Provinsi Bengkulu terletak disebelah Barat pegunungan Bukit Barisan. Luas wilayah Provinsi Bengkulu mencapai lebih kurang 1.991.933 hektar atau 19.919,33 kilometer persegi secara administratif terbagi menjadi 9 kabupaten dan 1 kota.Wilayah Provinsi  Bengkulu memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan  Provinsi Lampung dan  jaraknya lebih kurang 567 kilometer. Sebagian besar penggunaan lahan di Provinsi Bengkulu merupakan kawasan hutan dengan luas sebesar 47.05% dari luas total wilayah Propinsi Bengkulu yang sebagian besar terletak si sisi timur Provinsi Bengkulu dan tersebar merata di masing-masing kabupaten. Berdasarkan data Citra Landsat lahan hutan di Provinsi Bengkulu jenis penutupan lahan yang dominan adalah kebun campuran  seluas 947.105 Ha (47,28%) dan hutan seluas 762.700 Ha (38,08%). Kebun campuran  pada umumnya menyebar di seluruh Kabupaten, sedangkan hutan sebagian besar terdapat di kabupaten Muko Muko, Bengkulu Utara, Lebong dan Kaur yang merupakan Taman Nasional.  Data  luas hutan dari Citra Landsat ini hanya 82,81% dari luas kawasan hutan berdasarkan Peta Penggunaan Tanah (BPN, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan hutan di wilayah Provinsi Bengkulu telah terjadi perambahan hutan yang serius. Di kawasan hutan telah dilakukan kegiatan budidaya pertanian berupa perkebunan, ladang, permukiman dan lain-lain.
Dalam rencana pengembangan regional kawasan, Provinsi ini termasuk dalam rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Sub Regional (KESR) segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT) dan menjadi salah satu gerbang masuk dalam pengembangan jalur pelayaran internasional. Pada satu sisi, Propinsi Bengkulu memiliki jejak historik perombakan bentang alam, sosial dan politik yang sangat panjang, sejak masa pendudukan Belanda di Abad ke-18. Jejak historik tersebut ditandai pola yang konsisten: Perkebunan, pembalakan hutan, penambangan bahan-bahan mineral yang ditopang pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan industri berbasis kekayaan alam. Jejak tersebut secara konsisten menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati masyarakat.
Sementara perubahan iklim yang terjadi di Bengkulu disumbang oleh masifnya deforestasi dan degradasi hutan, dan perubahan iklim ini menjadi potensi ancaman keberlanjutan kehidupan dan fungsi-fungsi alam wilayah tersebut. Dan, deforestasi membuka gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu lingkungan. Deforestasi menjadi mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial. Hal ini menyebabkan pelipatgandaan daya rusak suatu bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama.
Kondisi inilah yang menjadi argumen dasar pembuat kebijakan, terutama Gubernur Bengkulu menjadikan Bengkulu wilayah prioritas dalam mendorong pelaksanaan skema-skema hutan untuk iklim melalui Pembangunan Ekonomi Hijau di Bengkulu. Dalam perputaran iklim, hutan memiliki peran ganda. Deforestasi dan degradasi hutan melepas karbon yang tersimpan dalam pohon atau lahan gambut. Diperkirakan jumlah emisinya mencapai antara 17-20 persen total emisi gas rumah kaca dunia, lebih besar dari pada emisi sektor transportasi global.
Peran hutan menjadi lebih penting lagi dalam kebijakan perubahan iklim, struktur emisi seperti ini membuat Pemerintahan Bengkulu memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim. Hal ini tentu saja sesuai dengan kesepakatan global termasuk skema REDD, serta skema ekonomi hijau yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial sekaligus mereduksi dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.
Pemeritahan Propinsi Bengkulu bekerja sama dengan Akar Foundation telah menyusun konsep awal bagi pembangunan berkelanjutan yang dimaksud. Konsep ini termaktub dalam 7 prinsip bagi pembangunan ekonomi hijau, di antaranya; 1) Keseimbangan dan keadilan Ekologi, 2) Ekuitas dan Keadilan Ekonomi, 3) Kedaulatan Pangan, air dan energi, 4) Percepatan Pencapaian Keberlanjutan ekonomi sosial budaya, dan Lingkungan serta mitigasi bencana ekologi, 5) Ratifikasi Kerjasama Internasional dalam pemerataan distribusi kesejahteraan, 6) Pelestarian kekayaan alam, kepastian keseimbangan dan keselamatan antar generasi, 7) Kesetaraan Gender.
Workshop yang akan dilaksanakan ini merupakan langkah awal dalam membangun ekonomi hijau di Bengkulu, tentu saja berangkat dari tujuh prinsif yang telah disusun tersebut, dan satu sisi harapannya akan ada masukan dan feed back dari stakeholder pendukung pembangunan ekonomi hijau termasuk  skema REDD dalam mereduksi deforestasi, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Masukan-masukan yang didapati dari workshop ini tidak hanya penguatan pada substansi konsep tetapi akan menjadi bagian yang akan di diskusikan lebih lanjut dalam seminar ekonomi hijau yang akan dilaksanakan nanti yang akan melibatkan lebih banyak pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan agenda pembangunan ekonomi hijau di Bengkulu. Tujuan dari Seminar ini untuk Konsultasi dan penguatan konsep bagi pembangunan untuk ekonomi hijau termasuk integrasi, sinkronisasi antara ekonomi dan ekologi di Propinsi Bengkulu