Supriyanti (37 tahun) merupakan salah satu Perempuan yang di tokoh kan di desa Bandung Jaya[2]. Perempuan kelahiran Pagar Alam 13 Maret 1979 ini merupakan generasi ketiga dari keluarganya yang merupakan peserta transmigran di objek transmigrasi Tanah Bengko yang sekarang meluas menjadi daerah Sengkuang.[3] Seluruh keluarga Supriyanti adalah masyarakat yang mengikuti program transmigrasi umum yang dicanangkan pemerintah sejak rezim orde lama yakni tahun 1954 oleh Presiden Soekarno. Oleh karena itu, keluarga Supriyanti telah memiliki statuta sebagai penduduk asli atau Mulo Jejai (dalam Bahasa Rejang, Muloi Jejai berarti pendiri desa/kampong) yang dibuktikan dengan pengelolaan terhadap lahan untuk bermukim serta sebagai sumber-sumber penghidupan; yakni dengan bekerja sebagai petani kopi dan petani sayur-mayur.

Pada tahun 2015, Supriyanti terpilih sebagai Kepala Desa Bandung Jaya melalui proses pemilihan kepala Desa. Sejak saat itu, Supriyanti sangat aktif menghimpun dan mengorganisir kelompok perempuan untuk melakukan aktifitas yang mendorong keterlibatan perempuan diruang-ruang public. Supriyanti bersama perempuan lainnya mulai mengaktifkan kembali Kelompok PKK di Desa, membangun kelompok-kelompok arisan dan pengajian, serta membentuk kelompok tani wanita. Hampir semua oraganisasi yang dibangun tersebut hingga saat ini menjalankan kegiatannya secara aktif. Kelompok PKK memiliki program penanaman TOGA (Tanaman Obat Keluarga) per polibek di masing-masing rumah anggota. Kelompok arisan dan pengajian juga melakukan pertemuan rutin sekali setiap minggu. Sedangkan kelompok tani wanita ini melakukan aktifitas berkebun buah, yakni menanam tanaman Jeruk di sebuah demplot yang terdapat di desa. Aktifitas menanam jeruk ini merupakan program kelompok tani wanita yang bernama Mekar Jaya yang beranggotakan 15 orang perempuan untuk melakukan uji coba pola pertanian agroforestry di lahannya yang selama ini hanya ditanami oleh kopi, palawija dan kayu. Lahan kebun jeruk miliki kelompok tani wanita ini seluas 2 ha dengan jumlah tanaman ±1200 batang.

Beberapa aktifitas ke-organisasian yang dilakukan oleh beberapa kelompok perempuan di Desa Bandung Jaya ini merupakan sebuah gerakan sosial yang didasari oleh kesadaran kolektif atas kondisi perempuan yang selama ini dipinggirkan dari ruang publiknya. Selain itu, kondisi perempuan Jawa dalam tradisi-nya juga menjadi pijakan untuk bergerak melawan mitos-mitos perempuan Jawa yakni perempuan sebagai konco wingking dan konsep swargo nunut, neroko katut yang mengharuskan perempuan Jawa untuk bersikap dan berprilaku halus, rela menderita, dan setia kepada suami. Ia diharapkan dapat menerima segela bentuk keputusan dan kondisi keluarga dalam keadaan terpahit sekalipun.

Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sector public, karena secara normative perempuan tidak boleh melebihi suami. Kalaupun kemungkinan untuk tampil tersedia, perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan tersebut. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi dan memenuhi segala kebutuhan suami.

Namun, system bilateral-lah yang tampak dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, seperti yang terjadi pada keluarga Supriyanti. Bahwa sebagai seorang perempuan Jawa, Supriyanti memiliki kekuasan yang tinggi mengingat sumbangannya cukup besar dan bukan hanya dalam ekonomi keluarga, melainkan juga kesejahteraan dan kemajuan seluruh masyarakat desa yang dicapai melalui partisipasi aktif-nya dalam kegiatan-kegiatan produktif selama menjadi seorang perempuan, istri, petani, dan Kepala Desa.

Relasi masyarakat pedesaan Jawa dan tanahnya ?

Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarakat agraris yang memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset produksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman perdagangan. Posisi penting tanah dalam masyarakat perdesaan Jawa terlihat dari istilah “sedumuk bathuk sanyari bumi, den lakoni taker pati, sanadyan peaching dhadha wutahing ludira”. Istilah tersebut menunjukan tingginya apresiasi masyarakat Jawa dalam memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela sekalipun sampai mati, tidak peduli pecahnya dada dan tumpahnya darah. Hal ini menujukan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup dan mati (survival), kepentingan, harga diri, eksistensi, ideology dan nilai (sastroatmodjo, 2007:28).

Penguasaan tanah pada masyarakat Jawa pada dasarnya dibagi beradasarkan stratifikasi masyarakat Jawa yang terdiri dari para Raja-raja Kraton, para Sentana-Dalem[4], kalangan Priyayi hingga kaum Sikep[5]. Dan ciri-ciri khas pola pengusaan tanah masyarakat Jawa ialah tiadanya hak milik. Hak milik dalam masyarakat Jawa langsung merupakan hak milik komunal. Menurut beberapa pengarang, sudah sejak dahulu kala di Jawa terdapat mekanisme tertentu untuk pemerataan tanah dalam komunitas desa, bahkan sebelum masa penjajahan (Slametmuljnana, 1967:37).

Dalam kehidupan agraris masyarakat Jawa, aspek kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib tidak dapat diabaikan begitu saja. Ada kepercayaan yang timbul secara turun-temurun terhadap adanya suatu kekuatan yang baik dan yang buruk. Kekuatan tersebut dianggap berada di tiap benda di sekitar manusia dan di dala diri manusia itu sendiri.

Kepercayaan ini tersebar luas dikalangan masyarakat desa, terutama yang bertempat tinggal di daerah terpencil (N.C. Van Seten, 1979:32). Bagi masyarakat pendukung kebudayaan agraris, kekuatan tersebut dapat mempengaruhi panen para petani. Oleh karena itulah diadakan pemujaan, dengan maksud menambah hasil panen dan menjaga keselarasan hidup di dunia.

Bagi masyarakat Jawa pada umumnya, padi merupakan bahan pokok bagi kebutuhan hidup manusia, oleh karena itu manusia sangat menghormati dan menghargainya. Berbagai macam usaha dilakukan untuk mencapai keberhasilan bercocok tanam. Segala sesuatu yang berhubungan dengan padi, dilakukan dengan perasaan hormat, patuh serta bakti. Perasaan yang demikian mendorong orang untuk mengadakan perbuatan disebut ‘religius behavior’ (Koentjaraningrat, 1967;230), yaitu suatu perbuatan yang selalu berhubungan dengan kepercayaan.

Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara atau ritual yang dilakukan oleh masyarakat mulai dari menanam benih, hingga memanen padi. Dengan mengadakan selamatan (do’a) yang dipersembahkan kepada Dewi Sri sebagai Dewi penguasa tanaman padi, mereka berharap sawahnya dapat menghasilkan panen yang baik dan melimpah. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, terdapat mitologi atau mitos tentang tanaman selalu di hubungan dengan tokoh wanita sebagai lambang kesuburan dan tokoh wanita dalam pertanian di Indonesia, yaitu Dewi Sri sebagai Dewi penguasa tanaman padi.

Adanya tokoh wanita sebagai peran utama dalam proses terjadi tumbuh-tumbuhan erat hubunganya dengan tokoh Dewi ibu yang juga dianggap melahirkan segala sesuatu di dunia ini, teruatama tanaman yang dibutuhkan manusia. Dewi Ibu juga dianggap sebagai personifikasi dari tanah yang melahirkan tanaman sumber hidup manusia (Hariani santiko 1987:294-299). Berdasarkan kepercayaan dan mitos ini, terutama yang berhubungan dengan kesuburan terlihat bahwa tokoh wanita mempunyai peran yang sangat penting dalam kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.

Peran inilah kemudian melahirkan model praksis yang memberikan sumbangsih besar terhadap perubahan sosial yang di lakukan oleh kelompok perempuan di Desa Bandung Jaya. Padahal, pola pertanian yang dilakukan masyarakat Jawa yang menetap di Pulau Jawa dan masyarakat Jawa yang berdiaspora ke dataran Sumatera sangat berbeda. Perbedaan ini tentu saja muncul dari berbagai macam hal. Pertama berdasarkan kondisi topografi, kedua berdasarkan kondisi sosial-budaya dan ketiga berdasarkan rezim yang saat itu tengah berkuasa.
Masyarakat Jawa yang pada umumnya sangat lekat dengan tradisi pertanian sawah;padi dan ladang sayuran,  dipaksa beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Masyarakat transmigran yang ditempatkan di daerah pegunungan yang juga merupakan wilayah adat setempat harus menyesuaikan pola pertaniannya dengan kondisi topografi wilayah setempat dan harus menyesuaikan pola-pola pertanian tersebut dengan tradisi atau hukum adat yang berlaku di lokasi dimana ia ditempatkan. Dalam hal ini, masyarakat trans Sengkuang yang dulunya ditempatkan di wilayah adat Margo Bermani Ilir harus mengikuti pola pertanian masyarakat pribumi, yakni menjadi petani hutan dan sebagaian menjadi buruh di kebun-kebun milik perusahan. Hal ini juga didukung oleh kondisi topografi wilayahnya yang berada didaerah pegunungan. Kondisi topografi ini bukan hanya tentang bentuk permukaan buminya saja, tapi juga mempengaruhi jenis vegetasi dan pengaruh manusia terhadap lingkungan, dan bahkan kebudayaan lokal (ilmu pengetahuan sosial masyarakat).

Bagaimana keterlibatan perempuan dalam menangani konflik ?

Profesi sebagai petani hutan inilah yang kemudian menjadi malapetaka bagi masyarakat Sengkuang dan khususnya bagi perempuan. Dalam tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana kronologis konflik tanah masyarakat transmigran dengan kawasan hutan milik Negara menjadi polemik yang cukup panas di tingkat daerah. Konflik tersebut ternyata berdampak dan menggangu aktifitas yang dilakukan oleh kelompok perempuan di pedesaan, khususnya Desa Bandung Jaya.

Menurut Kepala Desa, ketika maraknya aksi-aksi pengejaran antara aparat kehutanan dan masyarakat yang berujung hingga penangkapan, kelompok arisan perempuan ikut menjadi sasaran dalam aksi tersebut. “Pada saat kelompok arisan perempuan mengadakan pertemuan, aktifitas tersebut tiba-tiba dibubarkan oleh aparat, dengan tuduhan aktifitas pengorganisasian tersebut adalah Komunis” (Supriyanti, 37 Th). Padahal, sama sekali tidak ada kaitanya kegiatan arisan yang dilakukan oleh kelompok perempuan tersebut dengan konflik yang saat itu tengah bergejolak.

“……sebagai seorang pendamping, saya juga merasakan hawa kecurigaan tersebut ketika kami mengadakan pertemuan dengan beberapa masyarakat perwakilan dari 8 Desa di desa  Bandung Jaya pada tanggal 16 Mei lalu. Tampak seorang intel tengah memperhatikan kami yang tengah berdiskusi malam itu. Menggunakan pakaian samaran dan mengambil beberapa foto sesaat kami berdiskusi”…[6]

Hal tersebut tentu sangat menggangu aktifitas sehari-hari masyarakat di desa. Tuduhan kepada masyarakat yang dianggap sebagai komunis dan kekerasan verbal lainnya kerap terjadi di desa. Dan selama ini, proses penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat di 8 desa tersebut tidak pernah di fasilitasi dari pihak luar. Apakah bentuknya mediasi atau negosiasi dan atau bahkan pendampingan hukum untuk masyarakat desa yang tertangkap, belum pernah hadir ditengah-tengah konflik yang sedang bergejolak.

Salah satu aksi protes yang pernah dilakukan oleh masyarakat yakni tatap muka dengan pemerintah dan aparat untuk melepaskan seorang warga yang ditahan dengan tuduhan sebagai perambah. Masyarakat juga mendesak agar aparat tidak lagi melakukan aksi penangkapan kepada warga desa, sebab masyarakat telah melakukan pengaduan kepada pihak Ombudsman Bengkulu. Aksi ini diinisiasi dan dipimpin oleh Supriyanti. Supriyanti mengatakan bahwa ia berani menurunkan 1000 orang warga untuk men-demo aparat dan pemerintah jika aksi kejar-kejaran dan penangkapan warga desa masih terus dilakukan.

Selain aksi protes tersebut, ternyata selama ini Supriyanti dan beberapa warga desa lainnya juga telah melakukan proses negosiasi dengan pemerintah daerah dan pemangku kawasan TWA Bukit Kaba (BKSDA Kabupaten Kepahiang). Proses negosiasi tersebut adalah untuk mencapai sebuah kesepakatan.  Bahwa masyarakat tidak mungkin untuk tidak berkebun dilahan yang selama ini telah dikelola oleh masyarakat itu sendiri dan secara turun temurun di wariskan kepada anak-cucunya. Dan yang saat ini pula diklaim sebagai kawasan konservasi. Karena, satu-satunya sumber penghidupan masyarakat di desa adalah dengan memanfaatkan hasil bertani dan berkebun. Sedangkan pemeritah dan pemangku kawasan memiliki wewenang untuk menjaga hutan agar tetap bersih dari jangkauan masyarakat.

Maka kesepakatan yang saat itu terjadi adalah, untuk menjaga status dan fungsi ekologis hutan maka masyarakat yang berkebun di dalam kawasan harus menanam tanaman keras, dengan berbagai macam tanaman kayu. Seluruh bibit tanaman kayu tersebut akan disediakan oleh pemerintah. Dan masyarakat setuju dengan kesepakatan tersebut. Meskipun pada akhirnya kesepakatan tersebut tidak berujung baik, sebab tanaman kayu yang disediakan oleh pemerintah ternyata mematikan tanaman kopi, sayur dan palawija masyarakat. Sehingga meskipun masyarakat telah berhasil melakukan negosiasi, namun hal tersebut tidak benar-benar mampu meretas konflik yang ada.

Dari cerita yang dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Supriyanti memiliki power[7] yang kuat sebagai seorang perempuan. Perjuangannya dalam memajukan perempuan dan menyelesaikan konflik yang terjadi bukan hanya di desa dimana ia memimpin, tapi juga desa-desa lainya, menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk melakukan perjuangan dalam mempertahankan hak mereka sebagai masyarakat trans. Ia membangun gerakan akar rumput sejati yang berprinsip ke arah pembebasan, kesetaraan dan kebersamaan.
“Inspirasi sederhana bagi akar rumput adalah sikap peduli sesama. Dengan kepedulian terhadap sesama, tentu akan menginspirasi orang-orang untuk melakukan kegiatan yang berdampak positif. Jaringan kepedulian dan kesamaan rasa akan terbina dengan sendirinya. Dan masyarakat adalah sumber daya sosial yang paling kuat dalam perjuangan”.
 

[2] Satu dari 8 desa yang berkonflik. Desa Bandung Jaya secara definitif menjadi desa secara resmi pada tahun 2013 dan merupakan desa pemekaran dari Desa Bandung Baru.
[3] Menurut warga setempat, daerah sengkuang dulunya merupakan bagian dari Objek Transmigrasi Tanah Bengko yang luasnya mencakup 3 Kabupaten di Bengkulu. Daerah Sengkuang yang kemudian terkenal sebagai salah satu wilayah transmigran ini merupakan
[4] Sentana-Dalem (Pangeran), yakni mereka yang berdarah raja
[5] Golongan petani yang menguasai tanah, yang menanggung beban-beban atas tanah berupa pajak dan kerja bakti pada priyayi atau raja sendiri (Ong Hok Ham, 1983:65)
[6] Catatan lapangan pendamping; Pramasti ayu kusdinar
[7] Kekuatan mempengaruhi