AKARNEWS. Rejang sebagai kesatuan masyarakat hukum adat merupakan fakta yang tak terbantahkan, keberadaannya telah terdokumentasi dengan baik dalam sejumlah literatur sejarah dan hukum adat. John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya menceritakan tentang adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai).[1] Dan dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang di satu Bang, harus diakui Rejang yang ada berada di wilayah Lebong.[2]
Tahun 1859, kontrolir pertama Belanda untuk tanah Rejang A. Pruys Van Der Hoeven menaikan Bendera Belanda pertama kalinya di Topos Marga Jurukalang. Penaklukan ini berimplikasi pada system pemerintahan Adat yang mandiri. System kelembagaan Kutai dan Marga yang mandiri dan otonom berubah menjadi kelembagaan federasi yang tunduk pada system Pemerintahan colonial. Ketika Indonesia Merdeka, secara politik hanya UU No 5 Tahun 1960 tentang Agraria yang ekplisit mengakui Hak Ulayat sebagai bagian dari hak masyarakat hukum adat. Di Bengkulu, kesatuan wilayah Masyarakat Hukum Adat di sebut dengan Wilayah Marga dan Hutan Marga untuk kawasan yang difungsikan sebagai kawasan hutan. Hingga tahun 1961, Siddik (1980) mencatat, Masyarakat Hukum Adat Rejang diantaranya, mendiami 28 marga di wilayah Provinsi Bengkulu dan 15 marga di Sumatera Selatan.
Orde Baru memperparah kondisi yang ada, UU No 5 Tahun 1979 tentang Desa malah menyeragamkan system Pemerintahan di daerah. Kesatuan-kesatuan kelembagaan masyarakat hukum adat “dimatikan”. Pada periode panjang, paling tidak selama tiga dasawarsa, Negara melalui kebijakan politik yang sektoral memisahkan Masyarakat Hukum Adat Rejang atas hak asal usulnya baik eksistensi Kelembagaan, Praktek Peradilan Adat, Akses kelola wilayah Adat bahkan Identitas sebagai Masyarakat Asli yang berbasis keturunan (geneologis) di abaikan. Implikasi kebijakan politik pembangunan Orde Baru membuat kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat Rejang tidak bisa mengeksplorasi system nilai, politik, budaya dan hukum dalam mengatur hubungan Masyarakat Hukum Adat Rejang baik dengan sesama warga adat maupun terhadap akses dan control wilayah adat.
Orde reformasi membuka peluang untuk mengembalikan hak asal usul, Amandemen UUD Pasal 18 I adalah landasan konstitusi yang mengakuai secara ekplisit hak asal usul Masyarakat Hukum Adat Rejang, Keputusan MK 35/PUU-X/2012 adalah bentuk koreksi hukum atas koptasi Negara pada Hutan Adat, UU No 6 tahun 2014 tentang Desa mengabungkan kontruksi self –governing community dengan local self-government memungkinkan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban berbasis praktek-praktek system adat di tingkat desa atau disebut dengan nama lain. Kebijakan ini belumlah operasional. Secara teknis kebijakan ini harus disokong dengan lahirnya onsensus di tingkat local yang melahirkan kontruksi politik dalam bentuk Kebijakan Daerah yang menyatakan keberadaan dan eksistensi Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.
Bagi suku Rejang yang ada di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu, Kesatuan “Kutai” atau dusun yang berdiri sendiri merupakan system kelembagaan yang berbasis tenurial dan geneologis adalah system kelembagaan asli yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat Rejang. Tentu saja, system ini memenuhi indicator yang dinyatakan di dalam konstitusi, dimana Kutai adalah system yang memiliki asal usul, kelembagaan, hukum adat dan wilayah adat. Kutai adalah Satuan Manusia Sewilayah (Teritori), Hidup secara de Jure, Politically Based dan Bagian dari Fungsi dalam Struktur Negara.
Sejak tahun 2012, Akar Foundation mendorong proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu. Dasarnya tidak hanya untuk memulihkan hak Masyarakat Hukum Adat yang terlanjur di abaikan dalam proses perjalanan sejarah Negara Bangsa, tetapi bagi Masyarakat Hukum Adat Rejang wilayah adat sebagai ruang kehidupan, alamat kebudayaan, arena konflik dan wilayah adat terancam secara ekologis akibat deforestasi dan ekspansi penetrasi modal. Arena konflik misalnya dari data analisis yang dikeluarkan oleh Akar Foundation tahun 2016 seluas 118.762 kawasan Hutan Negara (CA, TWA, HL, TNKS dan HPT) tumpang tindih dengan ruang hidup dan kelola Masyarakat Hukum Adat Rejang.
Dari proses konsolidasi yang dilakukan di Sebelas Kutai Model di Marga Suku IX dan Mara Jurukalang dan konsolidasi politik baik di tingkat lokal maupun nasional akhirnya pada Selasa 23/5/2017, DPRD Kabupaten Lebong melaksanakan Rapat Paripurna pendapat akhir fraksi terhadap enam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Eksekutif dan Legislatif DPRD. Lima fraksi yang hadir pada Rapat Paripurna ini yaitu Fraksi Demokrat, Fraksi Nasdem, Fraksi Golkar, Fraksi Hanura dan Fraksi PKB. Dan, Paripurna ini di hadiri oleh Sekretraris Daerah Kabupaten Lebong, dan unsur SKPD, Muspida, Tripika dan Masyarakat Hukum Adat yang ada di Kabupaten Lebong dan 16 orang anggota DPRD yang dimimpin oleh Azman May Dolan, dan dalam Pidatonya menyatakan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong disahkan menjadi Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong.
[1] W. Marsden, The History of Sumatera, London MDCCLXXXIII, hal 178
[2] Dr. JW. Van Royen, adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Bab de Redjang. Hal 18