Kebijakan Hutan Kemasyarakatan pertama kali dikeluarkan pada tahun 1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindaklanjutnya, Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga internasional, merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat.

Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan HKm masih sangat kecil. Lalu Menhut mengeluarkan Keputusan No. 677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) yang terbatas pada pemanfaatan hutan non kayu. Promosi bentuk HKm ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.

Kepmenhut tersebut diubah dengan mengeluarkan Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001. Dengan adanya keputusan ini, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannyanya (Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009, Permenhut No. P.13/Menhut-II/2010, hingga Permenhut No.P52/Menhut-II/2011). Dan kemudian disempurnakan oleh Kepmenhut No. P.88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan. Dalam peraturan tersebut, pemerintah menjelaskan petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian proses perijinan dan pemberian ijin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKm).

Dalam peraturan itu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. HKm diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat sehingga mereka mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu telah mendapatkan Penetapan Areal Kerja (PAK) Hutan Kemasyarakatan dari Menteri Kehutanan untuk melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.21/Menhut-II/2014 pada lahan seluas + 3.950 Ha tertanggal 9 januari 2014 untuk 1.268 Kepala Keluarga yang tergabung dalam 44 kelompok tani di 8 Desa (Air Dingin, Talang Ratu, Rimbo Pengadang, Kota Donok, Bukit Nibung, Semelako III, Danau Liang dan Danau).

Setelah Penetapan Areal Kerja maka perlu didorong penerbitan Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) untuk 8 Gabungan Kelompok Tani yang berada di 8 Desa tersebut. IUPHKm yang akan diberikan ini tentu saja harus memastikan keberlangsungan ekologi dan manfaat ekonomi bagi masyarakat pengelola selama dibebankan hak kelola wilayah.

Dalam rangka mempertemukan kebutuhan para pihak maka akan dilakukan konsultasi publik draf Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yang akan melibatkan stakeholder utamanya pengurus 44 kelompok tani dan stakeholders yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan kawasan. Tujuan dari Konsultasi publik yang akan dilaksanakan tanggal 6 Juli 2015 di Aula Pertemuan PLTA Tes, dan Workshop Akhir Draf Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yang akan dilaksanakan tanggal 7 Juli 2015; tersedianya media konsolidasi 44 kelompok tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang ada di Kabupaten Lebong dan adanya masukan dan pandangan serta tanggapan atas draf Keputusan Izin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yang disusun oleh Akar serta adanya catatan kritis bagi draft Izin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dan daftar kebutuhan dan rekomendasi tindak lanjut pasca penerbitan Izin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).

Penulis:
Satria Budhi Pramana (081373559548), Yayasan Akar, Bengkulu