AKARNEWS. Dalam presentasi hasil penelitian yang dilakukan oleh Akar Foundation dan Bahtera Alam yang dilakukan di Desa Sungai Lisai, Sebelat Ulu, Talang Donok dan Talang Donok I, Direktur Eksekutif, Erwin Basrin menyatakan bahwa konflik pemanfaatan dan peruntukan lahan akibat perbedaan pemahaman antara masyarakat dengan Negara (Pemerintah, Pemangku Kawasan). Konflik ini menyebabkan masyarakat di 4 desa tersebut kehilangan ruang hidup dan penghidupan, terbatasnya akses dan kontrol masyarakat terhadap hutan, terkonsolidasinya arena konflik dan perubahan orientasi masyarakat dalam mengelola hutan atau kebun akibat strerotip perambah.
Tetapi, menurut Erwin dalam presentasi yang disampaikan pada Workshop Membaca Peluang Pengelolaan Kawasan Konservasi Secara Kolaboratif yang dilaksanakan di Hotel Xtra Kota Bengkulu, 21 Desember 2018. Workshop yang dilaksanakan oleh Akar Foundation dan Bahtera Alam ini dihadiri oleh 30 Peserta mewakili masyarakat dari 4 desa, Balai TNKS, Balai BKSDA Bengkulu, Pemkab Lebong, dan beberapa NGO Lingkungan yang ada di Bengkulu.
“Meskipun masyarakat di stereotip sebagai perambah. Untuk memperbaiki ekonomi keluarga, sekaligus memulihkan kondisi hutan dan mengurangi laju perubahan tutupan hutan. Pola monokultur mulai ditinggalkan, beralih ke polikultur.”
“Revitalisasi dilanjutkan dengan menanam petai, durian, bambu dan tanaman tegagakan yang bernilai ekologi.” Kata Erwin.
“Polikultur dipraktekkan di lahan dengan ragam penyebutan hutan. sakea, jamai, jamai imbobelukar, imbo bujang dan tebo.” Jelasnya.
Sementara Emil Kleden dari Forest Peoples Programm menawarkan Skema Whakatane sebagai skema aman dalam pengelolaan hutan. Dari pengalaman yang telah dilakukan oleh FPP di Kenya, Kongo dan Thailand skema Whakatane mampu mengatasi ketidakadilan sejarah bagi masyarakat adat/local dan menjamin hak-hak yang berkelanjutan konservasi berbasis masyarakat.
“Inti dari skema ini adalah mekanisme dialog yang setara antar elemen baik masyarakat, pemangku kawasan dan stakeholders.” Kata Emil Kleden.
“Pemberdayaan masyarakat, kerja sama penguatan fungsi, kemitraan konservasi dan peran serta masyarakat adalah peluang yang disediakan oleh Negara dalam pengelolaan kawasan konservasi” Kata Ibu Fifin Arfiana Jagosara.
“4.470 Ha telah ditetapkan sebagai kawasan hutan adat di dalam kawasan Konservasi dan ini bentuk kongkrit dari Negara untuk mengakui pelibatan masyarakat” lanjut Ibu Fifin, Kasubdit Bina Daerah Penyanggah dan Zona Pemanfaatan Tradisional Direktorat Kawasan Konservasi KLHK.
Di jelaskan oleh Ibu Fifin, Hutan Adat yang telah ditetapkan seluas 4.474 Ha tersebut adalah Hutan Adat Wana Posangke di Cagar Alam Morowali di Kabupaten Morowaki Utara Sulawesi Tengah seluas 3.988 Ha, Hutan Adat Kesepuhan Karang seluas 462 Ha di Kawasan Taman Nasional Halimun Salak di Kabupaten Lebak Banten dan Hutan Adat Marga Serampas seluas 24 Ha di Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat Kabupaten Merangin Jambi.
Ditambahkan Ibu Fifin. Untuk menyelesaikan konflik tata kelola hutan, kebutuhan yang paling penting adalah proses identifikasi harus jelas baik biofisik maupun struktur sosial.
“Dan dialog menjadi penting untuk menyamakan paradigma dan merumuskan langkah penyelesaian konflik tata kelola hutan konservasi secara bersahabat.” Jelasnya.