Sejak tahun 2015, Akar bekerjasama dengan Scale Up[1] mendorong penyelesaian konflik sumber daya alam dan agraria di kawasan hutan. Kerjasama ini bertujuan untuk merubah konflik menjadi mitra sejajar yang saling menguntungkan dan dapat menanggulangi kemiskinan bagi masyarakat.
Saat ini, potret konflik yang dihadapi masyarakat baik di Bengkulu, Riau maupun Jambi yang di damping oleh Akar maupun Scale Up memiliki tipologi konflik yang sama, yakni kehilangan dan keterbatasan akses untuk mengelola sumber-sumber kehidupannya di sekitar hutan. Klaim tumpang tindih wilayah kelola rakyat dengan berbagai jenis status kawasan yang dipangku oleh pihak swasta maupun pemerintah menjadi fondasi argument dalam melanggengkan konflik. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan antara sudut pandang, kepentingan, persepsi dll terhadap sumber daya tersebut.
***
Selama ini, Akar bersama Scale Up telah melakukan proses penguatan kapasitas dan keterampilan masyarakat yang menangani konflik dengan memberikan berbagai pelatihan terkait pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia, Metode Resolusi Konflik, FPIC dan Mekanisme Whakatane yang merupakan hal fundamental untuk menjinakan konflik.
Pada tanggal 25 September 2017 lalu, akhirnya Akar dan Scale Up menyelenggarakan workshop mendorong kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Kepahiang. Acara ini dihadiri oleh masyarakat dari Desa Teluk Meranti dan Koto Lamo (Riau), Dusun Suo-Suo (Jambi) dan Desa Bandung Jaya, Bandung Baru, Suka Sari, Sumber Sari, Bukit Sari, Mekar Sari, Tugu Rejo dan Sidorejo (Kepahiang). Dan diramaikan juga oleh beberapa stakeholder penting di Kabupaten Kepahiang dan Bengkulu seperti Wakil Bupati, Bappeda, KPHK Bukit Kaba Kepahiang, DPRD Kab. Kepahiang, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bengkulu, Ombusdman RI Perwakilan Bengkulu, BKSDA Provinsi Bengkulu serta rombongan dari Direktorat KSDAE KLHK. Tujuan dari acara tersebut adalah tersusunnya agenda bersama untuk mempercepat proses kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi di masing-masing provinsi.
Pada sesi pertama, acara workshop tersebut melakukan internalisasi tentang kawasan konservasi, pola-pola pemberdaayan masyarakat disekitar kawasan konservasi, skema-skema kolaborasi dan peluang kebijakannya yang di paparkan oleh perwakilan dari direktorat KSDAE, yakni ibu Dyah Murtiningsih M, Hum sebagai Kasubdit Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Sedangkan narasumber yang lain seperti Emil Ola Kleden memberikan gambaran kepada peserta mengenai definisi hak dan wewenang masyarakat sebagai warga Negara.
Kemudian, Koesnadi yang mewakili Staf Ahli PPSA Gakum KLHK mendeskripsikan konflik pada tingkat tapak hingga pada meja advokasi di pusat. Berbeda dari ketiga narasumber tersebut, nara sumber terakhir adalah Kepala Desa Bandung Jaya Kecamatan Kabawetan, yakni ibu Supriyanti. Dengan tegas ibu Supriyanti menceritakan konflik yang dihadapi oleh masyarakat trans Sengkuang tersebut di delapan desa yang sejak orde baru di buru oleh aparat kehutanan hingga berjatuhan korban dan bagaimana perlawanan yang dilakukan masyarakat selama proses kriminalisasi tersebut berlangsung.
Sebelum acara ditutup, terdapat sesi eksplorasi dalam bentuk diskusi kelompok antara masyarakat dengan para pihak. Diskusi ini menjadi poin penting dalam acara workshop tersebut. Karena dalam diskusi kelompok, peserta diminta untuk melakukan; pertama, analisa persoalan penguasaan agrarian/hutan di masing-masing wilayah kelola masyarakat. Hal ini berkaitan dengan latar belakang konflik yang berbeda-beda, dampak konflik yang dirasakan masyarakat, peta actor dan sejauh apa penyelesaian konflik dilakukan. Kedua, mengidentifikasi Prasyarat dan indikator pengelolaan Hutan kolaboratif, mulai dari tata kelola hingga tata produksi. Dan yang ketiga, menguraikan mekanisme kolaboratif yang diingikan oleh masyarakat dengan mengukur kapasitas dan keterampilan masyarakat itu sendiri.
Hasil dari diskusi kelompok ini menjadi rekomendasi kepada Direktur Jendral KSDAE KLHK untuk segera merespon konflik yang terjadi di tiga daerah tersebut. Jika merunut dari aturan hukumnya, maka kolaborasi di kawasan konservasi ini sangat memungkinkan untuk dilakukan. Namun, kita mesti menunggu kebijakan turunannya untuk mengatur hal-hal teknis dalam melakukan kerja-kerja kolaboratif di kawasan konservasi di kemudian hari.
[1] Scale Up adalah Lembaga independen yang didirikan untuk mendorong terlaksananya pembangunan social yang akuntable dan berkelanjutan melalui kemitraan (partnership) yang dinamis guna terciptanya tata pengaturan kehidupan social yang baik dan kesejahteraan social yang berkeadilan