Diksusi Hutan Adat di Embong UramOleh; Erwin Basrin
Pendahuluan
Di Bengkulu sistem pemerintahan Marga berlaku hingga tahun 1980, setelah di keluarkannya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, sistem Pemerintahan Marga ini berganti dengan sistem Pemerintahan Desa yang sentralistik. UU ini berimplikasi secara nasional terhadap sistem pemerintahan terendah di luar Jawa, perubahan kebijakan ini juga membawa konsekwensi hilangnya hak akses dan kontrol atas hak-hak masyarakat adat, termasuk hak-hak Masyarakat Adat Rejang. Penghapusan Marga sebagai institusi lokal ini berimplikasi pada penerapan sistem Pemerintahan Kutai, sebagai struktur kelembagan Masyarakat Adat di dalam sistem Marga di wilayah masyarakat adat Rejang.[1]
Dalam perjalanannya, terjadi adaptasi dan negosiasi antara penerapan Desa Administratif yang sentralis dengan kelembagaan Adat di tingkat lokal. Kepala Desa Administratif merangkap jabatan sebagai pemangku atau Kepala Adat pada tingkatkan Desa atau setara Kutai atau Dusun, pembagian wewenang antara Kepala Desa Administratif dan wewenang sebagai Kepala Adat merupakan konsensus sosial di level Desa atau Dusun dan barang tentu menurunkan kualitas adat dan menaikkan status pelayanan administrasi Desa, di beberapa kasus terjadi pembiasan pada pembagian wewenang yang diakibatkan oleh tendensi dan muatan-muatan kepentingan Penguasa Desa yang sekaligus sebagai Penguasa Adat di tingkat Desa atau Kutai.
Tahun 1999 keluar UU No. 22 tahun 1999 dan diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang sistem Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memberi peluang bagi setiap daerah untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan tradisional mereka dan diakui dalam tata hukum Indonesia. UU ini menegaskan tentang desentralisasi maka munculah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan, melalui UU tentang Pemerintahan Daerah desentralisasi dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Landasan filosofis paradigma bagi penyelenggaraan pemerintah daerah menurut The Liang Gie  (Jose Riwu Kaho, 2001 Hal 8), dari sudut politik, desentralisasi dimaksud untuk mencegah penumpukan kekuasaan di suatu daerah sehingga desentralisasi dianggap sebagai pendemokrasian dalam rangka menarik minat rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan (pendidikan Politik), dengan demikian desentralisasi bertujuan mencapai efisiensi sementara dari sudut kultur, desentralisasi diharapkan perhatian sepenuhnya ditumpahkan kepada daerah, seperti, geografi, ekonomi, politik, kondisi masyarakat, kultur.
Secara teoritis, pemberian otonomi melalui desentralisasi kepada daerah dilatar belakangi oleh tujuan politik maupun adminsitratif yang ingin dicapai oleh pemerintahan suatu negara. Menurut Maddick (1963) hampir sama dengan The Liang Gie  (Jose Riwu Kaho, 2001 Hal 8). Bahwa tujuan politik dari pemberian otonomi itu untuk menciptakan kesedaran masyarakat sipil (civil conciousness) dan kedewasaan politik (political maturity) masyarakat melalui pemerintahan daerah. Maka penyebaran kedewasaan politik dapat dilakukan melalui partisipasi masyarakat dan melalui pemerintahan yang responsif yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal. Sementara Lughlin (1981) menyatakan bahwa sistem pemerintahan daerah diperlukan untuk mengakomodasi pluralisme dalam suatu negara modern yang demokratis. Lalu, Smith (1985) juga menyatakan bahwa keberadaan pemerintah daerah diperlukan untuk mencegah munculnya kecenderungan centrifugal yang terjadi karena adanya perbedaan etnis, agama dan unsur-unsur primordialisme di tingkat lokal.
Secara umum terdapat berbagai alasan mengapa desentralisasi merupakan suatu pilihan dalam sistem pemerintahan negara-negara di dunia (Salomo dan Ikhsan, 1999). Pertama, ada anggapan bahwa desentralisasi pemerintahan mencerminkan pengelolaan aspek-aspek pemerintahan dan kehidupan sehari-hari secara lebih demokratis. Melalui desentralisasi pemerintahan, rakyat daerah diberi kesempatan yang lebih besar untuk menentukan keinginannya, karena mereka memang dianggap lebih mengetahui apa yang mereka inginkan dan keadaan daerahnya sendiri.
Dengan demikian merekalah yang dianggap paling pantas untuk menentukan kebijaksanaan pembangunan daerahnya. Pada Negara berkembang, pemerintah daerah dianggap mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam meningkatkan partisipasi masyarakat daerah dalam proses pembangunan (Cohrane, 1983). Kedua, karena adanya berbagai alasan teknis yang dapat dilihat dari berbagai segi seperti segi ekonomi, geografis, etnis, budaya, dan sejarah. Panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh, mulai dari perencanaan pembangunan maupun pelaksanaannya, membuat sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dinilai jauh lebih efesien. Hal ini karena dengan desentralisasi dapat dilakukan pemotongan sejumlah jalur birokrasi  yang panjang dan tidak perlu. Dengan demikian desentralisasi dapat mengurangi adanya overload (kelebihan beban) dan congestion (pemusatan) administrasi dan communication (komunikasi) di tingkat pusat (Rondinelli, 1983).
Dinamika Dasentralisasi di Kabupaten Lebong
Kabupaten Lebong adalah Kabupaten yang ada di Propinsi Bengkulu dan menjadi daerah otonomi melalui UU No 39 Tahun 2003. Kabupaten ini merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. Jika dilihat dari kondisi yang ada di Kabupaten Lebong, maka desentralisasi bukanlah “pil tuntas” yang akan menyelesaikan tumpukan dan tunggakan masalah yang ditingalkan oleh sistem sentralis kapitalistik yang diterapkan oleh Orde Baru lebih dari 3 dasawarsa. Study kasus dan dari proses belajar 5 Desa (Desa Embong Uram, Desa Embong I, Desa Kota Baru, Kota Baru Satan dan Desa Plabai), desa-desa ini berada di Kabupaten Lebong. Setidaknya, dalam proses berotonomi terjadi benturan antara kepentingan desentralisasi dengan tunggakan masalah yang ditinggalkan oleh sistem sentralis yang cenderung kapitalistik. Desentralisasi politik, desentralisasi administrasi (kebijakan), desentralisasi ekonomi, desentralisasi hukum adalah pekerjaan-pekerjaan yang berhadap-hadapan dengan peninggalan sentralis kapitalistik tersebut.
Sekarang, mari kita lihat objek tanah atau agraria yang terdapat pada bagian wilayah hutan  yang merupakan bagian irisan wilayah desa yang dulunya adalah wilayah adat atau tanah Marga. Ada 3 tumpukan (bundles) yang harus diuraikan. Pertama, tumpukan persepsi (bundle of perception) terhadap tanah atau hutan, masing-masing pihak melihat tanah dengan dengan cara pandang yang berbeda, tentu kita sependapat bahwa akan selalu ada kebenaran jika kita memandang dengan cara yang berbeda, persepsi yang berbeda, dan sudut pandang yang berbeda. Bagi masyarakat adat hutan dan tanah adalah warisan leluhur dan menjadi hak miliki generasi berikutnya, di dalam objek tanah itu ada kebutuhan ekonomi, pertahanan, identitas dan kepercayaan. Sementara Negara melihat objek tanah dan hutan itu adalah hak milik negara, akses dan kontrol di dalamnya haruslah mendapatkan persetujuan dari Negara dan negara berhak untuk menentukan fungsi dan peruntukan tanah dan hutan tersebut. Sektor swasta melihat objek tanah dan hutan sebagai deposit yang menguntungkan dan harus di ekploitasi.
Tumpukan kedua, merupakan turunan dari  tumpukan pertama, tumpukan disposisi (bundle of disposition), ada kepentingan untuk “mengamankan” cara pandang yang berbeda dari berbagai pihak, alat pengamanan ini adalah Hukum atau Kebijakan. Jika meminjam Bastiat, fungsi hukum dan kebijakan ini hanya mengorganisasi hak individu (Individu Negara, individu corporation) secara kolektif untuk membela diri secara sah. Pemaknaan ini didasarkan atas hak alamiah untuk mempertahankan kedirian, kebebasan, dan hak milik. Dimana ketiganya merupakan tiga syarat kehidupan, serta pemeliharaan salah satu dari ini bergantung pada pemeliharaan atas dua yang lainnya. Jika semua orang berhak menjalankan tiga syarat kehidupan tersebut, maka berarti sekelompok orang tertentu berhak pula mengorganisasikan untuk melindungi secara terus-menerus. Maka lahirlah berbagai kebijakan yang tumpang tindih (bundle of disposition), ada kebijakan tentang Kehutanan, Pertambangan, Wilayah Administrasi, Wilayah Adat yang bisa saja beroperasi pada objek yang sama, objek tanah dan hutan.
Akibat terjadinya tumpukan disposisi (bundle of disposition) ini berakibat pada klaim kepemilikan hak dari berbagai pihak (Masyarakat adat, Pemerintahan Daerah, Negara dan Sektor Swasta) pada objek yang sama, pada posisi inilah konflik naik ke permukaan karena bersentuhan secara langsung dengan kepentingan pada pihak. Dari tiga tumpukan untuk kasus tanah atau hutan saja, kebijakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ia seringkali melampaui batas-batas fungsi yang seharusnya, sehingga hukum berkembang melawan tujuannya sendiri. Ia telah dipakai untuk menghancurkan keadilan yang seharusnya ia pelihara. Akibatnya hukum dan kebijakan ini berevolusi menjadi kekuatan kolektif yang memanfaatkan kedirian, kebebasan, dan hak milik orang lain untuk tujuan lain. Ia mengubah perampasan menjadi hak, demi melindungi perampasan yang tidak sesuai dengan tujuan hukum. Pada akhirnya hukum menjelma dari pertahanan diri yang sah menjadi suatu kejahatan yang sah. Implikasi tumpukan masalah ini tentu saja berdampak pada proses desentralisasi politik, desentralisasi administrasi (kebijakan), desentralisasi ekonomi, desentralisasi hukum.
Reposisi hak kelola adat dalam koridor kebijakan berlaku
Dalam keterangannya sebagai Saksi Ahli di Mahkamah Konstitusi, Noer Fauzi Rachman, PhD, menerangkan telah terjadi “negaraisasi” dimana kekayaan alam dan wilayah adat ditetapkan oleh Pemerintah sebagai katagori “tanah negara” atau “hutan negara” sehingga dengan kewenangan legalnya Pemerintah memberikan izin/hak/konsensi untuk keperluan konservasi, produksi maupun ekstraksi. Dan menurut Hariadi Kartodihardjo, pada kawasan konservasi pengunaan scientific forestry secara sempit cenderung tidak menerima keragaman tujuan pengelolaan hutan serta menjadikan hutan sebagai subjek dan masyarakat adat sebagai objek. Konfik tersebut muncul ketika penetapan fungsi hutan dn wilayah adat tanpa precautionary principle, asas kehati-hatian dimana ada tindakan yang harus diambil terlebih dahulu sebelum timbulnya dampak terburuk dari suatu kegiatan.[2]
Lahirnya putusan MK No 35/PUU-X/2014 adalah ketentuan yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara, keputusan ini paling tidak mengubah cara pandang (perception) dari para pihak dalam melihat keberadaan hutan adat. Persepsi ini tidak lagi melihat kawasan hutan identik sebagai hutan negara tetapi melihat kawasan hutan dengan pendekatan fungsi kawasan hutan yang lebih holistik (ekonomi, ekologi dan sosial budaya). Keputusan ini menegaskan tentang keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek yang memiliki wilayah dan hutan adat. Implikasi dari putusan ini mewajibkan pemerintah untuk mengakui dan menyediakan kerangka hukum yang memudahkan masyarakat adat untuk mendapatkan perlakuan sebagai subjek hukum yang memiliki hak atas wilayah dan hutan adat.
Pada kerangka desentralisasi, cara pandang yang berbeda (bundle of disposition) terhadap objek wilayah dan hutan adat  bisa di ‘damaikan” bahwa wilayah dan hutan adat adalah milik masyarakat hukum adat. Pada level tumpukan disposisi (bundle of disposition), melalui UU No 5 Tahun 1979 dan beberapa kebijakan sektoral lainnya, Negara melakukan pengendalian melalui struktur birokrasi yang hirarkhis-sentralistik, korporatisasi dan penyeragaman organisasi lokal, depolitisasi rakyat desa dengan kebijakan massa mengambang, dan kooptasi terhadap pemimpin lokal. Semua itu membawa kerugian yang luar biasa bagi desa: identitas lokal hancur, kemandirian desa  merosot, prakarsa lokal tumpul, pemimpin lokal tidak berpihak pada rakyat, modal sosial mengalami erosi, praktik demokrasi desa merosot, dan lain-lain.
UU Desa No 6 Tahun 2014 menawari prinsip-prinsip dasar demokratisasi lalu memberikan peluang pada kerangka konsep dan gagasan demokrasi komunitarian yang sangat relevan diterapkan pada level komunitas yang kecil. Demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community, hendak mempromosikan partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan dan pembangunan di level komunitas atau desa yang akam melampaui batasan-batasan formal, demokrasi komunitarian merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik, pengaktifan peran kelompok-kelompok sosial, forum warga, serta jaringan antar kelompok, yang bukan saja untuk keperluan self-help kelompok, tetapi juga sebagai wahana awareness warga, civic engagement dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di tingkat komunitas/desa. Elemen-elemen komunitarian yang dinamis inilah yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan pembuatan keputusan berbasis komunitas (bukan segelintir elite) secara partisipatif  serta memungkinkan penggalian potensi dan kreativitas individu dalam ikatan kolektif. UU ini menawari resolusi pada (bundle of disposition).
[1] Laporan Program Revitalisasi dan Posisi Strategis Pengakuan wilayah Adat di 5 Desa di Kabupaten Lebong, Akar-HuMA 2014
[2] Kembalikan Hutan Adat Kepada Masyarakat Hukum Adat, Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 35/PUU-X/2012 Mengenai Pengajuan UU Kehutanan, HuMA, AMAN, Epistema, 2014