Oleh : Sugian Bahanan _

Kondisi obyektif kabupaten lebong sekarang adalah adanya 75 % kawasan hutan yang terproteksi. 75% kawasan hutan ini terdiri, dari wilayah TNKS, wilayah hutan lindung,  Keseluruhan kawasan ini menjadi semacam pisau bermata dua, kenapa demikian, pertama dengan keberadaan kawasan lindung yang dilindungi oleh pemerintah ini, akan membawa dampak ekologis yang baik, karena mengikuti sifat dari hutan tersebut, sehingga akan terjaganya tatanan ekosistem yang memadai bagi kelangsungan dari mata rantai ekosistem itu sendiri, tentu hal ini adalah dampak positif dari keberadaan kawasan hutan yang dilindungi negara.

 Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya konflik vertikal antara masyarakat yang berada dikawasan buffer zone, yang membutuhkan tanah pertanian dalam menghidupi ekonomi keluarga, dengan pemerintah selaku pemangku kebijakan yang setiap saat akan berusaha melindungi kawasan tersebut dengan….. alasan kelestarian hutan. Konflik seperti ini akan muncul terus menerus selama pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak menerapkan kearifan dalam menetapkan kebijakan perlindungan terhadap kawasan hutan lindung, dimana dalam konteks permasalahan ini adalah kebutuhan petani dipinggiran kawasan hutan yang dilindungi akan tanah pertanian yang produktif, kemudian kebutuhan Negara akan hutan yang lestari.

 Jika melihat pola kebijakan pemerintah Lebong selama ini dalam mengelola kawasan hutan, dapat dikatakan belum mampu menemukan titik tengah yang memadai antara kebutuhan petani dengan kebutuhan pemerintah. Malahan yang terjadi adalah, berlakunya pola yang lebih mengarah pada kebijakan pengelolalaan hutan yang fasis, dengan meniadakan peran masyarakat di setiap kebijakan pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan lindung.

 Sesuai dengan apa yang telah disebutkan di atas, Kabupaten Lebong, khususnya kawasan TNKS, pada posisi awal merupakan wilayah garapan masyarakat lokal, yang dalam kondisi culturalnya telah memenuhi unsure perlindungan dan pengelolaan sesuai dengan kearifan yang mereka miliki (local wisdom). Pada proses perkembangan berikutnya, pada tahun 1926 pemerintah hindia belanda menetapkan kawasan kelola masyarakat tersebut menjadi kawasan hutan lindung atau sering disebut sebagai hutan batas BW (Bosswesen). Kemudian pada tanggal 6 maret tahun 1980, melalui pernyataan bersama departemen pertanian, menteri Negara PPLH, dan menteri Negara riset dan teknologi, membuat strategi konservasi alam Indonesia dengan ditetapkan kawasan ini menjadi kawasan taman nasional. Pada tahun 1982 melalui kongres taman nasional sedunia ke III di bali, maka dikeluarkan SK menteri pertanian no.736/mentan/X/1982, yang menetapkan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) seluas 1.484.660 ha dengan peruntukan hutan; Cagar alam (299.970 ha), Kawasan Suaka Margasatwa (368.185ha), Hutan Lindung (657.629 ha) serta Hutan Produksi dan hutan peruntukan lainnya (168.185)  dengan pembagian dalam empat provinsi yakni sumatera barat (375.930 ha), Jambi (588.460ha), Bengkulu (310.580ha) dan Sumatera Selatan (209.680 ha) yang berlaku mulai tanggal 14 oktober 1982.

 SK ini mengalami beberapa kali perubahan pada isi dan luasan kawasan TNKS, kemudian melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan registrasi No.901/Kpts-II/1999 tentag penetapan Kawasan Taman Nasional kerinci sebelat, menetapkan luasan Taman nasional ini menjadi 1.375.349, 867 hektar, dengan pembagian 436.036,76 ha berada dikawasan provinsi jambi, 348.125,10 berada di wilayah provinsi sumatera barat, 250.613ha di sumatera selatan, dan 340.575 ha di provinsi Bengkulu.

 Pasca pemberlakuan batas kawasan dan penetapan kawasan taman nasional, ada banyak reaksi yang muncul, reaksi ini berbentuk, pendudukan kembali kawasan oleh petani, perambahan kawasan yang lebih meluas oleh masyarakat yang berada di kawasan buffer zone dan masyarakat pendatang, illegal loging. Pendudukan dan perambahan ini dilatar belakangi oleh tertutup dan terputusnya akses masyarakat terhadap kawasan yang secara historis menjadi wilayah kelola masyarakat adat yang berada di kawasan tersebut.

 Karena proses positivism dan secara hirarkis perundang-undangan maka Negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan mengenai penghapusan dan penetapan wilayah kelola masyarkat lokal (tanah ulayat, atau tanah marga). Pada posisi ini masyarakat mendapatkan dampak yang tidak kentara dalam hal terputusnya akses eknomi, budaya, politik terhadap kawasan hutan atas penetapan dan pengukuhan kawasan hutan (TNKS)ini, sehingga masyarakat adat  jurukalang harus menerima keputusan penetapan kawasan ini.

 Hal ini senada dengan hasil laporan yang disampaikan oleh AKAR Foundation Kepada The Samdhana Institute, bahwa karena masyarkat adat telah melebur ke dalam bangsa Indonesia dan hak ulayat telah menjadi hal ulayat Negara maka tidak lah dibenarkan bila pelaksanaan hal ulayat ini menyebabkan terhalangnya kebutuhan akan tanah untuk pembangunan yang dilakukan oleh Negara , kooptasi pemerintah menetapkan wilayah jurukalang sebagai kawasan konservasi (Taman Nasional Kerinci Sebelat/TNKS) adalah bentuk nyata tergesernya hak ulayat oleh Negara untuk kepentingan konservasi yang selalu didengungkan oleh pemerintah untuk kepentingan Negara yang luas sebagai paru-paru dunia untuk menyuplai oksigen, meskipun masyrakat satu sisi masyarakat yang hidup sejak lama di sekitar kawasan tersebut harus disingkirkan.

Tindakan yang represif

Akibat dari mekanisme pengelolaan hutan yang fasis, maka kejadian yang timbul adalah terjadinya tindakan represif dari pihak pemerintah, dalam hal ini dilakukan oleh para aparat, seperti pengusiran secara paksa masyarakat yang berada di pinggiran hutan (berkebun dikawasan lindung) dalam upaya menghidupi ekonomi keluarganya, modus lain dari pengusiran ini adalah berupa menghilangkan modal berkebun masyarakat yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kerusakan lingkungan, seperti pembakaran pondok, melemparkan tuduhan sebagai pelaku illegal loging bagi masyarakat yang memiliki kayu simpanan, yang disimpan masyarakat jauh sebelum kabupaten lebong di mekarkan.

 Tentu tindakan represif dari pihak aparat ini berada di luar konteks pemanfaatan dan pengelolaan kawasan lindung yang populis dengan proses mengakomodir seluruh kepentingan, baik itu kepentingan pemerintah dalam upaya melakukan pelestarian lingkungan serta kepentingan masyarakat yang berkepentingan pada lahan pertanian.

 Jika diteliti lebih dalam lagi maka hal yang didapat adalah belum adanya mekanisme yang jelas dalam upaya pengelolaan kawasan hutan yang dilindungi oleh Negara, ketidak jelasan mekanisme ini akhirnya menimbulkan tindakan yang represif dengan pelaku utamanya adalah aparat pemerintah itu sendiri, Walaupun telah adanya kebijakan dengan menjadikan kabupaten lebong sebagai kabupaten konservasi, namun bisa dipertegas bahwa belum ada kejelasan yang menyangkut tentang batasan dan keterlibatan masyarakat secara konkrit, maka tentunya pola kebijakan pengelolaan yang top down seperti ini berada di luar konteks pemberdayaan yang kuat dengan melibatkan secara penuh masyarakat yang berada di pinggiran hutan yang di lindungi Negara

Transparansi Pengelolaan dan Kompensasi Bagi Masyarakat.

Ada beberapa aturan besar yang masuk dalam kategori umbrella law (Undang-Undang payung) yang menjadi acuan dalam melakukan proses pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan, dan melihat potensi keterlibatan masyarakat secara penuh. Potensi didalam Undang-undang ini menjadi penting bagi masyarakat yang harus segera di informasikan dan harus menjadi semacam tindakan kongkrit, baik dalam keterbukaan informasi pengelolaan dan kompensasi bagi masyarakat local yang terputus aksesnya terhadap kawasan yang selama ini menjadi sumber penghidupan. Transparansi pengelolaan yang ingin diperlihatkan disini adalah, bagaimana masyarakat secara luas mampu memahami Undang-undang yang berbicara mengenai permasalahan hutan harus benar-benar tahu secara kontens dan arah maunya peraturan tersebut, baik itu ancaman pengelolaan, maupun bagaimana proses pengelolaan tersebut berlansung.

 Semenjak Undang-undang nomor  23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup diganti menjadi Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ada beberapa point penting yang dianggap mampu menunjang dalam proses transparansi pengelolaan, khususnya dalam pasal 62 ayat 1 tentang transparansi hak dalam menerima informasi mengenai proses pengelolaan kawasan lindung, serta pasal 70 didalam BAB XI tentang peran masyarakat dalam hal perlindungan dan pengelolaan kawasan lindung yang berbentuk pengawasan social, pemberian saran, pendapat, usul keberatan, pengaduan, penyampaian informasi dan laporan.

 Bentuk dari proses peran serat masyarakat ini dilakukan untuk meningkatkan kepedulian dalam hal pengelolaan perlindungan lingkungan hidup, meningkatka kemandirian dan keberdayaan masyarakat serta kemitraan, menumbuh kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat dalam hal pengawasan social, mengembangkan dan menjaga budaya lokal dalam rangka pelestarian kawasan hutan.

 Memang dari sisi normatif dalam hal pengelolaan dan perlindungan kawasan lindung yang dikaji di dalam Undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup baik itu didalam undang-undang nomor 23 tahun 1997 dan diganti dengan undang-undang nomor 32 tahun 2009 mengatur tentang hal yang sama seolah-olah tampak tidak ada masalah mengenai pengakuan keberadaan masyarakat dan hak informasi dan hak keterlibatan dalam proses pengelolaan, serta pengakuan untuk masyarakat dalam menjaga kearifannya, Namun hal yang perlu ditegaskan disini adalah, bagaimana hall-hal yang telah diatur mengenai hak masyarakat tersebut dapat berwujud nyata dan masyarakat lokal dapat merasakan dampak positif secara lansung.

Titik tengah dalam pengelolaan

Pada 2007 terbit Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Selanjutnya keluar Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Dasar justifikasi formal ini menjadi landasan bagi Negara khususnya kabupaten lebong  dalam melakukan upaya pemberdayaan dan melibatkan masyarakat dalam hal pengelolaan kawasan lindung.

Jika melihat di dalam aturan yang telah disebutkan diatas maka peluang petani yang berada dipinggiran hutan sangatlah besar, karena yang menjadi catatan utamanya adalah, adanya ketersedian system pengelolaan dan perizinan yang berjangka waktu tertentu. Pola tanaman dalam program ini adalah tanaman budidaya seperti  Kemiri dan tanaman pengayaan lainnya seperti Petai, Jengkol, Pinang, Bambu Betung dan Kapulaga. Tanaman yang di tanam ini merupakan tanaman MPTS (Multi Porpuse Trees Species) atau NTFP (Non Timber Forest Product).

Maka hal terpenting yang bisa diambil didalam  Permenhut No. 37 tahun 2007 ini, adalah mengenai system pengelolaan yang mengarah pada  tiga  hal penting; pertama, ada pemanfaatan secara ekologis dan kedua, pemanfaatan secara ekonomis dan ketiga adalah pemanfaatan secara politis. Secara ekologis adalah tidak adanya proses yang merusak keberadaan ekosistem dikawasan Hutan Kemasyarakatan, karena adanya sifat pembatasan jenis tanaman dan mekanisme pengelolaan yang baik.

Secara ekonomis tersedianya lahan yang cukup dan memadai bagi masyarakat pinggiran hutan, sehingga secara tidak lansung mampu mengatasi kemiskinan akibat dari kurang nya tanah atau lahan pertanian. Pemanfaatan secara politis adalah, pemanfaatan yang berupa kebijakan pengelolaan kelompok, yang berupa adanya mekanisme kelompok yang berupa kelompok tani HKm (Poktan HKm), yang didalamnya berisi unsur kebijakan kelompok, aturan dasar kelompok, serta RTL kelompok dalam melihat permasalahan HKm.

Disamping itu pula pola pengawasan pemerintah terhadap kelestarian kawasan yang dilindungi tentunya akan mengalami perubahan pola, yang selama ini dengan menggunakan pendekatan represif berubah kedalam pola preventif, hal ini dilihat dari sistematika mekanisme pengurusan dalam hal mengelola kawasan lindung, dimana terdapatnya system perizinan dan pencabutan izin. Pola seperti ini mengindikasikan adanya pembatasan pengelolaan, maka hal inilah yang menjadi upaya preventif bagi pemerintah dalam melakukan pengawasan.

Didalam Permenhut No 37 Tahun 2007 ini terdapat  legalitas formal berkaitan dengan izin pengelolaan kawasan hutan lindung maupun hutan produksi , sehingga dengan pola yang bernama HKm ini masyarakat secara lansung akan menerima manfaat dan pemerintah akan terbantukan kerjanya.

Maka melihat adanya celah yang baik yang bisa mengakomodir seluruh kepentingan, baik itu pemerintah maupun masyarakat, maka  hal ini adalah sebagai peluang  bagi pemerintah dalam berkontribusi terhadap perekonomian masyarakat lebong khususnya masyarakat lebong yang berada dikawasan yang dilindungi Negara, serta dapat membantu pemerintah dalam hal melakukan upaya perlindungan terhadap keberlanjutan kawasan hutan yang selama ini cenderung represif dan menghilang peran masyarakat local yang berada dikawasan buffer zone.

Sebagai konsekuensi logis dari ketegasan tersebut diatas, maka hal pertama yang dilakukan adalah menginisiasi serta memfasilitasi masyarakat dan pemerintah khususnya dikawasan hutan lindung.

Selain peraturan menteri mengenai permasalahan HKM diatas, point penting lainnya, adalah mengenai ketegasan transparansi pengelolaan pada kawasan yang dilindungi Negara lainnya, seperti kawasan Taman Nasional, kawasan cagar alam, kedua kawasan lindung yang disebutkan diatas adalah kawasan yang paling luas secara kuantitas berada di kabupaten lebong, tentu jika mengacu pada UUPK nomor 41 tahun 1999 mengenai ruang kompensasi dan ketegasan aturan yang harus diberikan oleh pemerintah lebong mengenai kawasan tanah adat, tentunya harus di realisasikan. Kemudian mengenai akses informasi pengelolaan dan perlindungan yang diatur didalam UU No 32 tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan kawasan lindung, harus menjadi acuan dan warning line bagi pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan.

Namun untuk kondisi sekarang yang paling rasional dan memungkinkan harus dilakukan adalah mengenai HKM, maka pada akhirnya, HKm bisa mempertegas pengelolaan lingkungan yang sustainable (berkelanjutan), dengan memperhatikan aspek ekologis, kemanfaatan bagi masyarakat dapat tercipta, dan ini juga sebagai bentuk suatu keniscayaan bagi kabupaten lebong untuk segera merubah pola kebijakan yang selama ini represif kepada pola kebijakan yang preventif, manusiawi dan berkeadilan, dan hal ini merupakan titik tengah dalam pengelolaan kawasan lindung.