Resolusi Konflik Lahan Perkebunan Masyarakat 8 (delapan) Desa Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang yang Masuk di dalam Kasawan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba[1]
Oleh Akar Foundation[2]
Latar Belakang
Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, mulai dari tipe ekosistem, jenis flora dan fauna, serta sumberdaya genetik. Kekayaan keanekaragaman hayati ini perlu dijaga pengelolaannya dan dipastikan pemanfaatan dilakukan dengan lestari. Langkah-langkah konservasi menjadi perlu dilakukan agar keanekara-gaman hayati yang ada selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan dalam kegiatan pembangu­nan.
Dewasa ini kawasan konservasi yang ditetapkan men­capai areal sekitar 27 juta hektar atau 21 % dari total kawasan hutan dan perairan di Indonesia. Kawasan konservasi seluas ini diklasifikasian dalam be­berapa kategori seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru dan Taman Nasional.
Pengelolaan terhadap kawasan konservasi yang luas agar tetap lestari kondisinya bukanlah perkara mudah. Ada sejumlah tantangan yang ada. Pertama, terbatasnya tenaga pengelola di kawasan kon­servasi, saat ini, hanya terdapat sekitar 3.508 orang un­tuk mengelola 27.108.486,54 hektar kawasan konser­vasi. Artinya, rata-rata 1 orang diberi tanggung jawab untuk mengelola ± 3.552 hektar kawasan konservasi. Kedua, terbatasnya pendanaan yang dimiliki oleh pe­merintah untuk pengelolaan kawasan konservasi. Ketiga, masih banyak kawasan konservasi yang sudah ditunjuk namun belum dikukuhkan. Hal ini memperumit penyelesaian tata batas kawasan tersebut. Ditam-bah lagi, masih banyak kasus tumpang tindih klaim pemilikan atau penguasaan atas kawasan di dalam mau­pun diluar kawasan hutan. Saat ini terdapat sekitar 3746 desa berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Tanpa ada kejelasan tenurial, konflik antara pengelola kawasan dan masyarakat desa akan semakin luas baik lokasi maupun para pihak yang terlibat.[3]
Keempat, masih perlunya pembenahan dalam penge-lolaan kawasan mengingat sampai tahun 2014, baru 187 kawasan konservasi (35,89%) yang telah mempu­nyai rencana pengelolaan yang telah disahkan dan 85 kawasan konservasi yang memiliki zonasi dan/atau blok pengelolaan.[4]
Dalam praktiknya, pengelolaan hutan di Indonesia yang dilakukan oleh negara mempunyai perjalanan panjang yang bernuansa Germany scientific forestry dan scientific forestry pada awalnya merupakan kaidah yang diterapkan bersamaan dengan kolonialisme dalam mengelola hutan untuk menghasilkan kayu secara lestari. Sehingga, sistem pengelolaan hutan memisahkan masyarakat sekitar hutan dengan hutan.  Pendekatan kolab­oratif (co-management) dan community based forest management (CBFM) mengubah nuansa pengolaan hutan tersebut menjadi sistem pengelolaan sumberdaya hutan bersama dan dengan masyarakat. Masyarakat sekitar hutan dalam skema kolaboratif memiliki akses yang cukup untuk berinteraksi dengan hutan serta ditempatkan pada posisi sejajar dengan stakeholders lain dalam implementasi pengelolaan sumberdaya hutan disinilah, dalam perjalannnya community based forest management (CBFM) mendapat ruang yang luas dalam pengelolaan hutan di Indonesia.[5]
Tantangan-tantangan tersebut diatas menggarisbawahi pentingnya berbagai inisiatif untuk meningkatkan efek­tifitas pengelolaan kawasan konservasi, yang tentu saja pijakannya adalah kelestarian ekologi yang idealis dengan mengakomodasi kebutuhan ekonomi pragmatis bagi masyarakat sebagai salah satu stakeholder yang terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan konservasi.
https://www.academia.edu/31477823/Policy_Brief_Konflik_Lahan_Perkebunan_Masyarakat_di_dalam_Kasawan_Taman_Wisata_Alam_TWA_Bukit_Kaba_Kabupaten_Kepahiang