Jaringan Pendukung Masyarakat Adat Pengelola Hutan di Indonesia: World Agroforestry Centre, International Land Coalition/Asia, Sajogyo Institute, KPA, BRWA, HuMA, Samdhana Intitute, AMAN, Epistema Institute,  JKPP, Akar Foundation, Pusaka, ASm Law Office, Safir Law Office3
November 2015
Telah ratusan tahun, masyarakat adat dan petani kecil pedesaan menerapkan pengelolaan hutan dan lahan gambut untuk memproduksi pangan dan melindungi lingkungan, termasuk mengendalikan kebakaran.
Larangan umum melakukan pembakaran tidak akan memecahkan masalah kabut asap, sebaliknya justru berakibat buruk bagi jutaan masyarakat adat dan petani kecil.
Dalam beberapa bulan terakhir, kebakaran hutan dan lahan gambut terparah yang pernah terjadi di Indonesia telah berimbas pada ekonomi dan citra Indonesia di mata internasional, dan membawa penderitaan bagi jutaan warga Indonesia dan penduduk di negara-negara ASEAN. Urgensi keadaan ini telah mengakibatkan kematian 19 orang dan lebih dari setengah juta lainnya menderita gangguan pernapasan akibat asap. penanggulangan kabut asap secara bijak dan tepat sasaran mutlak dibutuhkan, bukan reaksi tergesa-gesa yang akhirnya tidak memecahkan akar masalah.
Satu imbas dari bencana asap ini adalah upaya serempak menyalahkan masyarakat adat dan petani kecil skala rumah tangga pedesaan atas kebakaran hutan dan lahan gambut. Padahal, citra satelit dan peta kebakaran hutan jelas menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi di wilayah ijin konsesi perusahaan skala besar dan kecil. Citra satelit juga menunjukkan bahwa hutan dan lahan masyarakat terhindar dari kebakaran. Fakta ini mendukung pemahaman yang disertai bukti ilmiah yang akurat bahwa pengeringan lahan gambut untuk industri minyak sawit atau untuk perkebunan bahan baku kertas/pulp merupakan penyebab utama kerawanan kebakaran tak terkendali.
Kenyataan tersebut membutuhkan tanggapan yang tepat dari pemerintah Indonesia; menjamin penegakan hukum, tanggung jawab para pemberi ijin konsesi di lahan gambut, dan dari pemegang ijin yang sah maupun pengelola lahan yang menyebabkan kerusakan. Pemerintah juga perlu memastikan masyarakat adat dan petani kecil pedesaan tidak menjadi kambing hitam. Pemerintah justru perlu mendorong pemberdayaan masyarakat adat dan petani kecil pedesaan agar semakin berkontribusi terhadap pengelolaan hutan dan lahan gambut secara berkelanjutan.
Indonesia, Asia Tenggara dan dunia sedang menyaksikan akibat dari perilaku tidak bertanggung jawab dari sejumlah perusahaan yang menggunakan api untuk membersihkan lahan perkebunan mereka sembari menggali dan mengeringkan lahan gambut yang mengakibatkan mudah terbakar. Penting juga untuk dicatat bahwa masyarakat adat dan petani kecil pedesaan tidak memiliki sumber daya dan peralatan untuk menggali saluran pengeringan besar seperti perusahaan. Petani bercocok tanam dengan sistem agroforestry, dan menggunakan cara pembakaran terkendali untuk mengatasi gulma dan menyuburkan tanah dengan praktek pengendalian api secara tradisional.
Metode pembakaran terkendali secara tradisional dalam skala kebun agroforestry masyarakat adat dan petani kecil pedesaan tidak selayaknya dilarang. Masyarakat adat dan lokal merupakan penderita, bukan penyebab. Pukul rata larangan untuk semua jenis dan cara pembakaran menyesatkan dan berdampak pada pengurangan produktivitas, mempengaruhi ketahanan pangan serta pendapatan mereka. Perlu pemahaman lebih bijak agar dapat menghasilkan kebijakan yang efektif.
Indonesia patut bersyukur bahwa pemecahan masalah sudah tersedia. Sudah ratusan tahun, jutaan masyarakat adat dan petani kecil pedesaan hidup dan bergantung pada lahan gambut untuk kelangsungan hidup mereka. Lahan gambut yang sensitif tercatat telah dikelola dengan beragam sistem tradisional, antara lain tembawang, simpukng, dan sistem kehutanan Masyarakat lainnya.
Masyarakat adat dan petani kecil pedesaan telah melindungi hutan dan lahan dengan melakukan kegiatan pertanian berkelanjutan di wilayahnya. Dengan berkebun dan menangkap ikan, budidaya sayuran selama musim kemarau, serta sawah dan budidaya ikan saat musim hujan. Sistem tumpangsari tersebut mencakup pula peternakan antara lain kerbau dan sapi, serta menanam tanaman keras seperti karet dan kelapa. Namun, model pengelolaan dan lahan milik masyarakat memperoleh tekanan besar, akibat kepemilikan yang tidak terjamin secara hukum serta tumpang tindih konsesi dan ijin yang diberikan kepada perusahaan di wilayah tersebut.
Sementara kebakaran terus berlangsung, kabut asap tidak selayaknya menghambat kemampuan kita memandang dan menemukan jalan keluar yang benar. Memastikan hak kepemilikan masyarakat adat dan petani kecil pedesaan akan menjadi insentif dan dasar bagi mereka untuk mengamankan pengelolaan hutan dan lahan gambut secara berkelanjutan. Pandangan ini merupakan model alternatif dari industri pertanian dan perkebunan, yang akan efektif mencegah kebakaran, juga memberikan kontribusi untuk mengamankan kedaulatan pangan, memperkuat ekonomi lokal, dan mendukung mitigasi perubahan iklim.