Oleh Pramasty Ayu Koedinar

Ditinjau dari perspektif sejarah instrumen hak azasi manusia secara umum adalah pengakuan yuridis terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas antropologis. Pengakuan negara tentang eksistensi, indentitas budaya dan hak tentang masyarakat adat di dalam hukum nasional secara konstitusional di akui dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, meskipun dikaitkan dengan empat syarat; sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, zaman dan peradaban, sesuai dengan prinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di atur dalam undang-undang.

Konsep pengakuan atas keberadaan masyarakat adat sebagai pemilik original dari tanah menjadi sangat penting bagi setiap pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan, pada tahun 1989 disepakati ILO Convention No. 169 Concerning The Indigenous and Trinibal Peoples in Independent Countries dan kemudian pada tahun 1993 telah dibuat The 1993 UN Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang menjadi dasar bagi negara-negara termasuk Indonesia untuk mengakui keberadaan hak masyarakat adat. Walaupun demikian produk hukum lainnya justru menunjukan lemahnya pengakuan hak ulayat dan membiarkan kewenangan instansi pemerintah sepenuhnya menentukan dalam memutuskan apakah menghargai hak masyarakat adat/lokal atau tidak.

Ini kemudian menjadi dilematis dimana mayoritas masyarakat Indonesia hidup di pedesaan dan sebagian diantaranya mengantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Dengan demikian status tanah menjadi bagian sangat penting bagi kehidupan mereka termasuk dalam kerangka perspektif hubungan sosial dan spiritual dan status tanah di mana terdapar sumber-sumber daya alam di atasnya akan berfungsi sebagai pengontrol perilaku masyarakat.

Sementara system penguasaan tanah ini menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah, dalam sejarah agraria di Indonesia hak atas tanah jarang di pegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda (bundle of rights).[1]

Di Provinsi Bengkulu persoalan budle of rights ini merupakan pemicu utama bagi pelanggaran hak azas masyarakat lokal. Dimana konflik tenurial sebenarnya juga dapat di angap sebagai konflik antar system, yaitu system pengelolaan sumber daya agraria, dalam konflik ini dominasi Negara dan pemodal sangat kuat bahkan sering disertai dengan kekerasan struktural (structural violence). Konflik antar system ini juga diwarnai oleh upaya-upaya dominasi melalui proses hegemoni pengetahuan dalam system pengelolaan sumber daya alam.[2]

Konflik tenurial yang berdampak pada masyarakat adat di akibatkan dan dimulai oleh Kebijakan-kebijakan sektoral, UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa adalah awal dari proses memarjinalisasikan hak-hak masyarakat adat, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang seyogyanya memberikan peluang yang lebih besar bagi komunitas lokal untuk lebih eksis dalam mempertahankan hak dasar adat, kenyataannya hanya merupakan ekspektasi kekuasaan dari Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan di Daerah yang secara langsung lebih membatasi ruang dan gerak bagi komunitas-komunitas adat dalam mewujudkan demokratisasi pengelolaan wilayah adanya secara berkelanjutan.[3]

Kontroversi tata batas wilayah adat (Tenurial Geneologis) dengan wilayah konservasi, dan beberapa peruntukan lahan yang izinya di keluarkan oleh Pemerintah merupakan sebuah gambaran adanya kooptasi wilayah adat oleh Negara. Kondisi ini semakin mempersempit ruang kelola Masyarakat Adat yang pada akhirnya secara faktual menghilangkan identitas dan integritas komunitas adat sebagai satu persekutuan masyarakat yang pada dasarnya telah terbukti mampu mengelola wilayahnya secara berkelanjutan. Marjinalisasi peran dan fungsi yang di miliki oleh masyarakat adat tidak hanya di lakukan oleh Pemerintah secara fisiologis melalui kewilayahan adat, akan tetapi juga dilakukan  melalui penghancuran secara terstruktur melalui sistem dan tata aturan kelembagaan adat.[4]

Dari beberapa dokumentasi dampingan dan kajian yang dilaksanakan Akar, penyimpangan dan pelanggaran Hak Azas masyarakat lokal/adat terutama di Bengkulu di dapat beberapa persoalan utama, antara lain;

  1. Hak Ulayat tidak diakui
  2. Informasi terhadap objek pembangunan tidak di berikan kepada komunitas
  3. Kesepakatan untuk mupakat tidak dirundingkan
  4. Pemuka adat dimanfaatkan untuk memaksakan penjualan tanah
  5. Pembayaran kompensasi tidak dilaksanakan
  6. Keuntungan yang dijanjikan tidak diberikan
  7. Lahan tidak dikelola dalam waktu yang ditentukan
  8. Penolakan masyarakat ditekan melalui kekerasan dan pengerahan aparat dan premanisme

Dari beberapa persoalan yang terjadi tersebut, revitalisasi serta penyadaran yang lebih di tingkat masyarakat dalam melihat lebih jauh atas hak azazinya merupakan bagian dari proses penyelesaian yang adil terhadap konflik-konflik agraria dan merupakan satu keharusan bagi upaya pemecahan atas persoalan-persoalan sosial yang komplek melalui beberapa hal antara lain;

  1. Menilai kembali status hukum kawasan hutan dan batas-batas konversi untuk menentukan kawasan mana yang sesunggunya adalah tanah-tanah masyarakat
  2. Membuat undang-undang bagi perlindungan masyarakat adat untuk menjamin hak-hak konstitusi yang belum dijamin oleh undang-undang lainnya
  3. Menerapkan prosedur yang mewajibkan persetujuan bebas, didahulukan dengan penyampaian informasi yang benar (free, prior informed concent) dari masyarakat lokal/hukum adat sebagai prasyarat perizinan pembangunan di wilayah adat.

Untuk sampai pada saat ini maka, beberapa hal yang harus dilaksanakan adalah; Membangun strategi Pengelolaan Sumberdaya Alam untuk menjamin keberlanjutan hidup rakyat yang berkualitas, disamping membangun posisi politik masyarakat adat/lokal dalam agenda pembangunan berkelanjutan dan  perlunya rekomendasi bagi perubahan kebijakan dalam perlindungan masyarakat hukum adat.

[1] AKAR Foundation: Laporan Workshop Bundle of Right, AKAR-KOMNAS HAM 2007

[2] Mengugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara , AMAN 1999

[3] Rekomendasi Workshop “Partisipasi Politik” Masyarakat Adat Rejang Lebong, AKAR Foundation 2006

[4] Laporan Workshop “Refleksi Wacana Kabupaten Konservasi di Kabupaten Lebong”, Akar Foundation 2006