AKAR – Gubernur Bengkulu H. Junaidi Hamsyah, S. Ag, M. Pd mengungkapkan, wajar bila rakyat Indonesia sulit untuk sejahtera atau makmur. Sebab, konsep yang digunakan negara beberapa waktu lalu mirip dengan konsep di surga. Bersifat top-down. Yang mana, akar pohon berada di atas dan buahnya di bawah. Konsep tersebut, nilai Junaidi, tidaklah cocok untuk diterapkan di bumi.

“Saya melihat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa ini kebalikan dari konsep surga tersebut. Jadi, akarnya di bumi. Dengan kata lain, kemakmuran harus dimulai dari desa. Kalau desa makmur, maka kota akan ikut makmur. Sebagaimana kita ketahui, kota itu tidak ada apa-apanya. Yang memiliki sumber daya adalah desa,” ujar Junaidi, Selasa (24/6).

Junaidi menyampaikan hal tersebut saat memberi sambutan pada Seminar “Membaca Logika Desentralisasi Resolusi Konflik dan Pemberdayaan Melalui UU Desa di Gedung Serba Guna Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) Bengkulu. Kegiatan yang difasilitasi Perkumpulan HuMa dan Yayasan Akar yang didukung Pemda Provinsi Bengkulu tersebut dihadiri sekitar 100 orang yang merupakan perwakilan akademisi, pimpinan SKPD, kepala desa, tokoh adat, aktivis LSM dan mahasiswa.

Memang, lanjut Junaidi, konsep sentralisasi yang digunakan negara telah dibenahi dengan menggunakan konsep desentralisasi (otonomi daerah). Namun, implementasi konsep desentralisasi tidak berdampak signifikan. Masalah ketidaksejahteraan masih dialami masyarakat pedesaan. Sehingga, upaya mengkritisi konsep desentralisasi mutlak diperlukan.

“UU Desa ini mengkritisi konsep desentralisasi atau otonomi daerah. UU Desa ini membahas otonomi sebenarnya. Yakni, otonomi desa. Walau masih menggunakan dana-dana APBN, namun kewenangan untuk mengatur diri sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki telah diberikan kepada pemerintah desa,” kata Junaidi.

Junaidi menambahkan, penerapan UU tentang Desa tersebut sudah di depan mata. Oleh karena itu, upaya melakukan penguatan-penguatan bagi aparatur pemerintah desa terkait substansi UU tentang Desa sangat dibutuhkan. Untuk itu, Junaidi meminta agar Perkumpulan HuMa dan Yayasan Akar dapat terus membantu memfasilitasi upaya penguatan tersebut.

“Saya minta kegiatan ini (seminar) bukan menjadi kegiatan yang pertama dan terakhir, tapi merupakan kegiatan pertama untuk selanjutnya akan dilakukan berbagai kegiatan lainnya seperti seminar, workshop atau lainnya. Upaya penguatan itu sangat diperlukan agar penyelenggaraan pemerintahan desa tidak menyimpang atau menyalahi aturan dan perundang-undangan, dan terbukti mampu mensejahterakan masyarakat,” ujar Junaidi.

Dapat Bentuk Desa Adat

Sebelumnya, Direktur Perkumpulan HuMa Andiko mengatakan, lahirnya UU tentang Desa telah memberikan peluang dan tantangan baru bagi pemerintah dan masyarakat. Bukan hanya terkait pengelolaan keuangan yang langsung dikucurkan pemerintah pusat ke pemerintah desa, tapi juga adanya pengakuan kewenangan desa dan desa adat untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara mandiri.

“Dan sudah menjadi tanggungjawab pemerintah provinsi dan daerah untuk membantu pemerintah desa agar bisa mengelola sumber daya yang dimiliki desa dengan memfasilitasi hal-hal yang bersifat administrasi dan lainnya. Pelaksanaan tanggungjawab tersebut dapat dijadikan bukti keseriusan pemda provinsi dan kabupaten untuk mensejahterakan masyarakat desa,” terang Andiko.

Andiko menambahkan, UU No 6 tentang Desa juga mengatur tentang Desa Adat. Hal tersebut menjadi peluang dan tantangan bagi masyarakat hukum adat untuk membentuk Desa Adat dan mengelola sumber daya yang dimiliki berdasarkan hukum adat. Apalagi Putusan MK No 35 tahun 2012 juga menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat.

“Pemerintah provinsi dan kabupaten juga berkewajiban mendukung masyarakat adat yang ingin memanfaatkan peluang tersebut dengan memfasilitasi tahapan-tahapan yang perlu dilalui masyarakat adat,” kata Andiko. (dedek hendry)