Sepanjang tahun tahun 2009-2010 Akar melakukan Assesment Data tentang tumpang tindih (budle of rights) atas kepemilikan Tanah di Marga Jurukalang Kabupaten Lebong, Kegiatan yang didukung oleh Siemenpuu Foundation, aktivitas  ini kemudian diaplikasi di 8 Desa yang bersinggungan dengan Kawasan Koservasi (Taman Nasional Kerinci Sebelat, Hutan Lindung Rimbo Pengadang dan Cagar Alam Danau Tes). Dari catatan yang didapati di lapangan dan keterangan tua-tua Desa bahwa Klaim Kepemilikan Lahan ini dimulai tahun 1927 ketika Pemerintahan Kolonial menetapkan sebagian kawasan Adat Jurukalang sebagai Kawasan Lindung, ‘ketika itu pemerintahan Belanda melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dalam penetapan batas BW makanya patok BW ini jauh dari lahan kelola penduduk’ sebut Bapak Sudirman Tokoh Adat di Desa Talang Donok, ditambahkannya pada tahun 1980-an kawasan adat dibawah batas/Buffer Zone BW dijadikan object penataan hutan kemudian disebut dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
‘penetapan kawasan ini tanpa menyampaikan kepada kami kawasan ini akan dijadikan apa, namun segelintir kabar disebut sebagai kawasan tangkapan air Danau Tes, sebagian bilang bahwa Desa Kami akan dijadikan Danau Buatan’ sambung Pak Sudirman ketika ditemui oleh Tim Jejak Akar di kediamannya yang sederhana di Desa Talang Donok. Masyarakat Jurukalangpun mulai resah ketika tahun 1990-an kawasan yang ditata melalui TGHK ini dijadikan kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).
‘Dalam hati kami bertanya-tanya kenapa penetapan Kawasan TNKS ini untuk pertama kalinya ditetapkan oleh Menteri Pertanian bukannya oleh Menteri Kehutanan’ lanjut Pak Musa salah seorang tokoh masyarakat di Kelurahan Rimbo Pengadang, paska penetapan kawasan TNKS ini kemudian terjadi beberapa kali pengusiran, khususnya masyarakat yang membuka kebun di wilayah Bukit Pendinding yang merupakan kawasan adat yang dikelola secara turun temurun, ‘ini aneh kenapa kami tidak diberitahu bahwa kawasan tersebut adalah kawasan konservasi sementara kawasan tersebut merupakan penompang utama bagi kehidupan kami, disanalah semua hidup dan masa depan kami digantung’ tambah Bapak Musa dengan semangat.
Klaim sebagai wilayah adat oleh masyarakat Jurukalang ini cukup kuat dimana mereka mengenal dengan baik ruang lingkup hidup mereka, batas-batas tanah bagai mana diperoleh dan bagai mana caranya, meskipun beberapa bukti kepemilikannya diperkuat denga tradisi turun temurun, secara terminology  di Jurukalang Kepemilikan tanah didalamnya terdapat sekumpulan hak dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. System kelola tanah di Jurukalang tidak terpisahkan juga dengan intitusi adat yang masih berkembang dan diakui di Jurukalang sambung Pak Salim Senawar tokoh Masyarakat Adat Topos dengan bijaknya.
Ditambahkannya bahwa ke depan Negara harus mengakui system local baik Kelembagaan maupun hak-hak yang mengikutinya, karena kami juga bagian pembentuk struktur bangsa ini, atau paling tidak ada ruang bagi kami untuk terlibat dalam proses pengelolaan, akses dan control dalam kawasan yang di klaim Negara ini sebagai kawasan konservasi, bukan malah mengusir paksa kami dari lahan tersebut.
Yang menariknya adalah statemen Bapak Rusli Mantan Kades Talang Donok yang menyakan bahwa sampai saat ini warganya masih mengelola Kawasan TNKS, mereka menyebut TNKS dengan kepanjangan Tanah Nenek Kita Sendiri. Pola-pola represif yang dilakukan aparatur Negara dalam penertiban masyarakat yang kemudian di stigmatisasi sebagai perambah bukanlah penyelesaian bijak ditambahnya yang senada seperti yang disampaikan Bapak Salim.
Tentu saja Akar tidak menjebak diri pada satu sisi dalam proses penyelesaian kasus, tentu saja ada rambu-rambu yang harus dipatuhi, UU No 41 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang sedikit ada ruang tentang Hutan Adat, UU tentang Pemerintahan Daerah maupun UU Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria yang pada dasarnya tidak mengatur secara khusus tentang Kehutanan tetapi juga mengatur hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan tanah. Namun ada beberapa Pasal yang menyatakan ; 1. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan di atur dengan Peraturan Pemerintah, 2. Dengan mengunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Proses-proses diskusi ditingkat kampong dalam menganalisa peluang-peluang kebijakan yang tersedia meskipun peluang itu sangat kecil, ‘kami mengangap kebijakan yang dibuat itu pastilah berpihak kepada masyarakat, jadi kami menghargai pola-pola negosiasi sehingga tidak ada satu pihak pun yang nantinya akan dirugikan dalam proses resolusi konflik nantinya’ sambung Pak Salim.