Oleh Dedek Hendry (Dewan Guru SPHR-Bengkulu)

“Pluralisme hukum tidak datang untuk mengembangkan sistem hukum yang baru. Pluralisme hukum mengkritik kedudukan negara terhadap organ-organ yang lain.”

 –   Sandoro Purba

Selain memfasilitasi serial diskusi, SPHR-Bengkulu bersama Rumah Literasi Yayasan Akar berinisiatif memfasilitasi kegiatan bedah buku. Sebagai permulaan, kegiatan dilakukan terhadap buku berjudul “Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin”. Kegiatan yang dilakukan di ruang pertemuan III Gedung Rektorat Unib pada Kamis (21/8) itu menghadirkan Pengelola SPHR Perkumpulan HuMa Sandoro Purba, SH dan Akademisi Fakultas Hukum Unib Andry Harijanto, SH, M. Si sebagai narasumber. Berikut petikan-petikan materi yang disampaikan Sandoro.

Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin, ujar Sandoro mulai memaparkan materi, terdiri dari empat bagian. Bagian pertamanya adalah Pengantar. Tulisan yang menjadi pengantar berjudul “Pluralisme Hukum dalam Diskursus Akademik dan Gerakan Pembaharuan Hukum”, karya Rikardo Simarmata. Si penulis adalah pendiri dan anggota Perkumpulan HuMa yang banyak melakukan penelitian dan menerbitkan karya ilmiah dan buku mengenai pluralisme hukum.

Sedangkan bagian keduanya, ujar Sandoro, adalah Konsep-konsep Dasar Pluralisme. Dalam bagian kedua, terdapat lima tulisan. Pertama, tulisan karya Keeben Von Benda-Beckmann dengan judul “Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis”. Benda-Beckmann adalah Honorary Profesor untuk Pluralisme Hukum di Universitas Halle yang banyak melakukan penelitian. Salah satu bukunya berjudul “Goyahnya Tangga Menuju Mufakat”.

Tulisan kedua, lanjut Sandoro, berjudul “Sejarah Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya”, karya Sulistyowati Irianto. Penulis adalah pengajar tetap pada Fakultas Hukum UI yang banyak melakukan penelitian dan menuliskan karya ilmiah dan buku. Salah satu buku yang ditulisnya dari hasil penelitian di Sumatera Utara berjudul “Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum”.

Lalu, sambung Sandoro, tulisan ketiga merupakan karya John Griffiths dengan judul “Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual”. John Griffiths adalah guru besar emeritus di bidang Sosiologi Universitas Groningen yang menggeluti pemikiran mengenai pluralisme hukum. Salah satu karyanya yang berjudul “What is Legal Pluralism” yang membuka tabir awal pluralisme hukum.

Untuk tulisan keempat, kata Sandoro, berjudul “Apakah Pluralisme Hukum Itu? Sebuah Tinjauan Epistemologis”, karya Martha-Marie Kleinhans dan Roderick A. McDonald. Kleinhans adalah dosen Fakultas Hukum di Universitas Reading Inggris dan McDonald adalah akademisi yang banyak menjabat pada posisi strategis di sejumlah universitas di Canada.

Dan tulisan kelima, tambah Sandoro, merupakan karya Gordon R. Woodman dengan judul “Mungkinkah Membuat Peta Hukum?”. Woodman adalah Profesor Emeritus Comparative Law pada Universitas Birmingham, Inggris dan pernah mengabdikan di fakultas hukum di Ghana, Nigeria, USA, Papua Nugini, Barbados dan Mauritius.

Untuk bagian ketiga, ujar Sandoro, adalah Tema-tema Aktual, Antar Sistem Hukum dan Gerakan Pluralisme Hukum. Bagian ketiga ini mencakup dua tulisan. Pertama, “Pluralisme Hukum dan Dinamika Hak Atas Properti”, karya Ruth S. Meinzen-Dick dan Rajendra Pradhan. Meinzen-Dick adalah anggota peneliti senior pada International Food Policy Research Institute, sedangkan Rajendra Pradhan adalah antropolog yang menggeluri pluralisme hukum.

Lalu, tulisan kedua merupakan karya Ronald Z. Titahelu dengan judul “Pengakuan Hukum Terhadap Pengelolaan Lokal Maupun Tradisional atas Sumber Daya Pesisir Sebagai Syarat Untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Masyarakat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil”. Titahelu adalah dosen senior di Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Maluku dan pindah tugas ke Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Sulawesi Utara.

Sedangkan bagian keempat adalah Pluralisme Hukum dalam Gerakan Sosial Hukum dengan tulisan yang berjudul sama dengan epilog bagian keempat. Yakni, “Pluralisme Hukum dalam Konteks Gerakan Sosial”, karya R. Herlambang Perdana dan Bernadinus Steny. Herlambang Perdana adalah anggota perkumpulan HuMa dan Dosen Hukum Tata Negara, Hukum Masyarakat dan Hak Asasi Manusia di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Sedangkan Steny adalah anggota perkumpulan HuMa.

Bukan Untuk Mengembangkan Sistem Hukum Baru

Dari isi buku, Sandoro melanjutkan, terungkap bahwa banyak disipllin ilmu lain yang mengkritisi hukum. Sikap mengkritisi tersebut berangkat dari fakta bahwa banyak orang yang merasa tidak puas terhadap hukum yang bersifat sentralisme atau otoritarianisme yang diterapkan negara. Paham sentralisme atau otoritarianisme hukum tersebut telah mengabaikan realitas di lapangan. Bahwa ada aspek-aspek lain yang mengatur tingkah pola masyarakat dan memberikan pedoman kepada masyarakat untuk bertindak. “Tidak serta merta hanya pada hukum yang dikeluarkan oleh negara,” kata Sandoro.

Satu hal yang menjadi kata kunci kajian puralisme hukum, lanjut Sandoro, bahwa pluralisme hukum bukanlah sistem hukum. Pluralisme hukum merupakan pendekatan yang melihat realita hukum yang hidup di masyarakat yang disandingkan dengan konsep hukum yang diberlakukan oleh negara. “Pluralisme hukum tidak datang untuk mengembangkan sistem hukum yang baru. Pluralisme hukum mengkritik kedudukan negara terhadap organ-organ yang lain,” terang Sandoro.

Merujuk pada tulisan Griffiths yang tertuang di dalam buku, sambung Sandoro, diketahui ada tiga teori atau konsep yang membahas kelompok-kelompok lain di luar negara yang juga membentuk hukum. Pertama, teori Korporasi yang dikembangkan M.G Smith. Korporasi yang dimaksud adalah kelompok atau satuan politik di setiap tingkatan. Misalnya di Papua, kelompok tersebut meliputi marga, dan suku yang dibentuk dari beberapa marga. “Ada aspek-aspek pengaturan yang berbeda dari setiap tingkatan tersebut, tergantung pada struktur. Pada marga, mereka mengabdi pada aturan tertentu, dan pada suku, mereka juga mengabdi pada aturan tertentu pula,” kata Sandoro.

Kedua, teori Hukum yang Hidup yang dikembangkan Eugene Ehrlich. Menurut teori ini, ada hukum yang hidup di masyarakat, tanpa harus dibentuk atau dibuat sebuah produk hukum. Dan ketiga, teori Wilayah Sosial Semi Otonom yang dikembangkan Sally Falk Moore. Teori ini melihat unit atau kelompok sosial yang ada di masyarakat dan bagaimana hukum yang hidup pada kelompok sosial tersebut. Menariknya, teori ini juga melihat kelompok-kelompok sosial tersebut tidak mutlak berdiri sendiri. Misalnya, di satu sisi dia berdiri di negara, di lain sini juga berdiri di adat.

“Kalau Rikardo Simarmata memberikan contoh pada buku ini, yakni di Aceh. Di kehidupan masyarakatnya, ada yang disebut Kecik atau kepala desa. Kecik ini berhak memungut pajak hasil hutan. Setelah bergabung dengan Indonesia, ditemukan fakta bahwa Kecik tidak lagi menjalankan otoritasnya untuk memungut pajak tersebut secara langsung, tapi meminta bantuan kepada polisi,” kata Sandoro.

Ragam Istilah Hukum di Luar Negara

HuMa, lanjut Sandoro, menemukan beragam istilah mengenai hukum di luar negara. Berdasarkan hasil penelusuran Rikardo Simarmata, setidaknya ada lima hal yang dirujuk dari beragam istilah hukum di luar negara dan pertentangannya. Pertama, merujuk merujuk pada aturan kelompok marjinal atau kelompok kebanyakan orang, maka dikenal istilah folk law, volksrecht, vulgar law, people’s law. Istilah-istilah tersebut dipertentangkan dengan king’s law atau elite’s law. “Kalau ada aturan-aturan raja dan aturan-aturan yang berseberangan dengan aturan-aturan raja, maka aturan yang berseberangan itulah yang disebut folk law,” terang Sandoro.

Kedua, bila merujuk pada aturan yang tidak dikodifikasikan atau berbeda dengan hukum modern, walaupun sudah mendapatkan sentuhan dari hukum modern, dikenal istilah customary law atau adat law. Lawan istilah customary law atau adat law adalah juristenrecht, lawyer’s law, modern law, state law atau formal law. Ketiga, merujuk pada aturan di luar hukum negara, maka dikenal istilah living law, unofficial law atau informal law, yang diperlawankan dengan state law, official law atau formal law.

Keempat, merujuk pada nilai-nilai hukum yang universal, dikenal istilah custom atau law of the people, yang diperlawankan dengan positive law. Dan terakhir, merujuk pada perkembangan peradaban, dikenal pre-law, ancient law atau primitive law. Istilah-istilah tersebut diperlawankan dengan law. “Pada saat sarjana-sarjana hukum Belanda datang ke Indonesia, hukum rakyat kita disebut pre-law. Hukum yang mereka bawa yang mereka hukum,” papar Sandoro.

Penerima Manfaat Sentralisme Hukum

Sandoro menambahkan, ada hal lain yang juga memunculkan kritik terhadap sentralisme hukum. Diketahui bahwa ada tiga pihak yang menerima manfaat besar dari sentralisme hukum. Yakni, kolonialisme, imperalisme dan globalisasi. ”Makanya, Benda-Beckman mempertanyakan haruskah sumber hukum satu-satunya dari negara? Lalu, bagaimana lokalitas atau hukum-hukum yang bersifat lokal? Dan bagaimana hubungan antar hukum?” kata Sandoro.

Sandoro juga mengulas sekilas buku Benda-Beckmann yang berjudul Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Dalam buku tersebut, Benda-Beckman mengungkapkan ternyata masalah hukum tidak hanya soal pemaksaan, tapi juga soal peluang-peluang yang menguntungkan yang bisa diterima oleh orang atau organisasi. “Sebagai contoh di Sumatera Barat, ada Kerapatan Nagari atau Pengadilan Negeri. Ketika ada sengketa tanah, maka orang bisa memilih menyelesaikannya ke Kerapatan Nagari atau Pengadilan Negeri. Benda-Beckmann menyebut fakta tersebut sebagai forum shopping,” ujar Sandoro.

Di ranah banyak hukum yang tumbuh dan memiliki signifikansi atau pengaruh yang sama kuat, tambah Sandoro, akan timbul forum shopping seperti dikemukakan Benda-Beckmann. Misalnya, bila undang-undang nasional memperolehkan izin perkebunan mencapai 20 ribu hektare, sedangkan hukum adat hanya sekian hektare atau jauh lebih kecil dari luasan yang dibolehkan negara, maka orang akan memilih mengikuti undang-undang nasional. Demikian sebaliknya. “Makanya, Benda-Beckmann mengatakan pluralisme hukum perlu diberi perhatian,” kata Sandoro.

Pluralisme Hukum Kritis

Kajian pendekatan pluralisme hukum, sambung Sandoro, juga mengalami perkembangan. Terbaru muncul kajian pluralisme hukum kritis. Bila pluralisme hukum melihat ada sistem hukum di setiap kelompok, maka pluralisme hukum kritis melihat diri seseorang sebagai subjek beragam hukum yang saling berinteraksi. “Misalnya seorang mahasiswa, dia terikat dengan aturan kampus, aturan sebagai warga negara, sebagai anggota keluarga atau suku,” ujar Sandoro. (dedek hendry)

 *Tulisan ini dibuat untuk membantu Sekolah Pendamping Hukum Rakyat – Bengkulu dan Rumah Literasi Yayasan Akar dalam upaya mendokumentasikan kegiatan.