang ada didalamnya. Tanah menjadi subyek penting yang sering menjadi sumber dasar konflik diantara pemangku kepentingan, diantaranya antar departemen dan instansi pemerintah, antar pemerintah pusat dan daerah, antar masyarakat lokal dengan pemerintah dan antar masyarakat lokal dengan perusahaan pemegang konsesi yang diberikan oleh pemerintah.

Menurut tipologi konflik tenurial kehutanan (Safitri et al, 2011), konflik tanah yang terjadi di daerah Sengkuang tersebut adalah konflik antara masyarakat Transmigran vs Kemenhut Vs Pemerintah Daerah vs BPN yang terjadi karena program transmigrasi yang dilakukan dikawasan hutan. Upaya pemerintah untuk menyelesaikan konflik diatas belum terlihat jelas. Untuk kasus tumpang tindih dengan kawasan eks HGU PT Kepahiang Indah, maka pemerintah daerah Kabupaten Kepahiang mengeluarkan Keputusan Bupati Kepahiang Nomor 185 Tahun 2008 tentang Pengaturan Penguasaan dan Penggunaan Tanah terhadap Tanah Bekas HGU atas Nama PT Kepahiang Indah Terlantar Seluas 1500 Hektar.  Namun upaya ini tidak memberikan dampak apapun terhadap tunggakan konflik yang terjadi pada masyarakat 8 desa daerah Sengkuang. Subjek pengelola tanah dan objek tanah yang akan didistribusikan tidak disebutkan pengaturannya dalam keputusan tersebut. Padahal beberapa lahan masyarakat Sengkuang berada dalam kawasan eks HGU Kepahiang Indah. [5]

Karena pemeritah daerah tidak merespon konflik yang hingga saat ini menjadi polemik di masyarakat, maka masyarakat melayangkan pengaduannya kepada Ombudsman RI Perwakilan Bengkulu pada November 2016. Dan pada tanggal 10 Februari 2017, pihak Ombudsman meminta Akar Foundation menjadi Narasumber dalam penyelesaian laporan masyarakat tentang lahan perkebunan masyarakat di 8 desa Kecamatan Kabawetan yang masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kaba.

Akhirnya pada bulan April, Akar Foundation memulai proses pendampingan dan advokasi untuk penyelesaian kasus tersebut. Saat ini, berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan Tim Akar, jumlah masyarakat 8 desa yang dituduh berkebun di kawasan TWA Bukit Kaba tersebut berjumlah 808 jiwa dengan luas 1040,81 Ha. Menurut masyarakat, ± 90% masyarakat di 8 desa tersebut memiliki kebun di areal yang sekarang diklaim sebagai TWA dan ini membuktikan bahwa kehidupan masyarakat sangat tergantung pada hasil hutannya.
Dalam mengatasi konflik tanah masyarakat Sengkuang dengan pemerintah daerah dan pemangku kawasan TWA Bukit Kaba, perlu adanya kesepakatan bersama antar para pihak yang terlibat. Karena, pada dasarnya pembangunan merupakan (Plan Change) yaitu perubahan menuju perbaikan kondisi yang telah disepakati bersama dan dalam pembangunan kehutanan, seluruh bentuk peraturan adalah merupakan perwujudan hukum yang dihasilkan dari suatu proses kesepakatan. Untuk itu, para pihak yang terlibat perlu bersama-sama merumuskan jawaban dari semua permasalahan yang ada.

[1] Ke-8 (delapan) desa tersebut adalah Desa Sidorejo, Tugu Rejo, Sumber Sari, Mekar Sari, Bukit Sari, Suka Sari, Bandung Baru dan Bandung Jaya Kecamatan Kabawetan
[2] Pesirah adalah Kepala Margo
[3] Hasil wawancara dengan Bapak Oyib; 75 tahun
[4] Surat Izin Berladang No. 30/1953; Keputusan Dewan Marga Bermani Ilir tanggal 7 Desember 1953
[5] Wawancara dengan Jon Sumari (51 Tahun) Desa Bandung Jaya