Oleh Erwin Basrin
Babak I
Jam 15.45, tanggal 20 Desember 2013 hari itu hari Jumat, telepon saya berdering dengan nomor kode Jakarta. Di ujung telepon dia bilang ‘saya berbicara dengan Bapak Erwin Basrin’ dan saya jawab ia, kemudian dia bilang saya dari Departemen Kehutanan dan saya akan ke Bengkulu dengan pesawat malam ini bersama teman dari Lembaga Internasional (dengan menyebut nama lembaga itu) konsen terhadap isue kehutanan. ‘Kami berharap anda punya waktu untuk mengantar kami ke beberapa Desa yang bersingungan dengan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Ulu Talo dan Hutan Lindung Bukit Sanggul yang ada di Kabupaten Seluma’, lalu saya jawab ‘kenapa harus saya?’, dan dia bilang ‘karena selama ini kami mengikuti setiap gerak dan kerja anda, progresnya cukup bagus dan kami anggap anda sangat objektif dan tentu atas rekomendasi dari beberapa orang di Jakarta’. Dalam hati saya ini pertanda buruk, karena pasti tidak ada alasan untuk tidak mengantar mereka.
Tanggal 21 Desember 2013 saya dibanguni isteri saya pagi-pagi sekali, kemudian Jam 07.00 WIB mereka menyemput ke kediaman sederhana saya dan tanpa basa-basi kami langsung menuju lokasi yang berada di Kabupaten Seluma, ada 4 orang dalam mobil kami, ada Abang Supir yang tidak suka AC mobil dihidupkan, sepertinya dia perokok berat tentu saja dari perkenalan awal aku mulai menyukai dia, ternyata kesukaan kami sama. Ada Bapak dari Departemen itu, tentu dialah yang telepon saya kemaren, dari penampilan dan nada bicara sepertinya dia cukup pintar dan dihormati di tempat kerjannya. Satu lagi adalah teman dari Lembaga Internasional, tentu saja lembaga ini punya pengaruh besar di tingkat di jaringan internasional, sepertinya dia harus belajar banyak bahasa Indonesia, bahasanya ‘parah’, kami (saya dan dia) lebih banyak mengunakan bahasa isyarat, untungnya dengan bahasa isyarat ini komunikasi kami kemudian lebih lancar.
Babak II
Butuh waktu 4 jam perjalanan dari Kota Bengkulu menuju lokasi, 2 jam tentu kami melewati jalan hotmik, sisanya dari dari jalan Raya lintas Selatan Bengkulu jaraknya cukup dekat hanya berjarak 20 km tapi membutuhkan waktu 2 jam, kondisi jalannya sempit hanya dilapisi batu sebesar kepalan tangan yang berserakan seakan-akan ‘muncrat’ seperti tidak rela untuk kami lewati. Tepat jam 11 kami baru sampai di kediaman Kepala Desa Muara Nibung, sebuah desa yang terletak di pinggis DAS Ulu Talo, karena itulah wilayah ini disebut dengan Daerah Ulu Talo kata Bapak Mardan Jaya Kepala Desa yang pendiam tapi terkesan progresif ini. Di sini tidak ada signal HP, signalnya tertutup oleh Bukit Tebing Durian, signalnya memantul sama seperti suara kami memantul karena terhalang oleh Bukit Tebing Durian kemudian tidak sampai ke telingga pembuat kebijakan di Kabupaten dan Propinsi, akibatnya kami seperti dieliminasi dari ruang-ruang  untuk mengapai kata kesejahteraan katanya berteori sambil mempersilakan kami minum kopi buatan isterinya.
Setelah 1 jam, obrolan kami terputus karena kedatangan Kepala Desa Giri Mulya, Kadesnya Perempuan namanya Lismiati, setelah berbasa basi, Kedes Desa Giri Mulya bercerita bahwa Desanya adalah Desa Tranmigrasi, penduduknya campuran dan kebanyakan dari Bali, Sunda, Jawa dan penduduk asli, secara adminsitratif desa Giri Mulya berbatasan dengan HPT Air Talo dan Hutan Lindung Bukit Sanggul, di peta Desa kami seperti Desa enclave, seperti sebuah titik dalam lingkaran makanya kami tidak bisa kemana-mana sambung ibu Kades yang sehari-harinya memakai kerudung/jilbab ini.
Setelah puas mengobrol dengan dua orang Kepala Desa yang berlainan jenis ini, kamipun diajak berkeliling ke desa-desa tetangganya. Desa disini kecil-kecil karena kebutuhan untuk pemekaran kecamatan terang Ibu Lismiati ketika kami melewati jembatan yang lantainya dari kayu yang sebagiannya telah rapuh. Jembatan ini menjadi penghubung satu-satunya antar desa yang ada di Ulu Talo. Kalau dilihat di jaringan GPS jarak antar desa relatif berdekatan, tetapi untuk mencapai masing-masing desa kita harus memutar jauh mengikuti arah aliran sungai dan ditambah kondisi jalan yang jelek membuat perjalanan menjadi lama. Dari cara kedua Kades ini bercerita dengan kami, tentu saja saya sangat bangga dengan mereka ada keteguhan hati dan mereka memiliki preferensi-preferensi yang stabil terhadap aspek kehidupan tentu tanpa memandang status antar mereka, kultur meski antar mereka berbeda suku, sejarah dan tingkat kesejahteraan dalam ukuran mikro atau ukuran mereka, kedua Kades ini iklas menjadi pemimpin ‘rakyatnya’.
Desa pertama yang kami kunjungi adalah Desa Banyu Kencana dan Giri Nanto, kedua desa ini adalah desa transmigrasi, beberapa rumah tampak tidak berpenghuni. Di Desa Banyu Kencana kami hanya mampir sebentar lalu menuju ke Desa Giri Nanto, di Desa Giri Nanto kami langsung ke kediaman Kepala Desa, ternyata Kepala Desanya juga perempuan. Meskipun Desa transmigrasi Kepala Desanya adalah masyarakat asli, berwajah oriental, cantik dan ramah. Tidak berapa lama kami ngobrol di kediaman Kepala Desa, kami kedatangan tokoh, beliau adalah mantan kepala desa dan merupakan orang tua dari Kepala Desa yang sekarang dan beliau menjabat sebagai Kepala Desa selama 25 tahun. Dia banyak bercerita tantang pengalamannya ketika menjadi Kepala Desa, dia dianggap diktator karena melarang dengan keras masyarakat luar desa/pendatang untuk membuka lahan di areal HPT Air Talo dan Hutan Lindung Bukit Sanggul, termasuk pernah marah-marah dengan arapat ketika melakukan penangkapan kepada masyarakat yang menebang beberapa pohon hanya untuk bahan bangunan rumah mereka. Dari pola pemerintahannya yang keras dan melarang masyarakat untuk membuka lahan di kawasan lindung, barulah sekarang hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat, Desa Giri Nanto saat ini diterangi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang sumber airnya berasal dari DAS Ulu Talo, masyarakat disini tidak perlu membayar listrik dengan rekening yang mahal-mahal seperti kalian di kota yang harus mengikuti pola TDL (Tarip Dasar Listrik), tarip listrik disini 3 kali lipat lebih murah dari yang kalian bayar kata si mantan Kades yang egitator ini.
Dari Desa Giri Nanto, kami kemudian menuju Desa Simpur Ijang dan Mekar Jaya, butuh waktu 1,5 jam menuju dua desa ini, jalannya berlumpur dan batunya seakan mau ‘muncrat’ melempari kami yang melewatinya. Desa Simpur Ijang adalah Desa Masyarakat Asli berbahasa Serawai sedangkan Desa tetangganya Mekar Jaya adalah desa transmigrasi yang sebagian besar berasal dari Jawa Barat, kedua desa ini adalah desa yang berdekatan dengan HPT Air Talo dan Hutan Lindung Bukit Sanggul. Menjelang magrib kami di ajak oleh Perangkat Desa Mekar Jaya jalan-jalan ke Sungai Air Talo, airnya jernih dan ikan berseliwiran, kumpulan monyet berderet duduk di dahan-dahan pohon pingir sungai, hutan hujan tropisnya sangat bagus seperti belum terjamah oleh tangan-tangan manusia. Kunjungan kami kesungai yang membawa ketenangan pada jiwa dan kesegaran pada tubuh ini terganggu oleh suara auman harimau, lalu dengan ketakutan kami kembali ke Desa, baru ketika sampai di kediaman Kepala Desa Mekar Jaya, Bapak Kepala Desa tersenyum dan bercerita bahwa tempat belukar tidak jauh dari tempat kami di sungai itu memang menjadi tempat harimau mencari makan berupa monyet dan ikan.
Babak III
Sebelum pulang ke Bengkulu kami harus mengantar Kepala Desa Muara Nibung dan Kepala Desa Giri Mulya kembali ke desanya. Sebelum pulang kami disuguhi makan oleh isteri Kepala Desa Muara Nibung, jam saya menunjukan pukul 22.15 WIB, ditengah guyuran hujan kamipun kembali ke Kota Bengkulu. Dari kunjungan singkat ke 6 desa ini, saya mulai berpikir tentang Teorinya Malthus tentang ketersediaan pangan dan pertambahan penduduk merupakan salah satu faktor penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan, yang katanya peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung (aritmetik) dan pertambahan penduduknya mengikuti deret ukur (geometrik), mungkin ada ben arnya juga, tapai jika teori ini diproyeksikan kepada 6 desa ini, lalu jika alat produksi pangan ini adalah tanah maka ternegasilah teori si Malthus, artinya ada satu indikator bahwa masyarakat disini hukumnya sudah wajib Sejahtera karena ketersediaan lahan yang cukup luas sementara pertambahan penduduknya secara numerik pada posisi normal. Lalu pikiran nakal saya bertanya mungkinkah penyebabnya adalah kata-kata yang tidak bermakna dan selalu digaungkan oleh pemangku kebijakan selama ini hanya melayani kepentingan-kepentingan korporasi dan negara? Lalu kata-kata itu ibarat matra yang membuat kekacauan kemudian melahirkan proses eliminasi, isolasi kemudian mereka yang ada di UluTalo ini didiamkan untuk menikmati proses pemiskinan struktural.?
Sambil menikmat ayunan dan goncangan kemarahan jalan berbatu ditengah guyuran hujan, ada banyak yang kami diskusi diantaranya bagaimana memastikan masyarakat 6 desa dan masyarakat sekitarnya untuk menguasai alat produksi (tanah) secara maksimal kemudian mencoba mengintervensi intensifikasi pemanfaatan lahan dan sesekali melakukan proses perubahan sosial melalui pendampingan, sesekali buat pelatihan, pelatihan apa saja yang penting adalah pelatihan yang tujuannya tentu saja mencari format sehingga mereka yang dibenamkan dalam ‘kebudayaan bisu’ akan menjadi pelaku yang sadar kemudian menggeluti dunia dan realita dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta yang berorientasi pada pengembangan bahasa pikiran kritis mereka.
Saya harus selesaikan tulisan laporan perjalanan ini, karena akan terlalu panjang danngaur nantinya, karena tidak ada bedanya saya menulis atau tidak, toh.! mereka yang ada di 6 desa yang hanya sebentar saya kunjungi itu akan berusaha mencari-cari makna yang lain, bahkan dari kebisuan saya dan kebisuan mereka, jadi lebih baik saya disini saja, menunggu, dan memandang photo bukit tebing durian yang membuat signal HP itu terhalang, dan bukit itu ternyata sungguh indah.