Oleh: M.A. Prihatno

Seakan sudah menjadi suatu kelatahan ketika persoalan pembangunan berkelanjutan kembali, untuk yang kesekian kalinya, dijadikan bahan pembicaraan dalam berbagai momen dan peristiwa. Berbagai macam peristiwa diciptakan oleh berbagai pihak mulai dari seminar, diskusi, dialog publik sampai dengan menjadi bahan diskusi ringan di kedai-kedai kopi yang dilakukan oleh para aktivis.

Namun, hingga saat ini, kesalahan tentang penerapan pembangunan terus saja dilakukan. Lingkungan sebagai bagian yang tak mungkin terpisah dari kehidupan manusia terus saja diperkosa hingga tubuhnya terhina hingga lingkungan tidak lagi menampakkan keanggunan tubuhnya. Berbagai data dari para pihak mengenai tubuh lingkungan yang telah ternoda bukanlah suatu yang tersembunyi dan rahasia, data tersebut menganga-terkuak dengan jelasnya di mata para pihak.
Fenomena seperti ini bukanlah bualan belaka. Sebagai sebuah contoh menarik, sekedar untuk membuktikannya, adalah: film Sexy Killer yang hingga saat ini telah ditonton oleh sekitar 27 juta orang. Sebuah film dokumenter yang cukup fenomenal di era sekarang. Apa yang bisa kita catat dari fenomena film ini?
Bahwa kuantitasi yang cukup besar telah menyaksikan, melalui film ini, bagaimana lingkungan telah diperkosa dengan semena-mena hingga pertanyaan berikutnya adalah “Apakah ada signifikansinya dengan perbaikan lingkungan?, sudahkah lingkungan dijadikan ibarat kekasih pendamping hidup atau ibarat anak kandung yang disayang?”. Dan, untuk menjawab pertanyaan itupun bukan pula hal yang sulit.
Lalu…. ???
Azam sengaja memaparkan hal yang sedemikian untuk menunjukkan bahwa issue lingkungan hidup termasuk juga pembangunan ekonomi hijau (green economic development) sudah sangat sesak mengisi ruang kehidupan manusia bahkan terasa miris ketika issue tersebut menjadi komoditi politik yang strategis untuk dikonversi dengan elektabilitas bagi para politisi.
Selain itu, paparan di atas, juga ditujukan agar para pihak mengurangi porsi kampanye/sosialisasi terhadap issue-issue lingkungan dengan memperbesar porsi konsolidasi kekuatan yang mampu “menyerang” para pemerkosa tubuh lingkungan.
Nah, apakah saat ini, konsolidasi tersebut tidak ada?
Hmmmm…. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Azam, coba memulainya dengan menjabarkan makna konsolidasi.
Konsolidasi dapat dimaknai sebagai upaya yang dilakukan untuk memperkuat, mempersatukan dan mengikat sesuatu hingga menjadi kekuatan yang mampu mencapai tujuan dari konsolidasi itu. Dengan pemaknaan seperti ini maka kita dapat dengan mudah untuk menjawab pertanyaannya.
Dan, jawabannya adalah kurang lebih sebagai berikut: bahwa upaya untuk memperkuat, mempersatukan dan mengikat harus diakui sudah jamak dilakukan namun apakah upaya tersebut telah mampu membuahkan kekuatan?
Mari coba kita kaji lebih lanjut….
Sesuatu bisa dapat dikatakan memiliki kekuatan apabila yang ada di luar kekuatan adalah dapat diidentifikasi sebagai kelemahan atau yang lemah.
Untuk konteks pembahasan kali ini, dapat dijabarkan dengan penyampaian berikut, yaitu: konsolidasi para pihak belum dikatakan berhasil kalau belum mampu mengidentifikasi apa saja yang menjadi indikator kekuatan terkait dengan issue lingkungan atau Pembangunan Ekonomi Hijau dan apakah yang kontra dengannya pun mampu diindikatori sebagai telah lemah?.
Melalui upaya serius dan mendalam untuk menyepakati beberapa indikator kekuatan para pihak inilah yang menjadi alat evaluasi kekuatan. Untuk memudahkan menyusun indikator itu maka harus diusahakan untuk menyepakati asumsi-obyektif sebagai landasan/dasar dalam menyusun indikasi.
Dalam hal ini, Azam, menawarkan sebuah asumsi-obyektif sebagai berikut; bahwa Pembangunan Ekonomi Hijau selalu terkendala oleh kekuatan yang maha dahsyat yaitu korporatokrasi sebuah kekuatan yang memiliki kemampuan mumpuni untuk “menjajah” keagungan Pembangunan Ekonomi Hijau.
Asumsi inilah hendaknya yang melandasi para pihak dalam memproses konsolidasinya dengan menggunakan metodologi yang telah dipaparkan di atas.
Bisa saja asumsi-obyektif di atas tidak disepakati dan menggantinya dengan yang lain. Namun, hendaknya dalam menyepakati asumsi-obyektif harus diawali dengan kesadaran akan potensi kekuatan yang dimiliki.
Apapun asumsi-obyektif yang disepakati sangat menentukan indikator yang tersusun dan dengan sendirinya dapat diprediksi susah atau mudahnya “kerja-kerja” konsolidasi.
Langkah konsolidasi yang tidak dapat dikatakan mudah adalah untuk menghimpun para pihak karena para pihak sendiri termaknai sebagai keragaman, baik itu keragaman orientasi, kepentingan, potensi dan lain sebagainya, tapi bukan berarti tidak dapat dilakukan.
Bagaimana caranya…?
Para pihak dapat dihimpun apabila keragaman justru menjadi rangkaian potensi kekuatan yang potensial untuk dikaitkelindankan menjadi “bangunan konsolidatif”.
Nah, dari jabaran di atas tergambar dengan sangat gamblang bahwa diperlukan langkah-langkah lanjutan kalau konsolidasi para pihak dianggap hal yang strategis dan urgen.
Di bagian akhir paparan ini, Azam, ingin menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Bahwa lawan terbesar dari Pembangunan Ekonomi Hijau adalah Korporatokrasi, oleh karenanya inilah yang mengharuskan para pihak melakukan konsolidasi.
  2. Sudah saatnya menghentikan memberikan penghargaan (award) kepada pejuang lingkungan. Hal ini bukan berarti tidak mengapresiasi perjuangan mereka tapi untuk menegaskan bahwa perjuangan ini belum selesai dan belum ada yang boleh untuk dipahlawankan.
  3. Justru penghargaan (award) dapat diberikan kepada penjahat dan pemerkosa lingkungan. Inipun diberikan bukan berarti mengapresiasi kejahatan mereka tapi untuk menjelasgamblangkan “siapa mereka”.
  4. Penghargaan (award) kepada penjahat dan pemerkosa lingkungan diberikan kepada mereka yang mengeluarkan kebijakan dan pelaksananya.
  5. Untuk itu harus tercipta momen seremonial-konsolidatif akbar untuk memproklamasikan para penjahat & pemerkosa lingkungan. Dan, Azam, menamakannya dengan Upacara penyerahan “PENJAHAT LINGKUNGAN Award”.

Siapa saja person yang akan mendapatkan penghargaan tersebut…..???
Untuk hal ini mari kita bicarakan pada kesempatan lain.